Cerita ini berada tepat dibawah perlindungan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (UU No. 28 Tahun 2014). Dilarang mengcopy-paste atau memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun, baik digital maupun fisik.
⚠️ Cerita ini mengandung kata da...
Gerald menggeleng tidak setuju. "Aku akan terus mengajak Aero. Aero, Uncle adalah Uncle kesayanganmu bukan?"
Aero yang kini berada di pangkuan sang ayah menggeleng, "Bukan!"
Ibu Aero tertawa kencang, "Rasakan."
"Aero... kita beli ice cream, mau?"
"Mama..."
"Ya, Sayang?"
Tanpa peduli dengan Gerald yang masih berada di pintu kamarnya, Aero bergumam, "Tutup pintunya, Aero hanya ingin bermain dengan Papa dan Mama."
Ucapan Aero sukses membuat kedua orang tua pria itu tertawa, berbeda dengan Gerald yang kini sudah mendengkus kencang. "Aero jahat."
"Uncle lebih jahat!"
_____
Gerald menatap ke arah jendela dan ponselnya secara bergantian. Sudah hampir satu jam pria itu dilanda dengan kebingungan ini, tetapi sejak tadi pula Gerald seperti tidak mendapatkan keputusan yang tepat atas pertengkaran di dalam kepalanya.
Gerald kembali mendesah untuk yang kesekian kalinya. Tidak menyangka bahwa ia akan menjadi sepayah ini dalam hal yang berhubungan dengan wanita. Walau sebenarnya hal itu merupakan hal yang wajar, mengingat dalam tiga tahun terakhir Gerald sama sekali tidak dekat dengan wanita mana pun, kehidupannya tiga tahun ini pun hanya ia isi dengan bekerja dan bermain dengan Aero.
Karena merasakan kepalanya yang semakin pusing memikirkan tentang perdebatan batin di dalam dirinya, Gerald pun menegakkan tubuhnya bersamaan dengan jemarinya yang menekan tombol panggilan pada nomor telepon yang sedari tadi Gerald pandangi.
Jantungnya berdegup kencang ketika tombol panggilan berhasil ia pencet, hingga kekecewaan melanda dirinya setelahnya di saat mendengar suara operator dari ponselnya yang mengatakan bahwa nomor yang ia tuju sudah tidak aktif lagi.
Gerald menjauhkan ponselnya, menatap naas ke arah nomor yang baru saja ia hubungi itu. Helaan napas yang terdengar beriringan dengan kilas memori yang muncul di dalam kepalanya membuat Gerald memejamkan matanya. Dirinya merindukan si pemilik nomor itu, dan pertemuannya dengan kedua anak kecil yang sangat mirip dengan mereka membuat pria itu semakin yakin, bahwa pemikiran yang selama ini ia simpan bisa jadi sebuah kemungkinan yang selama ini Gerald hiraukan.
Pria itu masih tenggelam di dalam pikirannya, hingga tubuhnya sedikit tersentak ketika ia merasakan tepukan di pundak kanannya.
"Sejak kapan kamu masuk?"
Glatea Berkeley, wanita yang berstatus adiknya itu mengedikkan bahunya acuh. "Aku sudah mengetuknya berkali-kali, tetapi sepertinya kamu terlalu sibuk melamun."
"Aku tidak melamun."
"Go on, keep lying." balas Glatea dengan decakannya.
"Ada apa ke sini?"
Glatea membuang napasnya kasar, sebelum menyerahkan ponselnya ke kakaknya. Gerald mengerutkan dahinya bingung, walau tetap menerima ponsel milik adiknya. Ketika mendapati apa yang ia lihat di atas layar ponsel milik Glatea, Gerald pun mengerti mengapa adiknya sampai rela datang ke kamarnya di waktu malam seperti ini.
Dengan degup jantung yang bergerak dengan cepat, Gerald mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya. "When the picture was taken?"
"Malam tadi."
Ucapan Glatea sontak membuat Gerald menoleh, "She's in this city?"
Glatea mengangguk, "Aku sebenarnya sudah berjanji untuk tidak memberitahu keberadaannya kepadamu, tetapi melihatmu menderita selama tiga tahun ini membuatku tidak tega."
"Dia... dia tidak berubah."
"She actually changed a lot, Ge." jawab Glatea sebelum melanjutkan perkataannya, "Tetapi kamu tidak begitu menyadarinya, karena pikiranmu masih terpaku dengan dia di tiga tahun lalu."
"She still the same Atha, Glats."
Glatea membawa kakaknya itu ke dalam pelukannya, "Gerald, aku mungkin memang tidak bisa membantumu begitu banyak karena bukan aku yang pernah berada di posisimu melainkan Daxton. But Ge, tanpa aku membantumu aku pun yakin, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan?"
Gerald terdiam. Pria itu tahu —sangat tahu, apa yang harus ia lakukan. Tetapi mengingat Gerald melakukannya setelah tiga tahun perpisahan mereka, pria itu menjadi ragu. "Apa dia sudah menikah?"
Satu hal yang adiknya tidak tahu, betapa sakitnya Gerald ketika ia bertanya seperti itu kepada adiknya. Tetapi sepertinya Tuhan masih bersikap baik kepadanya, karena jawaban dari Glatea membuat kebahagiaan tersendiri di dirinya.
"Dia belum menikah, dan tidak memiliki kekasih."
"Tetapi..." ucapan Glatea tertahan, yang seakan membuat keyakinan Gerald akan kemungkinan yang sedari tadi ia pertanyakan merupakan sebuah kenyataan.
"She have kids."
Glatea menoleh, menatap Gerald dengan terkejut. "B— bagaimana kamu tahu?"
Gerald tersenyum tipis, "Aku sudah bertemu dengan mereka, Glats."
"Bagaimana bisa?"
"Aero marah kepadaku hari ini karena aku mengabaikannya selama di toko mainan, dan aku berbohong ketika mengatakan bahwa aku mengabaikannya karena pekerjaan. Nyatanya, aku bertemu dengan mereka di toko mainan yang sama di tempat aku membawa Aero."
Glatea melebarkan bibirnya. "Jadi di saat aku bertemu dengannya, kedua anaknya bertemu denganmu?"
Gerald mengangguk pelan. "Mata mereka berwarna biru, Glats."
"Mata kita berwarna biru." jawab Glatea.
Seakan sadar dengan perbincangan keduanya, Glatea tersentak. "Gerald, mereka?"
"Tanpa perlu melakukan tes atau pembuktian lainnya kita pun bisa langsung melihat, Glats." Gerald menoleh menatap adiknya dengan tatapan penuh keyakinan, "They are mine."
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.