Cerita ini berada tepat dibawah perlindungan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (UU No. 28 Tahun 2014). Dilarang mengcopy-paste atau memplagiat cerita ini dalam bentuk apapun, baik digital maupun fisik.
⚠️ Cerita ini mengandung kata da...
"I don't like cars, I like lego more!" balas Aero.
Gerald memutar matanya. Terlalu bosan mendengar Aero yang mengatakan kalau dia tidak suka dengan mainan mobil, padahal ayah dari anak kecil itu saja merupakan pengoleksi mobil terbanyak di antara keluarganya.
"Your Papa loves cars."
Aero mengangguk, "Papaloves cars, but not me. I loves lego, Uncle. Papa also loves lego."
"Uncle bosan membelikanmu set lego."
Aero mengerucutkan bibirnya, sementara Gerald menahan gemas melihat tingkah keponakannya itu. "Uncle, lego please?"
"Uncle bisa membelikanmu satu set mainan truck yang sangat besar dan keren, kamu mau?"
Tanpa repot memikirkan tawaran dari Gerald, Aero dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Mau lego."
Gerald menghembuskan napasnya kasar, apabila keponakannya yang satu ini sudah menginginkan sesuatu, maka ia harus mendapatkannya. Karena itu Gerald pun membawa Aero masuk ke dalam toko mainan yang anak kecil itu mau, tetapi tepat disaat Gerald hendak masuk ke dalam toko, tubuhnya pun tertabrak oleh seorang anak laki-laki yang berlari sangat kencang dari arah berlawanan.
Anak kecil tersebut terjatuh walau tidak sampai nangis, Gerald masih dengan Aero yang berada di dalam gendongannya pun membungkuk untuk membantu anak kecil itu. "I'm so sorry, are you okay?"
Anak kecil itu mendongak, menatap Gerald dengan tatapan bingung. Gerald tersenyum melihat keterdiaman anak itu, sebelum memegang tubuh anak itu dengan tangannya yang tidak menggendong Aero.
"Apa kamu terluka?"
"Papa?"
Gerald mengernyit tidak paham. Belum sempat ia menjawab, teriakan dari anak kecil lain pun terdengar.
"Benji!"
Anak kecil yang semula terjatuh menoleh, "Bear, aku bertemu Papa!"
"Benji apa kamu tidak— Papa!"
Gerald semakin mengerutkan dahinya, ketika anak kecil yang baru saja menghampirinya —yang sangat mirip dengan anak kecil yang tadi menabraknya, juga turut memanggilnya dengan panggilan itu. Gerald mengamati wajah keduanya dengan seksama, tetapi dengan cepat menggeleng kepalanya ketika pikiran asing itu muncul dibenaknya.
"Aero mau lego set yang seperti dia!"
Perkataan Aero membuat lamunan Gerald buyar. Gerald tersenyum kepada kedua anak kecil itu sebelum perhatiannya kembali ke Aero. "Kenapa, Sayang?"
"Aero mau seperti dia!" balas Aero sembari menunjuk ke arah kotak lego yang berada di tangan anak kecil yang baru saja datang.
"Benji aku sudah bilang, lego yang aku pilih sangat keren!"
Anak kecil yang dipanggil Benji itu memanyunkan bibirnya, "Punyaku jauh lebih keren, iya kan Papa?"
Gerald dengan cepat menoleh. "Kamu memanggilku?"
Benji mengangguk, "Papa lupa aku?"
Gerald menelan ludah, pria itu tidak mengerti alasan dibalik dia yang dipanggil Papa oleh kedua anak itu. "Kalian sangatlah mirip—"
"Aku Benjamin, Papa!" Jawab Benjamin dengan lantang, anak itu lalu menunjuk ke arah saudaranya "Dan dia, dia Barend!"
"Papa sudah selesai bekerjanya?"
Gerald membuang napasnya kasar. Pria itu harus menjelaskan yang sesungguhnya kepada kedua anak kecil itu, kalau dia bukanlah ayah mereka. "Saya bukan Papa kalian."
"No! You're our Papa! Mama sering sekali menunjukkan wajah Papa kepada kita!"
"Mungkin hanya mirip, karena saya belum memiliki an—"
"Benji! Barend!"
Mereka semua menoleh ke arah sumber suara, di mana seorang wanita terlihat berjalan ke arah mereka. Gerald yang melihat wanita dewasa itu tersenyum tipis.
"I've been looking for you guys all around the store!" ucap sang wanita.
Benjamin dengan wajah riangnya menunjuk ke arah Gerald, "Auntie Lea look! Benji bertemu Papa!"
Wanita yang dipanggil Lea itu menggeleng canggung, "No Benji, dia bukan Papamu. Come on kita harus segera pergi."
"No Auntie, He's our Papa." ucapan Barend membuat wanita itu membuang napasnya kasar.
Wanita itu lalu merendahkan tubuhnya untuk menyamai tingginya dengan Barend. "Bear ingat bukan kata Mama, kalau Papa kalian sedang bekerja di tempat yang jauh di sana. Dan kalian juga tidak boleh sembarangan menganggap seorang pria adalah ayah kalian."
"Tetapi wajahnya mirip sekali dengan wajah Papa."
"Semua orang pasti memiliki wajah yang mirip dengan orang lain, Sayang." jawab wanita itu dengan senyum, "Sudah ya, sekarang kita harus pergi. Mama kalian sudah menunggu."
Barend dengan wajah lesunya menurut, perlahan berjalan mengikuti langkah wanita itu. Berbeda sekali dengan Benjamin yang justru menangis kencang karena tidak ingin pergi dari Gerald.
Wanita itu tersenyum tipis ke Gerald, "Saya minta maaf, mereka hanya merindukan kedua orang tuanya."
"It's okay, titipkan salamku kepada ibu mereka." balas Gerald dengan senyum.
Gerald memandangi kepergian mereka dengan penuh tanya, hingga tepukan dari Aero di wajahnya membuat Gerald tersadar.