Amarah

1.1K 138 3
                                    

Jiang Cheng marah, karena selama adegan di pantai tak ada yang mencarinya.

Bahkan, mungkin tak ada yang menyadari bahwa dirinya tak ada di pantai itu. Tak ikut meramaikan kerusuhan, menarik kolor ijo milik Wen Chao atau melempari Nie Mingjue dengan pasir.

Jiang Cheng bete!

Jiang Cheng merasa dilupakan!

"Cheng, Cheng!!!" teriak Wei Ying turun dari gendongan ibunya dan berlari ke kamar bocah laki-laki pemarah itu.

"Pelgi kau!" usir Jiang Cheng sambil berteriak karena kesal.

"Kenapa Cheng, Cheng mayah?" Wei Ying bingung salahnya di mana.

Wei Ying merasa tidak melakukan kesalahan apa pun pada Jiang Cheng beberapa jam terakhir ini.

"A-Xian jahat. A-Xian gak sayang A-Cheng."

Jiang Cheng malah menangis.

"Puk puk puk." Wei Ying menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. Sepupunya juga sih tapi mereka bersahabat.

"Cheng, Cheng jangan mayah ya," bujuk Wei Ying sambil memeluk Jiang Cheng.

Kedua tangannya mencoba meraih tubuh kecil bocah galak itu. Sesekali dia mengelus pundak sepupunya yang pemarah itu.

"A-Xian jahat. A-Xian pelgi ke pantai gak ajak Cheng Cheng."

Jiang Cheng masih mode ngambek. Dia juga makin bete karena gak ada pembaca yang nanyain dia.

Bahkan author pun tak menyebutkan namanya barang sekali di cerita sebelumnya. Semuanya Wangji, Wangji dan Wangji.

"Cheng, Cheng kan cakit. Cepat cembuh ya. Nanti kita main yagi," Wei Ying membujuk tuan muda pemarah itu.

Mendengar perkataan Wei Ying kalau mereka akan bermain lagi, Jiang Cheng merasa bersemangat.

"Apa itu benal?" tanya Jiang Cheng mulai semangat. Matanya berbinar-binar. Sudah tiga hari dia sakit flu.

Memang kalau mendekati liburan gini anak-anak suka terserang batuk flu.

"Oke! Tapi Cheng Cheng hayus cepat cembuh ya," bujuk Wei Ying pada sepupunya yang galak itu.

"Oke!" jawab Jiang Cheng setuju, dia bahkan tersenyum.

Madam purple spider yang sejak tadi mengintip mereka merasa senang, akhirnya bocah galak itu bisa juga senyum.

Rasanya aneh punya anak persis diri sendiri. Pemarah, galak tak mau mengaku atau mengucap kata sayang. Melihat Jiang Cheng, dia merasa seolah sedang berkaca dan melihat dirinya sendiri.

"A-Xian jangan dekat-dekat nanti tertular flu," kata Yanli yang baru datang membawakan dua bocah nakal itu sop akar teratai iga babi.

"A-Xian kuat. Tidak tertular," kata Wei Ying dengan semangat.

Anak nakal itu tersenyum manis dan memamerkan keindahan giginya yang putih dan sehat.

"Baiklah makan dulu ya. Ini buat A-Cheng dan ini buat A-Xian," jelas Yanli memberikan dua mangkuk kecil berisikan sop favorit bocah-bocah itu.

Yang mangkuk merah milik Wei Ying dan mangkuk ungu punya Jiang Cheng. Keduanya makan dengan lahap dan senang, bahkan Jiang Cheng yang sedang sakit flu bisa makan dengan enak.

"Enyak," puji Wei Ying makan sambil memamerkan giginya, mulutnya penuh makanan.

Bibirnya penuh minyak sop, berantakan tapi indah dilihat. Membuat jiwa siapa saja penyuka anak-anak ingin mengigit pipi balita itu.

"Makan yang banyak A-Xian dan A-Cheng."

Yanli mengelus kepala keduanya. Memberikan mereka makanan dan tersenyum melihat adiknya makan dengan lahap.

"Jie lap!" pinta Wei Ying yang sudah selesai makan dan Yanli membersihkan sekitar mulutnya yang kotor.

"A-Xian berapa usia mu?" tanya Yanli tertawa, dia gemas melihat Axian.

"Sudah tiga tahun" Wei Ying mengangkat tangannya dan menunjukkan jarinya tiga. Seperti ini ���.

Tak mau kalah, Jiang Cheng juga ingin mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

"A-Cheng juga mau," pinta Jiang Cheng yang mulai mengambek lagi rupanya dia tak diperhatikan. Malah Wei Ying yang selalu bisa menarik perhatian siapa saja.

"A-Cheng juga makan banyak. Habiskan, oke? Kalau sembuh kita bermain" bujuk Yanli.

Dia sebenarnya tidak pernah membedakan keduanya. Hanya saja Wei Ying memang menarik perhatian untuk diajak bicara dan wajah imutnya membuat orang akan senang.

Berbeda dengan Jiang Cheng yang selalu memasang ekspresi seperti ingin berkelahi.

"Apa itu benar?" tanya Jiang Cheng dengan semangat memakan makanan itu.

Meski sop itu adalah kesukaannya tentu saja orang sakit takkan selera makan. Tapi mendengar rayuan akan diajak bermain dia semangat menghabiskan isi mangkuk.

"Nah, sekarang bagus kalau banyak makan. Kau akan cepat sembuh," jelas Yanli membersihkan wajah Jiang Cheng yang juga penuh bekas sisa makanan.

Usia mereka baru tiga setengah tahun, jadi wajar bila makan belum bisa dengan sangat rapi.

"Cheng Cheng obay," kata Wei Ying memberikan obat yang diantar oleh pelayan.

Wei Ying mencoba merayu Jiang Cheng agar mau minum obatnya.

"Tidak mau pahit," kata Jiang Cheng menolak.

Tidak ada anak kecil yang sudah atau bersahabat dengan obat. Semua akan kesal dan semua tidak suka.

Itulah sebabnya, sakit tidak menjadi pilihan enak, kecuali memang sedang meminta perhatian.

"Tapi Cheng Cheng harus makan. Biar cembuh," bujuk Wei Ying.

Dia menjelaskan kalau tidak makan obat, maka akan susah sembuhnya.

"Mau ya?" kata Wei Ying kembali mencoba merayu bocah itu melihat wajahnya mulai melunak.

Tuan muda Jiang itu mengangguk dan pelayan membantunya minum obat.

"Hore Acheng hebat!" puji Wei Ying bertepuk tangan bangga pada sepupunya itu.

"Pahit!" keluh Jiang Cheng memasang wajah mau menangis.

Wei Ying memeluk Jiang Cheng untuk menyemangati sepupunya itu.

"Jangan muntah."

Wei Ying membisikkan sesuatu ide ke telinga Jiang Cheng. Akhirnya Jiang Cheng tak lagi marah dan mencoba semangat agar lekas sembuh.

Tentu saja ide itu sesuatu yang menyenangkan sampai sampai bocah pms itu bisa takluk.

Padahal sebelumnya Jiang Cheng sudah memecahkan beberapa barang kalau mau minum obat.

Rupanya cuma Wei Ying yang bisa merayunya. Untung saja bocah itu tak lama perginya, bisa dibayangkan berapa banyak gelas pecah.

Pelayan tidak akan berani membentak apalagi memarahi tuan muda?

"Karena kalian sudah makan, Jijie pergi dulu ya," kata Yanli pamit pada keduanya.

Wei Ying dan Jiang Cheng membolehkan asalkan kakaknya itu memeluk mereka terlebih dahulu.

"Baiklah," ucap Yanli sambil memeluk keduanya. Mereka berpelukan bertiga dan sangat menyenangkan dilihat.

Benar-benar bagai saudara yang akbrab.

Melihat keduanya sangat imut dan manja kepada Yanli, Madam Yu geleng-geleng kepala. Tentu saja dia takut bisikan bocah merah itu sesuatu yang bisa menggemparkan Yunmeng, minimal rumah mereka.

Sementara ibunya Wei Ying, hanya tertawa-tawa. Dia selalu bahagia saat anaknya membuat ulah, itu artinya dia sehat katanya.

Cangse tidak pernah marah jika anaknya nakal atau membuat keonaran. Menurutnya, dia hanya nakal dan masih di batas wajar.

Ibu yang baik!

Innocent Love || Wangxian [Tamat]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt