Chapter 35

24.7K 2.6K 51
                                    

Memasuki hari Senin, saat semua anak-anaknya sibuk dengan rutinitas masing-masing, oma kembali mendatangi kediaman cucunya. Berbeda seperti minggu lalu, Evan kini sudah mau menampakkan diri tanpa dibujuk. Bocah itu bahkan menunggu kedatangannya di depan pintu utama. Memang belum banyak bicara, tetapi Evan mau menawarkan makan atau minuman. Pun, sekarang berkenan menjawab pertanyaannya sedikit lebih panjang.

Di taman kecil dekat dapur, oma dan Evan duduk bersisihan di ayunan. Tangan berkeriputnya sesekali membersihkan pipi tembam buyutnya yang belepotan muffin cake. Menurut keterangan Aleena tadi, Evan sangat menyukai kue-kue buatannya, dan ingin langsung menghabiskannya jika tidak disuruh berhenti dengan dalih harus makan nasi. Oma tentu saja senang. Beliau bertekat ingin membuatkan makanan berbahan dasar coklat lagi di lain waktu.

"Evan suka cookies juga ndak?" Kepala Evan bergerak ke atas-bawah, membuat beliau melebarkan senyum. "Besok kalo Mbah Putri titipin cookies berarti mau?"

"Mau! Bikin yang ada chocolate chip-nya, Mbah. Harus yang banyak, ya?"

Oma tergelak. "Nanti kamu dimarahin mama kalo kebanyakan makan manis."

"Mama aku baik kok, dia kalo marah pasti minta maaf. Lagian, kan, cookies-nya bisa aku simpan di kulkas kayak kue ini. Udah tiga hari masih enak, loh! Makasih, ya, Mbah, udah bikin kue coklat kesukaanku. Mbah udah pantas jadi chef, tahu!"

"Mbah mah udah tua, ndak kuat masak banyak-banyak kayak chef. Kamu, dong, nanti yang jadi chef. Kan, kamu suka bantuin Mama Aleena masak," jawabnya diselingi kekehan.

"Nggak mau. Aku mau kayak papa biar setiap hari pakai sepatu keren, abis itu berangkat kerjanya pakai mobil yang disupirin. Uang papa pasti banyak. Nanti kalo aku udah jadi seperti papa, aku bisa beli pesawat terus pergi ke luar angkasa, deh."

Entah sudah ke berapa kalinya beliau tertawa semenjak di dekat Evan. Kali ini sudut matanya berair. Oma sampai harus menarik napas berulang kali untuk menguasai diri. "Kamu iniii ...." Rambut lebatnya beliau acak-acak.

Sesaat kemudian, kepala Aleena menyembul dari pintu kaca yang hanya dibuka separuh. "Masuk dulu, yuk! Udah waktunya makan siang. Evan, tolong bantu Mbah Putri ke dalam, ya, Sayang."

Di atas meja yang memuat empat orang, sudah tersaji beragam hidangan. Tumis buncis dan wortel, tumis kangkung, udang goreng tepung, ayam teriyaki, sampai pecel menguarkan aroma yang menggelitik perut. Oma terang-terangan berdecak begitu Aleena datang membawa sayur sup bening dengan soun.

"Kamu masak banyak banget, Aleena."

"Biar Oma bisa milih," ujarnya. "Barang kali ada menu yang udah biasa dikonsumsi di rumah dan mau nyoba yang beda. Evan juga tadi pagi minta ayam teriyaki."

Perempuan muda itu lantas memanjangkan leher supaya dapat melihat asisten rumah tangganya yang sedang menyetrika di ruangan sebelah. "Nenek, ayo makan dulu! Udah siap semua, nih, makanannya. Ditinggalin dulu aja gosokannya, nanti ini keburu dingin."

Tidak memakan banyak waktu untuk menunggu orang yang dipanggilnya bergabung ke meja makan. Tiga wanita dan anak berusia empat tahun memulai acara makan siang sambil diiringi candaan. Suasana hangat yang tercipta sangat membekas di benak oma. Sudah lama beliau tidak merasakannya. Ketika kumpul keluarga setiap weekend pun seluruh anggotanya saling bungkam, sekalinya bicara pasti berakhir dengan perdebatan. Mereka baru akrab hanya saat ada media. Mungkin pula ... nanti kalau dirinya telah tiada, seluruh anak-anaknya sibuk sendiri-sendiri dan menganggap saudara sedarah adalah orang asing. Oma tidak bisa berekspetasi lebih baik.

"Mbah masih mau nambah?"

"Udah, udah. Lanjutin beres-beres kamu."

Aleena mengangkat piring-piring berisi sisa lauk untuk disimpan. Setelah menghabiskan minum, Evan turun dari kursi dan heboh ingin membantu Bu Asep. Tersisa Aleena dan oma di dapur. Dua perempuan berbeda generasi itu duduk berhadapan dengan cangkir teh masing-masing.

After We Divorce [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang