Chapter 33

23.1K 2.6K 84
                                    

Seorang wanita berkemeja pendek dan mengenakan rok midi sedang fokus pada layar komputer. Kesepuluh jemarinya menari di atas keyboard sambil sesekali membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung. Beralih memegang mouse, pintu ruangannya diketuk dari luar.

“Masuk.”

Laki-laki bersetelan serba hitam masuk membawa sebuah map. Tubuh tegapnya membungkuk begitu tiba di depan mejanya.

“Selamat siang, Bu Amira. Mohon izin melaporkan tugas yang Ibu berikan empat hari lalu.”

Aktivitasnya sontak terhenti. “Duduk,” perintahnya lantas menyandarkan punggung. “Silakan melapor.”

Lawan bicaranya mengangguk patuh. Dia menyerahkan map yang tadi dibawanya. “Pak Ervan belakangan sering memadatkan jadwal sampai rapat bersama eksekutif tingkat C Najiya Fast di malam hari, sementara di hari libur atau weekend beliau melakukan perjalanan menuju Surabaya. Berdasarkan penelusuran saya, Pak Ervan telah melakukan perjalan ke sana sebanyak enam kali. Tidak jarang beliau absen menghadari rapat bersama tim di AG. Dugaan saya, anak Ibu mengejar waktu penerbangan.” Ibu jarinya lalu menunjuk benda yang sedang dibaca bosnya. “Di dalam situ terdapat salinan tiket pesawat dan bukti reservasi hotel.”

“Saya memang pernah melihatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaan dan saya kira hal tersebut masih berkaitan dengan Najiya Fast. Apa kamu tahu ada urusan apa sampai anak saya bolak-balik ke sana?”

“Dari hasil interograsi salah satu supir hotel, Pak Ervan sempat minta diantarkan ke salah satu kontrakan di sebuah perkampungan kecil. Tapi, saya tidak bisa mendapatkan keterangan secara lengkap karena rumah itu sudah kosong. Menurut ungkapan salah satu tetangga yang paling dekat, penghuninya adalah seorang ibu-ibu dengan kisaran usia mendekati lima puluhan dan tiba-tiba pindah tanpa pamit. Ada kemungkinan ibu-ibu tersebut kabur sebab tidak bisa membayar sewa.”

“Ibu-ibu?” gumam Amira mengernyit, “siapa gerangan orang ini? Tidak mungkin klien. Ervan juga tidak punya keluarga di Surabaya. Memangnya kamu tidak berusaha mendesak supir itu? Apa waktu mengantar Ervan, dia langsung pergi?”

“Bukan hanya mendesak. Saya telah memberikannya sejumlah uang, namun ditolak mentah-mentah. Dia tidak mau memberikan banyak informasi kecuali alamat kontrakan. Laki-laki itu lebih takut dipecat karena melanggar peraturan kerja, sehingga saya tidak bisa bertanya banyak. Mohon maaf, Bu.”

Tidak puas melihatnya menunduk, rahang Amira mengeras. Perempuan itu meremas map dan nada suaranya berubah datar saat bertanya, “Kamu nggak berusaha mengecek CCTV para tetangga yang mengarah ke rumah itu atau mendatangi pemilik kontrakan untuk mencari identitas penghuni yang kabur?”

“Kebetulan warga di sana berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, Bu. Sehingga, tidak ada yang memiliki CCTV dengan alasan lingkungan sudah aman. Untuk pemilik kontrakannya sendiri, tempat tinggalnya di luar pulau Jawa. Saya tidak berhasil melacak keberadaannya.”

Serta-merta Amira menggebrak meja. Pandangannya berubah tajam menusuk. “Saya nggak mau tahu, kamu cari tahu siapa sosok perempuan ini,” ucapnya menekan setiap kata. “Saya mau maksimal akhir bulan ini laporanmu masuk.”

“A-akan saya usahakan, Bu.”

Dia mengangguk kemudian memberikan isyarat mengusir. Bertepatan dengan pintu didorong dari dalam, Anita muncul sambil tersenyum ramah. Wanita berparas ayu dan awet muda tersebut sempat menyapa mata-mata Amira.

“Ada masalah apa sampai Mbak nyewa mata-mata?”

“Bukan urusanmu,” desisnya mendengkus.

Bibirnya tertarik miring. Tanpa dipersilakan, dia menduduki kursi dan meletakkan tangan di atas meja. Amira terlihat suntuk sekali karena sejak tadi tidak berhenti memijat pelipis seraya memejamkan mata. Jika sedang diamati seperti ini, sejujurnya ada sedikit rasa iba merayapi hati. Wanita itu sudah bekerja keras untuk memperbaiki nama dan perusahaan keluarga setelah sempat tercoreng akibat mundurnya Brata—dugaan-dugaan negatif terus berseliweran di media dan seluruh keluarga Abraham diburu, tetapi jika mengingat bagaimana angkuh sifatnya dia akan sangat muak. Amira terlampau bangga pada dirinya sendiri dan menganggap jasanya paling besar sehingga tidak ada yang mampu menandingi.

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now