Chapter 19

43.5K 4.9K 140
                                    

Aleena sudah membiasakan putranya membersihkan diri—menggosok gigi, cuci kaki, termasuk berganti pakaian yang lebih nyaman—sebelum tidur. Di awal-awal memang susah menjadikan kegiatan ini sebuah rutinitas. Apalagi kalau sudah mengantuk atau lelah setelah bermain. Namun, dengan ketelatenan dan kesabaran, Evan perlahan-lahan terbiasa.

Malam ini, selepas Ervan mengantar mereka pulang dan melakukan kebiasaan tersebut, ibu dan anak itu berbaring bersisihan di kamar. Keduanya terlentang menghadap langit-langit rumah. Satu lagi rutinitas mereka selain membersihkan diri—jika waktunya memungkinkan, Aleena akan mengajak Evan mengobrol sampai kantuk datang. Topik yang diangkat juga bukan seputar nasihat dan kritikan terhadap kenakalan anak di bawah lima tahun itu saja. Aleena selalu menanyakan hari yang dilalui putranya, seperti apa yang seharian Evan lakukan, emosi apa yang dirasakannya selama seharian, apakah ada masalah—misalnya dijahati atau bertengkar dengan orang lain, dan rencana beserta harapan untuk esok hari.

Dia sadar tidak bisa 24 jam mendampingi anaknya, tetapi tidak ingin melewatkan pertumbuhan dan perkembangannya. Selain memperkuat hubungan ibu dan anak, Aleena ingin Evan belajar mengungkapkan perasaan. Pun, dia ingin menjadi orang tua yang mampu dan nyaman diajak berbagi cerita, sehingga kelak Evan tidak mencari pelarian di luar yang justru berisiko jika salah memilih orang.

"It's exhausting being an only child."

"Kenapa Evan ngerasa begitu?"

Aleena memiringkan kepala, memandang putranya yang kini fokus memainkan tali guling. Tidak ada ekspresi berarti. Namun, justru membuat dia menebak-nebak apakah ada yang salah dengan perlakuan dan perkataannya. Jika terbukti ada, Aleena harus segera meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi.

"Aku nggak punya temen main pas kamu sibuk masak atau jualan," ungkapnya pelan, membuat jantung Aleena seperti diremat. "Temen-temen aku sering ngerebut mainan aku terus bilang, 'kamu minta beliin lagi aja sama mama, kan, anak tunggal'. Aku nanya anak tunggal itu apa sama Bu Lala di sekolah. Katanya, anak tunggal itu kayak Evan yang nggak punya kakak atau adik."

Benda tak kasat mata menusuk matanya sampai terasa pedih. Aleena melarikan tangan guna mengusap-usap kepala Evan, berharap rasa sayangnya tersalurkan dan bisa dirasakan. Sungguh, tidak ada keinginan untuk mengabaikan Evan, tetapi dia juga manusia biasa yang baru pertama kali jadi ibu. Ada yang namanya 'kewarasan' yang kadang bergulat dengan 'kegilaan'. Kadang, jika dalam kondisi lelah, ada tindakan atau ucapan yang tidak terkontrol. Praktiknya benar-benar tidak semudah teori yang dikoar-koarkan orang-orang di sosial media atau di buku yang membahas tentang pola asuh. Selama ini perempuan itu hanya melakukan hal yang dirasa sudah terbaik.

"Evan sering ditanyain, mau punya papa baru enggak biar bisa punya adik, biar aku nggak kesepian." Sejurus kemudian, kepala kecilnya mendongak. Indra penglihatan Aleena bertemu dengan sepasang mata besar sang anak. "Padahal adik itu punya Tuhan, kan? Adik nggak bisa dibeli di toko mainan. Mereka yang suka nawar-nawarin begitu kayak bisa minta langsung ke Tuhan aja. Lagian, Evan nggak tau apa itu kesepian."

Konsentrasinya kembali ke awal. Aleena sendiri diam-diam menggulum senyum. Sejak umur dua tahun lebih, Evan sudah diajarkannya konsep ketuhanan dan bagaimana cara mematuhi Tuhan. Lalu ketika menginjak usia tiga tahun, dia sudah mengikuti Sekolah Minggu. Akibatnya, untuk hal-hal di luar kuasa manusia seperti 'adik' tadi, Evan tidak perlu bertanya padanya lagi. Satu hal saja yang disayangkan, orang-orang dewasa di sekitarnya suka mengacaukan tatanan yang telah Aleena bangun. Evan terkadang membandingkan penjelasannya dengan ucapan orang-orang yang ditemui, tak lupa mempertanyakan apakah ungkapannya itu sebuah kebenaran atau kebohongan semata. Kritis, tapi Aleena berusaha menikmati proses pembentukan kecerdasan Evan.

"Sama satu lagi ... I have to be brave almost every time and it sucks." Jeda tiga detik. "Kata orang-orang aku nggak boleh cengeng, nggak boleh nakal, nggak boleh jadi penakut, harus ngalah sama perempuan, dan bla bla bla ... banyak yang aku nggak boleh lakukan sebagai cowok. Aku capek. Maunya di rumah terus aja sama Mama."

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now