Chapter 7

68.1K 5.9K 94
                                    

Alasan apa yang biasa digunakan orang jika kepegok 'menjilat ludah sendiri'? Terpaksa? Kepepet? Tidak ada pilihan lain? Kalau sudah demikian, apakah mungkin kita sebagai 'pengamat' tidak gemas mengejek?

Di bibir mungkin saja bisa memaklumi, tetapi dalam hati pastilah ada keinginan mengolok-olok dan keinginan itu biasanya dapat ditebak melalui ekspresi wajah. Tidak terkecuali Jeriko. Dari awal dia mengutarakan titah, pria yang menjadi saksi jatuh-bangunnya membangun usaha itu sudah sering mengalihkan pandangan sambil melipat bibir. Kemudian begitu perintahnya membuahkan hasil, Jeriko tak jarang kelepasan tertawa dan harus berdeham beberapa kali. Sementara Ervan yang ditertawakan terlalu sibuk meruntuki dirinya sendiri-tidak sempat menanggapi dengan baik.

Ternyata pernyataan 'sungguh dasyat pengaruh perempuan' itu benar adanya. Sekarang Ervan bisa merasakan hal itu. Dunianya seperti jungkir balik hanya karena satu wanita.

"As you guessed, Evan is Aleena's son. He's 4 years old. Dengan kata lain, she left you when she was pregnant. Saya juga sudah pastikan sebelum Aleena pergi, dia nggak punya hubungan dengan laki-laki lain. Jadi, Evan memang anak kandungmu."

"Ke mana dia bersembunyi begitu keluar dari rumah? Apa mungkin kepergiannya itu sudah direncanakan atau spontan saja?"

"Kemungkinan besarnya sudah direncanakan. Begitu keluar rumah, dia nggak langsung ke Surabaya, tapi sempat di Bogor dan menjual rumah beserta kedai mendiang orang tuanya. Uangnya dia pakai ongkos ke Surabaya dan bertahan hidup beberapa waktu di sana."

Ervan yang sejak kedatangan Jeriko sudah menunduk dan menumpukan dahi di atas kepalan tangan, semakin memerosotkan bahu. Dari tempatnya duduk pun Jeriko masih bisa mendengar napas bosnya yang memberat, wajah lelaki itu memerah, sementara urat-urat di sekitaran pelipis mengencang.

"Dia cukup pintar beradaptasi, you can be in a state of ease, Pak. Lagi pula, ada seorang wanita yang membantunya waktu itu. Aleena nggak benar-benar sendirian. Pertemuan mereka bisa dibilang tidak sengaja, tapi jasa wanita itu cukup besar. Selain merekomendasikan jualan di kanting, beliau juga bantu Aleena mencari kontrakan-"

"Ya tapi tetep aja. Kalo nggak karena keegoisan gue, Aleena nggak bakalan pergi," sela Ervan, mendongak. Matanya sudah memerah dan basah. Bibirnya bergetar saat berujar, "Gara-gara gue juga Aleena jadi harus berhutang materi dan budi. Utang materi bisa dilunasi, tapi utang budi bisa nggak selesai seumur hidup. Gue nggak kebayang betapa tertekannya dia terbelenggu dengan rasa nggak enak."

"Tapi Bu Mulyanti ini baik-"

"Siapa yang menjamin selamanya akan begitu? Lo pasti tau kalo satu kesalahan bisa menghapus seribu kebaikan. Lagian, mau sebanyak apa pun Aleena berbuat baik, dia pasti nggak akan puas dan terus-terusan ngungkit jasanya suatu saat nanti."

Jeriko sempat berjengit karena nada bicara Ervan tiba-tiba naik. Menghela napas, dia berupaya melapangkan dada. Digesernya gelas air minum ke depan, lalu lanjut menyampaikan informasi yang digalinya selama seminggu ini.

"Utang materinya udah lunas, Van," paparnya ikut menghapus kesan formal. "Soal utang budi, mungkin lo benar. Tapi Bu Mulyanti tipe ibu-ibu yang nggak suka ngerumpi sana-sini, jadi kalaupun dia mau ngejelek-jelekin Aleena nggak akan begitu parah. Yang lebih bagus lagi, beliau ada di pihak kita mulai sekarang."

Badan Ervan otomatis menegak. "What? Are you fucking kidding me? Apa yang lo harapin dari ibu-ibu kayak dia? Bisa aja dia bohong karena cuma pengen uang kita, atau bisa aja ngeadu domba gue sama Aleena. Oh, atau jangan-jangan lo dapet informasi segini banyak dari ibu-ibu itu juga? You were so stupid if you did that!"

"Not me, but you are the fool," desis Jeriko, "kalo lo nggak bodoh, lo nggak akan se- underestimate itu. Sebab, gue yang berhadapan sama Bu Mulyanti, gue yang lebih paham karakter dia dibanding elo."

After We Divorce [New Version]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora