Chapter 15

61.8K 5.6K 199
                                    

Di siang yang terik, Aleena duduk di teras setelah menidurkan Evan. Ibu jarinya menari-nari di atas layar ponsel, sebelum berhenti sesaat. Mengetik, kemudian kembali dihapus. Begitu terus sampai beberapa kali. Mengambil napas dalam-dalam, perempuan itu mengangguk yakin. Rangkaian kalimat yang tadi dihapusnya dia ketik ulang. Aleena melakukannya sambil menggigit bibir bawah.

Anda:
Davina maaf ganggu waktunya

Gue cuma mau bilang, kayaknya kita gk bisa lanjutin kerja sama kita kmrn

Gue ada tawaran baru dgn tipe mirip brand lo dan udah terlanjur dipasarin

Karyawan gue ngeacc tanpa persetujuan gue dan ada perjanjian yg menyatakan klo gue gk boleh nerima tawaran dgn tipe serupa atau mirip dari org lain

Berhubung barang lo blom smp di toko dan udah terlanjur jual punya orang, gue terpaksa batalin ksepakatan kita

Gue harap hubungan kt tetap baik walau kesepakatannya batal

Terima kasih ya

Aleena meletakkan ponselnya ke atas meja, lantas menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sesungguhnya dia tidak ingin berbohong. Pun, tawaran Davina terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Dia takut tindakannya barusan menyinggung Davina, tetapi perempuan itu juga tidak mau hidup tenangnya semakin diusik. Perilaku Davina cukup membuatnya resah dan Aleena tidak mau sampai marah-marah.

Ini yang tebaik, batinnya berulang-ulang.

Sudah hampir seminggu Davina menghilang bak ditelan bumi. Janjinya yang akan mengirim contoh pakaian tidak pernah terlaksana. Hal tersebut seperti membuktikan bila Davina memang 'mata-mata' Ervan. Besar kemungkinan juga, hutang mendiang orang tuanya dilunasi oleh lelaki tersebut. Pantas saja temannya itu terus memaksa dan seperti tidak memperdulikan nominalnya yang fantastis. Uang segitu jelas bukan masalah besar untuk Ervan yang pendapatannya mungkin sudah mencapai tiga digit sekarang. Belum lagi pendapatan dari usaha yang dari dulu dirintisnya. Bisa jadi usaha itu sudah berkembang ke kancah internasional saat ini.

Di lain sisi, Ervan juga tidak lagi muncul sejak terakhir kali menginjakkan kaki di rumahnya. Aleena sudah dapat menebak kalau laki-laki itu tidak akan mungkin mau bersusah payah. Dirinya tidak seberharga itu untuk diperjuangkan. Masih banyak perempuan lebih hebat di luar sana.

Hoping for the wrong person is like trying to fit a square peg into a round hole. No matter how much we hope, it just won't work. Sehingga, beberapa hari belakangan ketika batinnya mulai memproduksi harapan mengenai hubungan mereka, otaknya akan langsung memusnahkannya.

Ibu satu anak itu meraih kembali alat komunikasinya, berniat masuk ke rumah waktu sebuah motor dengan tas barang di belakang berhenti di depan gerbang. Meski ragu, dia tetap menghampiri dan benar saja ... kurir tersebut memang sedang mencari alamatnya.

"Tapi saya nggak beli apa-apa, Mas."

"Paket ini betulan buat Mbak Aleena Ralinsa kok. Dikirim dari Jakarta pagi tadi. Inisial pengirimnya EDA."

"Pagi tadi? EDA?" beonya.

Apakah sekarang mengirim paket dari Jakarta ke Surabaya bisa dilakukan dengan sistem instan? Lagi pula, memangnya boleh pengirim paketnya misterius seperti ini?

Perasaan waspada menghantuinya. Namun, ketika Aleena hendak bersuara, otaknya tiba-tiba memproses sebuah nama yang paling mungkin melakukan hal tersebut. Mulutnya seketika terkatup.

Ervan Dirgantara Abraham?

"Dikirimnya dari daerah Jakarta Selatan, khusus pakai jalur udara dan dibawa langsung oleh kepala kantor Najiya Fast terdekat. Di sini juga tertera dalam kurung 'mama Evan'. Evan anak Mbak, bukan?"

After We Divorce [New Version]Där berättelser lever. Upptäck nu