Chapter 17

47K 5K 242
                                    

Aleena tidak bisa tidur semalaman. Badannya terus berganti-ganti posisi dengan pikiran berkelana. Hatinya menyuruh dia untuk bangkit dan mengecek keluar, tetapi otaknya berkata sebaliknya. Sehingga ketika masih pagi buta, perempuan itu memutuskan untuk mengakhiri acara berbaring dan keluar kamar. Melalui jendela, Aleena mengintip kondisi teras dan tidak menemukan Ervan. Tanpa bisa dicegah, celah bibirnya mengeluarkan udara lega. Meski tindakannya semalam terhitung jahat, Aleena tetap akan memarahi Ervan jika laki-laki itu nekat tidur di luar.

Sampai hari berganti, laki-laki itu tidak datang lagi. Padahal sejak kemarin dia sengaja berdiam di rumah dan menyerahkan urusan toko kepada pegawai sepenuhnya. Bukan itu saja, sudah dua hari Ervan absen mengiriminya makanan. Pikirannya mulai membentuk kalimat menghakimi. Jika Ervan memang sudah kembali ke Jakarta, harusnya pamit, kan? Bisa dalam bentuk surat yang diselipkan di bawah makanan seperti biasa, karena mereka tidak memiliki nomor telepon satu sama lain. Itu pun dengan catatan bila Ervan sungguhan mau berusaha memperbaiki hubungan mereka.

Atau mungkin ... waktu dia tinggal ke kamar laki-laki tersebut sempat mengucap pamit? Namun, kenapa Aleena tidak mendengar? Apakah memang diucapkan lirih?

Ah entahlah, memikirkan hal ini membuatnya kesal sendiri. Aleena juga tak seharusnya memusingkan hal tersebut. Harusnya dia senang kalau Ervan tidak datang lagi—seperti permintaannya. Namun, dia juga tidak memungkiri kalau terbesit perasaan kecewa.

Sembari membilas badan mobil pick up yang baru selesai disabun, Aleena melamun sendiri. Di tangannya terdapat selang yang mengucurkan air. Suara musik dangdut koplo yang disetel tetangganya keras-keras tak sanggup menjaga kesadarannya. Segala hal yang berkaitan dengan Ervan—entah mengapa—selalu membuat dia terdiam. Logikanya selalu berperang dengan batin. Perempuan itu tidak bisa menebak jalan pikiran Ervan, tapi selalu dibuat hampir mati penasaran dengan rencananya.

Butuh waktu hampir satu jam untuk Aleena menyelesaikan pekerjaannya. Perempuan itu membereskan alat-alat dan berbalik hendak masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seorang perempuan berdiri di belakangnya. Entah karena asyik melamun atau bagaimana, hingga dia tidak mendengar derit pintu gerbang. Tanpa menyapa, dia melengos dan melanjutkan langkah. Terlalu malas menghadapi teman yang sudah menipunya tersebut.

"Na, Na ... tunggu! Gue mau minta maaf! Please, jangan masuk dulu."

Wanita kurus yang mengenakan skort hitam berbahan suede itu menghalangi jalannya sambil merentangkan kedua tangan. Aleena berdecak, tak urung memandang Davina tak tertarik.

"Let's sit down first! Nggak enak ngobrolnya kalo sambil berdiri." Aleena tidak bereaksi meski tangannya ditarik-tarik, membuat Davina menariknya lebih kuat. "Ayolah, duduk dulu!"

Aleena terpaksa menurut. Diletakkannya ember berisi sabun, spons, dan seperangkatnya di dekat kaki, lalu memusatkan perhatian ke depan. Dari sudut mata, dia mendapati Davina tengah memandangnya memelas. Namun, dia tidak akan tertipu kali ini. Bahkan setelah mendengar helaan napas panjang.

"Na ... gue mau mengakui dosa," terangnya seraya memilin jari di atas pangkuan. Helaian rambut yang tidak ikut dalam tatanan poni kepang dibiarkannya berterbangan ke wajah. "That time ... I did lie about not being told to come here by anyone. Mungkin lo udah nebak dan ... bener, Bang Ervan yang nyuruh."

Aleena melipat tangan di depan dada tanpa menoleh. Kakinya disilangkan dengan gestur santai—seperti tidak tertarik, meski kedua indra pendengarannya telah dipasang selebar mungkin. Dia ingin mendengar alasan Davina lebih jauh dulu.

"Soal perceraian lo ... I actually already know from Jeriko. Dia menemui gue begitu tahu gue lagi ngurus kepindahan. He told me what happened between you and Bang Ervan—everything, including the reason why you got divorced. Jadi, gue nggak bohong pas bilang tahu perceraian kalian baru-baru ini, karena emang—walaupun sering berkabar—Bang Ervan nggak pernah menyinggung perihal elo. Gue juga udah lama nggak pulang." Ada jeda sebentar. "Gue nggak nyangka sekaligus menyayangkan, makanya waktu Jeriko minta tolong ... gue langsung setuju."

After We Divorce [New Version]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora