Chapter 22

39.1K 4.3K 204
                                    

"Saya terlahir sebagai seorang muslim. Saya bertemu Amira, yang notabenenya memiliki keyakinan berbeda dengan saya, ketika SMA. Kami sekelas dan semakin berkembangnya interaksi kami, kami jatuh cinta dan memutuskan menjalin hubungan. Perbedaan itu tidak menjadi penghalang hubungan kami yang langgeng sampai lulus sekolah." Pandangan Pak Josua mengawang ke depan. Senyum tipis terbingkai di wajah senjanya—sepertinya sedang memutar memori manis lama. "Amira melanjutkan kuliah ke Amerika atas titah orang tuanya. Sementara saya yang berasal dari keluarga pas-pasan memutuskan kerja serabutan. Jarak tidak menjadi hambatan hubungan kami, padahal pada waktu itu belum ada HP. Kami sering bertukar surat dan sampai sekarang surat-surat itu masih saya simpan rapi."

"Setahun selepas wisudanya, berbekal sebidang sawah di desa tempat tinggal saya dan beberapa ekor kambing, saya mengajaknya menikah. Saya berpikir, kami tetap bisa menjalin hubungan dengan keyakinan menjadi urusan masing-masing. Amira juga sepakat. Katanya, tidak ada yang mampu menghalangi perasaan suci di antara kami. Namun, kenginan itu ditentang ayah Amira. Bukan hanya faktor keyakinan, tapi juga karena ekonomi dan status sosial kami sangat berbeda. Amira tak ubahnya seperti 'putri' yang dihujani harta sejak lahir. Hidup bersama saya—yang pendapatannya tidak tetap—hanya akan membuatnya tertekan dalam kesusahan, begitu kata ayahnya."

Pak Josua mengusap sudut matanya menggunakan telunjuk. Nada suaranya yang semula berangsur-angsur stabil, kembali bergetar. Tangan Aleena tidak berhenti memberikan usapan di pundaknya yang melemah. Berharap, upayanya dapat mengantarkan ketenangan walau tampaknya tidak berefek apa-apa. Agaknya emosi yang sudah lama dipendam Pak Josua sudah mencapai batas.

"Gara-gara saya, Amira terlibat pertengkaran hebat dengan ayahnya. Dan karena nggak juga bisa diluluhkan, Amira memilih pergi dari rumah dan memutus hubungan dengan keluarganya. Saya sudah berusaha membujuknya untuk meninggalkan saya, tapi dia sejatinya perempuan yang keras terhadap pendirian. Saya pun nggak punya pilihan selain menikahi dia." Napas berat terhela susah payah. "Banting tulang saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Apa pun saya kerjakan supaya dia nggak merasa menyesal dan nggak perlu ikut mencari nafkah. Hidup kami teramat bahagia sebenarnya, terlebih saat Ervan lahir meskipun dia harus mendapatkan perawatan intensif karena terlahir prematur."

"Kami hampir nggak pernah bertengkar hebat, tapi waktu Ervan mau masuk sekolah dan dia memberitahu sedang hamil lagi ... pernikahan kami diuji, saya di-PHK dari pabrik. Ekonomi kami sungguhan pas-pasan. Mungkin karena dia merasa tertekan dengan keadaan, kandungannya gugur." Kali ini papi Ervan sungguhan menangis. Suaranya bahkan tersendat-sendat ketika berkata, "Saya terpukul, Amira tidak kalah terpuruk pula. Agaknya, kami terlalu sibuk menata perasaan masing-masing sampai lupa untuk saling menguatkan. Akibatnya, sisi emosional kami bergejolak. Dan malam itu ... menjadi puncaknya."

"Amira menyalahkan saya karena menjual sawah dan hewan peliharaan untuk menutup biaya operasi caesar-nya sekaligus biaya perawatan Ervan, padahal itu satu-satunya aset yang kami punya. Saya yang belum juga mendapat pekerjaan, sementara tabungan kian menipis, semakin menyulut konflik. Ego saya terluka—jujur, sebab terus-menerus disudutkan. Nggak ada kesempatan untuk saya membela diri hingga saya muak. Saya ... saya ... saya nggak sengaja me-mengatakan kalimat jahat."

"S-saya mengatainya perempuan matrealistis yang nggak tau diri. S-saya juga bilang, hidup dia sebenarnya hanya beban untuk saya dan saya balik melimpahkan kesalahan atas gugurnya calon anak kedua kami," sambungnya kemudian menutup wajah dan terisak. "A-Amira pergi membawa Ervan dan itu adalah momen terakhir sebelum kami resmi bercerai. Berkali-kali saya memohon ampun, tapi hati Amira begitu keras. Saya bahkan nggak diizinkan untuk bertemu Ervan. Saya nggak menyerah. Meski hubungan kami selesai, hubungan saya dengan Ervan tidak bisa diputuskan. Sering saya diam-diam menemui putra saya dan saya harus berpuas diri dengan keterbatasan waktu. Bahkan sampai Ervan dewasa, dia tetap nggak punya kebebasan buat bertemu saya."

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now