Chapter 1

112K 8.2K 86
                                    

Apa yang membuatmu lebih bahagia ketika sudah memiliki kehidupan mapan dan terjamin sampai tua?

There shouldn't be. Banyak orang di luar sana gila-gilaan berusaha mendapatkan apa yang sudah dimilikinya. Serakah sekali kalau dia menginginkan kehidupan lebih baik dari sekarang. But, who can control his heart? No one, including him.

Detak yang bertalu berlipat-lipat lebih cepat, selalu diiringi desakan air dari balik kelopak mata. Paru-parunya sulit sekali mengolah udara jika kemelut di otaknya mulai tidak bisa diajak kompromi. Dunia seperti menyudutkannya sampai dia merasa begitu kecil. Tiada pegangan yang bisa dia raih. Tiada pelukan yang bisa menenangkannya. Satu-satunya yang mampu dia andalkan—sejauh ini—ialah dirinya sendiri. Sialnya, mimpi buruk itu selalu menghantuinya setiap kali kondisinya sedang legang.

"Ah, shit."

It's almost fucking five years! Tidak seharusnya kebiasaan meratapi nasib masih menjadi sarapannya setiap kali dalam perjalanan pergi bekerja. Kalau disuruh jujur, mungkin kuping Pak Asep, supir pribadinya, seperti hampir jebol mendengar mulutnya begitu enteng memaki. Setiap saat. Setiap kesempatan. Yang lebih sial, kondisi melankonisnya mudah sekali memancing sisi tempramennya muncul ke permukaan. Semua kesalahan kecil bisa jadi perkara besar bila dia sedang kepikiran masa lalu. Sungguh malang nasib orang-orang yang tanpa sengaja membuat kesalahan ketika dia sedang merasa sinting. Padahal pria itu sadar jika tiada manusia yang luput dari kesalahan, termasuk dirinya sendiri.

"Goblok banget, sih, itu satpamnya! Udah tau ada mobil mau masuk, makin asyik aja ngobrolnya sama si supir yang mendadak ikutan akhlakless."

"Sabar, Mas Ervan. Mungkin supirnya juga dalam kondisi urgent kayak Mas Ervan."

"I don't give a fuck. Buang-buang waktu orang lain aja ini mah. Udahlah saya jalan aja ke dalamnya. Pak Asep jangan lupa stand by sebelum jam makan siang. Saya juga mau ke rumah sakit begitu jam kantor selesai," ucapnya setengah menggerutu.

Setelah itu, dia sungguhan turun dari mobil dengan sedikit membanting pintu. Tatapan sengit tak dapat Ervan sembunyikan ketika sampai di hadapan satpam yang langsung tersenyum rikuh padanya.

"Di pantry banyak kopi, Pak. Dilanjut aja di dalem sambil main catur ngobrolnya. Gerbangnya dikunci aja kalo perlu. Atau jangan berhenti ngerumpi kalo belum dimaki-maki orang."

Nada bicaranya masih terkontrol baik, tapi tidak dengan indra pendengaran lelaki di depannya yang menerima suara tersebut. Segera bapak-bapak berseragam khas satpam itu membungkukkan badan meminta maaf, sementara Ervan memilih melengos. Rusak sudah suasana hatinya di pagi hari ini. Biar demikian, dia tetap berdeham sembari membuka kancing teratas kemeja yang terasa mencekik saat memasuki pintu masuk. Seutas senyum tipis tersungging ketika kakinya melewati resepsionis.

Whatever happens profesionalitas harus nomor satu!

"Woi!"

Sesosok laki-laki berkemeja rapi yang sedang menerima telepon di depan lift lantas mengumpat pelan. Tangannya segera memegang dada dengan mata yang langsung melotot tajam ke arah Ervan.

"Baik, Pak. Akan saya sampaikan pesan Bapak kepada Pak Ervan. Terima kasih kembali," ucapnya ramah, sebelum menutup panggilan. Selama menyimpan ponsel ke dalam saku celana, matanya tak lepas menyorot tajam ke arah manusia yang kini fokus memandangi pantulan dirinya sendiri di pintu lift.

"Jangan kelamaan ngeliatin gue. Entar lo naksir, gue juga yang repot."

"Mulut lo beneran harus gue rujak, sih." Lawan bicaranya hanya menyeringai. "Gue dapet laporan dari Diana, kemarin lo kabur sebelum jam kantor berakhir. Ke mana lo?"

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now