Chapter 34

23.8K 2.7K 89
                                    

"Oma udah pulang?"

"Udah. Tadi jam tiga diantar Pak Asep. Kamu udah pulang?"

Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Aleena meremas perutnya sambil sesekali meringis. Nyeri yang datang saat tamu bulanannya hadir memang sangat menganggu. Rasanya dia ingin berguling-guling di ranjang jika tidak ingat belum memakai pembalut dan sialnya tidak ada stok persediaan. Terkesan ceroboh, tapi karena terlalu sibuk mengurus rumah baru—termasuk membeli perabotan, Aleena menjadi lupa.

"Udah mau nyampe rumah. Kenapa?"

Matanya membulat. "Nggak apa-apa, deh. Kamu pulang aja. Aku nggak jadi."

Tadi pagi Ervan menyetir sendiri. Laki-laki itu pasti sangat lelah dan ingin cepat-cepat membersihkan diri. Biarlah dirinya nanti jalan ke minimarket depan kompleks sendiri.

Aleena sudah bergerak ke depan lemari untuk mencari baju yang sekiranya bisa menutupi pinggul ke bawah waktu suaminya kembali menyahut, "Aku udah minggirin mobil, nih. Kamu perlu apa? Nanti aku putar balik."

"Beneran nggak usah. Kamu, kan, capek pulang kerja."

"Ck. Makanya cepetan ngomong biar aku bisa buruan pulang."

Dia menggigiti kuku mengetahui kesabaran lawan bicaranya mulai menipis. Aleena ingin menolak sebab merasa Ervan terpaksa, tetapi kalau dia kekeuh yang ada pria itu tambah marah.

"A-aku butuh pembalut. Di rumah nggak ada stok. Minggu kemarin waktu belanja kelupaan beli."

"Oke."

Sambungan telepon diputus sepihak. Aleena menyandarkan punggung ke dinding dan mengamati layar ponselnya yang mulai meredup. Kira-kira bagaimana ekspresi suaminya saat sampai di rumah nanti?

Meskipun sempat menguji kesungguhannya, bukan berarti dia tidak tahu situasi. Sungguh. Sekarang Aleena takut sekali. Membayangkan Ervan marah dan membentaknya cukup membuatnya mondar-mandir tidak tenang di kamar. Tidak sampai setengah jam, pintu kamar terbuka. Orang yang sejak tadi menghantui pikirannya masuk dalam keadaan berantakan. Pakaiannya sudah tidak serapi ketika berangkat. Agaknya pria yang sedang melepas kancing kemeja tersebut memiliki beban pekerjaan yang menggunung hari ini.

"Aku inget merek pembalutnya aja. Ukurannya entah bener atau nggak. Tadi aku beliin yang paling panjang. Kata kamu dulu kalo pake yang pendek nanggung."

Aleena sontak mematung. Sungguhan Ervan mengingat perkataannya bertahun-tahun lalu? Laki-laki ini dulu memang lebih mengerti dirinya daripada dia sendiri. Namun, tidak disangka-sangka masih mengingatnya sampai sekarang.

Matanya memanas. Didorong hormon yang meningkat, dia beringsut memeluk sang suami dari belakang dan menumpahkan tangis di punggung lebarnya. Ervan tersentak dan hampir terjerembab.

"Kamu kenapa, deh?" tanyanya sambil terkekeh kemudian mengusap-usap lengannya, "sebegitu tersentuhnya kamu sampai nangis gini? Oh aku tau ... kamu, kan, emang cengeng banget kalo lagi kena palang merah. Nggak apa-apa. Mewek aja sampai puas. Tapi boleh biarin aku mandi dulu? Badan aku lengket semua. Kamu juga perlu pasang popok, kan?"

Aleena menepuk punggungnya sebelum menarik diri. Mukanya sembab, ditambah cairan hidung yang mengalir keluar menjadi pemandangan yang menggelitik perut Ervan. Aleena sampai harus mencubit pinggangnya karena tidak berhenti ditertawakan.

"Ngeselin!"

"Love you too. Dah, ah. Aku mau bersih-bersih. Sayang-sayangannya entar lagi, ya, Darling. Muahhh ...."

"Ervan, jijik banget!"

Tersangka yang membuat kulit wajahnya memerah kesal melegang keluar setelah sempat melemparkan ciuman jauh. Sepeninggalnya, dia segera meraih kantung plastik di atas ranjang dan melangkah menuju kamar mandi di dalam sana. Ternyata bukan hanya pembalut saja yang dibelinya tadi, ada obat pereda nyeri juga. Diam-diam Aleena tidak dapat menahan senyum.

After We Divorce [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang