Chapter 39

3.3K 330 2
                                    

Panggilannya lagi-lagi tidak mendapatkan respons—padahal entah sudah berapa kali dirinya berusaha. Wajahnya semakin memerah padam dan dadanya ikut berkembang kempis. Merasakan amarah kian membakar seluruh sel dalam tubuh, dia membanting ponsel ke meja. Rahang perempuan itu mengeras. Tatapan matanya sanggup melubangi apa pun yang dilihatnya.

Sesaat kemudian, terdengar pintu ruangan diketuk. Orang yang dipercayakannya menjadi mata-mata muncul usai dia mempersilakan masuk. Masih dalam posisi berdiri dan meletakkan kedua tangan di atas meja, dagunya mengedik.

"Saya nggak mau dengar ketidakbecusanmu bekerja. Jika yang kamu bawa adalah kabar buruk, keluar saja dari ruangan saya," desisnya sinis, membuat lawan bicaranya menunduk.

"Mohon maaf, Bu Amira, saya ingin memberitahu apabila saya berhasil menemukan identitas perempuan yang sering Pak Ervan kunjungi di Surabaya."

Amira terpaku. Dia pun berdeham dan mendudukkan diri. "Katakan."

"Baik. Berdasarkan penelusuran saya, Pak Ervan bukan menemui seorang wanita paruh baya, melainkan perempuan muda yang ternyata adalah ... Bu Aleena. Ada kemungkinan tetangga yang memberikan keterangan waktu itu sudah dalam kuasa Pak Ervan."

Bola matanya membesar. Punggung Amira ikut menegak dan ekspresinya yang berangsur-angsur rileks kembali serius. Ibu satu anak itu bahkan merapatkan kursi ke meja kerja.

"Yang saya ketahui, Pak Ervan selama ini tidak berhenti mencari Bu Aleena dan mereka bertemu beberapa bulan lalu dalam insiden yang tidak sengaja, yakni di sekolah SMP Wirabrata."

"Wirabrata?" ulang Amira, memiringkan kepala. "Bukankah itu yayasan milik Brata, adik saya? Bagaimana bisa putra saya berkecimpung di sana? Mungkinkan dia selama ini diam-diam membantunya?"

"Benar, Bu. Pak Ervan tercatat sebagai donatur utama yayasan Wirabrata dan selama ini secara diam-diam telah menanamkan modal, bahkan membantu Laa Foodie bangkit dari keterpurukan. Beliau jugalah yang menyelidiki kasus yang melibatkan orang-orang internal di sana."

"Diam-diam, ya? Artinya dia melanggar kode etik perusahaan. Saya sudah memberikan kelonggaran untuknya mengurus perusahaan pribadi. Tidak disangka hal itu belum mampu membuatnya berpuas diri." Amira terkekeh sumbang. "Apakah dia juga kembali bersama Aleena tanpa sepengetahuan saya?"

"Saya meyakini demikian, Bu. Mereka sepertinya telah tinggal bersama karena Pak Ervan sudah tidak menempati apartemennya dan tidak lagi bolak-balik ke Surabaya. Untuk status mereka, saya masih belum mendapatkan kepastiannya."

"Apakah kamu berhasil menemukan tempat tinggalnya juga?"

"Ya," tegasnya. "Menariknya, mereka tinggal di sana tidak hanya berdua. Keduanya telah memiliki putra dengan kisaran usia empat tahun. Sehingga, ada kemungkinan hubungan singkat mereka dulu menghasilkan anak dan Bu Aleena pergi dalam keadaan hamil."

Sekujur tubuhnya seperti disiram air es. Amira sampai ternganga dibuatnya. Butuh waktu hingga kesadarannya kembali terkumpul. "A-anak?" Nada bicaranya berubah gugup.

"Benar. Mereka tinggal di sebuah kompleks dengan keamanan ketat."

Dia menggeleng-geleng tidak percaya. Kabar yang didapatkannya terdengar cacat di logika. Selama ini Amira sangat yakin telah menjadi sosok yang paling mengenal Ervan, tetapi siapa sangka putranya itu begitu lihai menutupi banyak hal?

Perempuan itu ingin menolak percaya. Namun, yang sedang mereka bahas adalah Ervan. Laki-laki pendiam yang menghanyutkan. Dirinya jadi mengingat bagaimana Ervan tampak begitu polos saat pertama kali bergabung di AG, kemudian bertransformasi menjadi sosok berpengaruh seiring berjalannya waktu. Hal-hal mengejutkan selalu dia dapatkan setiap akhir bulan—utamanya ketika rapat evaluasi digelar. Klien sulit yang dikeluhkan banyak orang seolah bukan perkara besar bagi lelaki itu. Bahkan Dewan Komisaris tidak hanya sekali memuji kepiawaian Ervan dan mengharapkannya menjadi pengganti CEO Abraham Group.

After We Divorce [New Version]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum