Chapter 8

66.5K 6.3K 156
                                    

Dulu ketika belum bersekolah, Ervan pernah merasakan kasih sayang kedua orang tua yang begitu hangat. Cinta pertamanya berlabuh untuk sang ibu yang begitu lemah lembut, sabar, dan pengertian. Ekonominya memang belum stabil seperti sekarang, tempat tinggalnya pun hanya berupa kontrakan sepetak. Sering kali mami atau papinya menggunakan kalimat 'nanti kalau sudah ada cukup uang' setiap dia menginginkan sesuatu. Walau demikian, dia tidak bisa mengatakan keluarganya miskin, sebab dari segi makan tidak pernah kekurangan, pakaian pun masih bisa berganti pagi-sore, jajan masih puas meski ada batasan dalam sehari, dan beberapa bulan sekali masih dapat pergi ke mal atau ke tempat-tempat rekreasi yang ramah di kantong.

Namun, kehangatan itu harus berakhir ketika Ervan masuk Sekolah Dasar dan akan memiliki adik. Kedua orang tuanya mulai sering adu mulut dan saling menuding. Kondisi itu berlangsung berbulan-bulan sampai maminya keguguran. Hingga pada suatu malam, maminya tiba-tiba menggendongnya keluar kontrakan sambil menangis. Dia belum paham arah, tapi yang jelas itu adalah kali pertama Ervan bertemu oma dan opa di sebuah rumah besar. Sejak kejadian tersebut, dia tidak diperbolehkan lagi bertemu papi—seberapa sering pun dia menangis dan memohon.

Kepindahannya ke rumah oma dan opa menjadi titik balik kehidupan Ervan. Dua orang tua itu tidak henti menghujaninya dengan kasih sayang dan materi. Apa pun keinginannya terwujud. Lingkungan dan kehidupan sosialnya berubah drastis. Semula teman-teman SD-nya berasal dari kalangan biasa-biasa saja, tapi kemudian berubah menjadi kaum elit. Suasana di sekitar perumahan menjadi sangat kondusif dan jauh dari kata bising. Ervan memiliki kesempatan makan makanan enak setiap saat, bermain bola di halaman belakang, dan berenang di kolam renang pribadi. Dia juga bisa bebas naik kendaraan tanpa harus berdesak-desakan dengan orang lain. Dalam sekejap, dia menjadi kolektor mainan dan sepatu. Yang terpenting, ada orang yang bersedia melayaninya tiap waktu. Sebagai gantinya, dia kehilangan peran sang ibu.

Maminya menjadi sangat sibuk dan tak tersentuh. Jarang sekali beliau menemaninya main atau sekadar menunggunya sampai tidur seperti dulu. Namun, sang oma selalu meyakinkan jika ibunya bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya dan Ervan percaya. Dari sana terbesit pikiran kalau segala kemudahan yang dirasakannya bersumber dari orang yang telah melahirkannya tersebut. Sehingga, Ervan bertekat akan menjadi seperti ibunya supaya senantiasa hidup enak.

Semakin beranjak dewasa, lelaki itu mulai merasakan arti muak yang sesungguhnya. Terlebih ketika kakeknya meninggal, semua tak lagi sama. Sang mami semakin menuntutnya banyak hal. Tutur katanya pun sangat tajam dan tidak berperasaan. Mudah menghakimi dan ringan tangan menjadi tabiatnya. Bahkan dia selalu dikunci di kamar setiap ketahuan bertemu papi. Bagi Ervan, Amira bukan lagi orang tua yang patut dia kasihi. Rasa hormat tidak lagi muncul karena rasa sayang, melainkan kewajiban seperti rakyat kepada pemimpin negara. Selama ini dia lebih banyak mengalah karena neneknya selalu memberi petuah bahwa seburuk apa pun sikap kedua orang tua, jasa mereka tetap besar. Namun, semakin hari Ervan semakin sulit menemukan letak jasa besar tersebut.

"Mungkin mami kamu lagi kesel, Nak, makanya khilaf mukul kamu lagi. Dimaklumi aja, ya?"

Ervan tersenyum getir sambil mengawang. Rasa sakit di pipinya tidak bisa mengalahkan sakit di hati. Dia terlalu kecewa untuk sekadar menerima afirmasi positif.

"Terus kalo lagi kesel boleh gitu seenaknya sama orang lain?" sahutnya. "Lagi juga Ervan bingung, sebenernya dari sebelah mana, sih, Oma bisa menilai kalo mami selalu mau yang terbaik buat aku? Apa dengan nyakitin Ervan bisa dibilang bentuk kasih sayang? Tapi buat apa? Biar aku tumbuh jadi orang kuat yang tahan banting? Cih."

Handuk yang semula menempel di pipi terasa dijauhkan. Laki-laki dewasa itu merasakan usapan di pundak. Telinganya menangkap getaran dalam setiap kalimat yang diucapkan wanita di sebelahnya.

"Maafin semua tindakan mamimu, ya, Nak. Suatu hari nanti dia pasti bakal menjelaskan sikapnya selama ini. Tapi Oma mohon banget sama kamu, jangan benci ibumu. Dia cuma masih kecewa sama dirinya sendiri."

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now