Chapter 20

47.3K 5K 250
                                    

Gagal membangunkan Aleena, Ervan terpaksa membopongnya ke kamar sebelum mencari Bu Mulyanti. Ternyata Evan sedang di sana dan tengah makan mangga di teras. Kedatangannya jelas membuat panik wanita paruh baya tersebut. Evan yang sebelumnya tenang pun, menjadi histeris begitu mendapati sang ibu terbaring lemah di ranjang. Sehingga, Bu Mulyanti dan Ervan harus berbagi tugas. Ervan menenangkan putranya, sementara Bu Mulyanti berusaha menyadarkan Aleena. Untungnya, kondisi itu tidak berlangsung lama.

"Mama okay?"

"Iya, Mama udah okay. You don't need to worry," sahut Aleena yang kelihatan sekali memaksakan senyum. Wajahnya juga sangat pucat.

Ervan yang melihat mereka berusaha menekan perasaan bersalah. Rasanya dia terlalu cepat memberikan bom waktu, sedangkan interaksi normal mereka baru saja dimulai. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menyimpan fakta ini terlalu lama. Niatnya supaya Aleena tidak menganggapnya orang asing. Pun, dia tidak ingin ada dusta di antara mereka lagi, sehingga ke depannya Ervan dapat membesarkan upaya secara murni. Toh¸ cepat atau lambat Aleena memang harus tahu. Keadaannya mungkin hanya berbeda sedikit saja bila dikatakan nanti.

"Nak Ervan, minum dulu, yuk, di dapur. Biar Aleena istirahat dijaga Evan."

Tiba-tiba Bu Mulyanti muncul di ambang pintu kamar. Suaranya terdengar sangat lembut—seperti biasa, tetapi matanya memancarkan maksud tertentu. Ervan sempat melihat Aleena sebentar, lalu beranjak keluar. Di dapur, sudah tersedia dua cangkir kopi susu yang masih mengepulkan asap.

"Duduk, Nak."

Ervan menurut, tapi dia mendorong kembali cangkir yang disodorkan padanya.

"Maaf, bukannya nggak menghargai, kopinya buat Ibu saja. Saya nggak minum kopi susu. Kurang suka rasanya yang terlalu manis," tolaknya yang ditanggapi permohonan maaf juga. "Nggak apa-apa, Bu. Nanti kalau mau minum saya ambil sendiri saja. Nggak usah repot-repot bikin minum lagi."

Bu Mulyanti lantas mengangguk. Wanita paruh baya itu lebih dulu menyeruput minumnya kemudian mengamati Ervan lama. Ervan yang ditatap sedemikian rupa mulai bergerak sedikit tidak nyaman. Sensasinya seperti sedang menunggu keputusan hakim.

"Bu Mulyanti ada yang mau dibicarakan sama saya?"

Embusan napas terdengar. "Nak Ervan sudah kasih tau Aleena soal status kalian, yo, makanya Aleena pingsan?"

Dia tertegun sesaat. Dengan gerakan kaku dia akhirnya mengangguk.

"Iya, Bu. Saya nggak nyangka bila responnya akan seperti ini."

"Ndak apa-apa. Sudah terlanjur, jangan disesali." Tangannya yang mulai mengeriput menepuk-nepuk lengan Ervan. "Ndak pakai kekerasan to tapi?"

Ervan menggeleng.

"Ya sudah, kasih waktu Aleena buat mencerna dulu. Terus, abis ini ... kamu punya rencana apa, Nak?"

"Saya sebenarnya ingin memperkenalkan Aleena dengan ayah saya, Bu. Menurut Ibu apakah ini terlalu cepat? Soalnya, kepergian Aleena dulu masih berkaitan dengan orang tua saya. Bukannya yang gimana-gimana, cuma ibu saya seperti tidak menganggap Aleena waktu itu. Saya pernah bertanya alasannya, tapi hanya dijawab jika kami berbeda. Berbeda dari segi apa tidak pernah dijelaskan," paparnya lalu menunduk. Suara Ervan mulai melemah. "Entah mengapa, saya tergelitik untuk memperjelas alasan perceraian orang tua saya kepada papi. Mungkin akan sedikit memberikan petunjuk. Ini juga sebagai bentuk keseriusan saya jika saya ingin memulai hubungan dengan Aleena dari awal lagi—secara baik-baik."

"Tunggu ... tunggu ...." Bu Mulyanti memajukan tubuh. Dahinya berkerut dan alisnya hampir menyatu. "Emang e dulu Aleena ndak pernah dikenalkan sama ayahnya Nak Ervan? Kok masih memperkenalkan padahal kalian udah pernah nikah?"

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now