Chapter 2

84.8K 6.9K 65
                                    

Ervan agaknya menyesali keputusannya ingin menyetir sendiri dengan dalih ingin night ride sambil me-referesh isi kepala. Hampir satu jam berkendara dan dia kini masih terjebak di antara lautan kendaraan. Wajahnya sudah kusut. Entah sudah berapa kali pria itu menghela napas merasakan sekujur tubuhnya pegal dan lengket. Jika ditinjau beberapa hari ke belakang, kesibukannya memang tidak habis-habis. Pukul dua dini hari tadi saja dirinya baru mendarat di Jakarta setelah tiga hari menghadiri acara di Lombok.

Ponsel pribadi yang diletakkan di atas dashboard tiba-tiba berdering, Ervan melirik sang pemanggil dan mendesah lelah melihat nama yang tertera. Dengan setengah hati pria itu menyambungkan ponsel dengan earphone bluetooth sebelum menjawab panggilan.

"Ya? Ervan di sini."

"Ck. Kayak nggak punya beban banget hidup kamu," gerutu sang ibu di seberang sana. "Apa Mami harus buat jadwal pertemuan dulu kalo mau ketemu anak?"

"Kalo enggak keberatan, sih, gitu."

"Ngomong apa kamu, Nak?"

"Nope. Ada perlu apa Mami nelepon? Aku lagi nyetir, nggak bisa lama-lama."

Terdengar suara decakan lagi. Ervan yakin kalau mereka sedang berhadapan, maminya pasti sedang melotot tajam dengan bibir komat-kamit. Karena itulah dia malas sekali bertemu ibunya. Ada saja yang dikomentari.

"Bener-bener, ya, kamu jadi anak. Mami nggak habis pikir—"

"Mam ...," potongnya sambil memutar bola mata. Mulai malas meladeni. "Mami mau apa? Aku betulan nggak bisa lama-lama ngobrol."

"Kamu udah skip acara kumpul keluarga tiga minggu, Ervan. Why are you still asking like nothing happened?"

Giliran dia yang mendengkus. "Aku ke luar kota terus kemarin-kemarin. Minggu ini diusahakan hadir kok. Udah, 'kan, Mami cuma mau nanya begitu? Kalo gitu aku tutup teleponnya, ya? Kita sambung lain waktu. Night, Mam, istirahat yang nyenyak, ya."

Telepon dia putus sepihak. Ervan mempercepat laju kendaraan ketika gedung apartemennya mulai terlihat. Tiba di basement, dia menjumpai kondisi di sana sudah legang. Beberapa mobil sudah terparkir rapi, tapi sayup-sayup suara orang mengobrol terdengar dari arah kafe terdekat.

Hampir pukul sebelas malam.

Suara dentingan terdengar, lelaki jangkung berpotongan under cut tersebut segera memasuki lift dan menyandarkan tubuh ke dinding sembari menunggu sampai di tempat tujuan. Arah utama Ervan setelah memasukkan sandi unitnya adalah kamar. Segera dia menjatuhkan diri di atas ranjang, tidak peduli dengan tubuhnya yang butuh disiram air segera. Seiring matanya terpejam, mulutnya membuang napas panjang beberapa kali. Seluruh otot Ervan perlahan melemas dan dia memertahankan posisinya hingga lima belas menit.

Bertepatan dengan Ervan selesai membersihkan diri, ponselnya di atas nakas berbunyi. Laki-laki itu berbelok dari arah ruang wardrobe menuju sumber suara. Notifikasi pesan dari Jeriko muncul paling atas setelah dia membuka kunci layar.

Jeriko:
📎docx
Ini keterangan lengkap Laa Foodie beserta data seluruh SDM yang terlibat dan investornya. Gw kirim ke whatsapp buat jaga-jaga kalo lo ga buka email dari Diana.

You:
Soal yayasan udh aman?

Jeriko:
Sesuai permintaan lo, gue udh trf dana ke pihak yang berwewenang di sana. Surat perjanjian udh gw buat, tinggal diprint. Bsk gw minta ttd lo dan plis simpen semua pertanyaan lo smpe bsok. Gw capek bgt cok

You:
Ga ada sopan2nya lo jd bawahan

Jeriko:
💩💩💩
Btw, keterangan soal yayasan, lo buka sendiri di email yang gw kirim ya. Gw ga simpen filenya di hp, males buka laptop lagi

After We Divorce [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang