Chapter 11

60.4K 5.6K 250
                                    

"Gue bisa aja mengusahakan uang segitu dalam tempo waktu 3 hari, cuma mungkin harus berusaha mati-matian. Termasuk jual-jualin aset karena dana cadangan dan tabungan belum mampu menutupi. Hidup gue emang mulai stabil, tapi bukan berarti—aduh ... gimana, ya, jelasinnya? Pokoknya, ya, gitu, Dav. Gue bingung, kaget, dan khawatir banget."

Dua jam berlalu, Davina masih berusaha menenangkan temannya tersebut dengan mengusap-usap bahunya. Suara jangkrik yang mengerik menginvasi suasana sepi. Detik jarum jam terasa berdentang mengalahkan bisingnya tiupan angin. Evan sendiri telah kembali berlayar di alam mimpi setelah membersihkan diri dan berganti pakaian.

"Gue paham kok. Nggak perlu jelasin apa-apa. Sekarang, tenangin diri lo dulu. Lo dari tadi sampai nggak fokus ngapa-ngapain, Na."

Napas Aleena terhela pelan. Pandangannya mengawang ke depan. Mereka saling membisu beberapa menit.

"Kalo lo berkenan, gue bisa bantu lo, Na."

Kepala Aleena berputar cepat. "Jangan gila," desisnya.

"Gue serius. Yang penting urusan ini kelar dulu. Soal ngembaliin itu bisa dipikir belakangan. Toh, ke depannya kita bakalan sering ketemu, kan?" Melihat raut keberatan wanita di sisinya, Davina lantas menggenggam tangannya. "Please, Na, just let me help you."

"Lo baru mau mulai usaha, Davi. Pasti butuh modal yang banyak. Gue nggak mau ngerepotin."

Dia menggeleng tegas. "Nggak ngerepotin sama sekali. Uang ini emang masih dalam bentuk dana cadangan, Na. Soal modal, keperluan sehari-hari, dana kesehatan, dan sebagainya itu udah gue pisahin. Lagi juga, walau dana cadangan masih ada sisa kalo lo mau minjem. Lo nggak perlu khawatir. As I said before, kelarin dulu urusan lo ini."

Mata Aleena sedikit memerah kala haru merasuki dada. Namun, rasa tidak ingin merepotkan orang lain masih mendominasi. Sudah cukup selama ini dia berhutang budi kepada Bu Mulyanti dan rasanya sungguh tidak mengenakkan. Bukan terlalu berpikir negatif, hanya saja dia takut jika ada aksi ungkit-mengungkit meskipun Davina tidak kelihatan punya sifat satu itu. Perempuan itu menunduk dalam, memainkan jemari di atas pangkuan.

"Give me time, Dav. Gue pengin usaha dulu. Seandainya gue nggak mampu, gue kabarin lo, ya? Makasih sebelumnya udah berniat bantu."

Davina tetap mengangguk meski dalam hati meruntuk kesal.

Aleena, utang lo bakalan lunas. Mau lo usaha kayak apa juga nggak bakalan berguna.

***

"Saya ada pekerjaan di Surabaya dan kembali entah hari Minggu sore atau Senin pagi. Kalau ada apa-apa—seperti biasa, kamu bisa menghubungi Jeriko, Diana. Walau sebagai asisten, suara Jeriko sama kuatnya dengan saya."

Adalah kalimat terakhir Ervan sebelum mematikan ponsel kerjanya. Lelaki berkemeja flanel berlapis jaket itu lantas menyamankan duduk di kursi business class dan memejamkan mata, menunggu pesawat take off. Sejak semalam dia sudah tidak sabar menunggu waktu ini tiba. Akibatnya, lingkaran hitam di bawah mata—yang memang sudah gelap—bertambah hitam saja. Davina masih di Surabaya sejak Rabu lalu. Seperti titahnya, adik sepupunya itu terus membujuk Aleena sampai mau dibayari utangnya. Selain itu, Ervan juga mendapatkan laporan jika Aleena sudah mau diajak bercanda, meski sesekali kedapatan melamun atau menghela napas.

Sejauh ini belum ada masalah berarti. Ibunya pun tidak protes ketika dia bergegas menyelesaikan pekerjaan dan pulang lebih awal hari ini. Sebenarnya, ini adalah tindakan ternekat yang Ervan lakukan saat berurusan dengan hati. Kala sedang masa pendekatan pun, lelaki itu begitu sabar menanti timbal balik dari Aleena. Jeriko dan Davina bahkan sudah meyakinkannya lebih dari lima kali selama dua hari belakangan, tetapi tekatnya sudah bulat. Mungkin karena telah menanti hampir lima tahun. Mungkin karena kini ada keberadaan Evan. Semua kemungkinan terasa benar dan Ervan berharap kali ini rencananya berjalan mulus. Mudah-mudahan pula, kewarasannya bisa dikendalikan begitu menatap Aleena lagi.

After We Divorce [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang