“Aku ada sedikit laporan terkait SDM.” Dia tetap membuka percakapan meskipun Amira belum ada tanda-tanda bersiap menerima warta. “Ini mengenai Ervan.”

Telak. Sepasang mata yang tampak sayu tersebut terbuka. Anita bersikap seolah-olah tidak menangkap perubahan ekspresi kakaknya dan langsung menyodorkan berkas. “Ini adalah salinan surat pengunduran diri Ervan yang sudah ditandatangani secara resmi.”

“Apa-apaan kamu, Anita?! Aku nggak pernah menandatangani suratnya!” Dia balas menyentak, “ini pasti palsu.”

Anita lalu memperlihatkan rekaman di layar iPad. Di sana terlihat adiknya itu berjongkok di dekat sofa sembari membantu memegangkan sebuah map—yang diyakininya berisi surat pemberitahuan Ervan—setelah sempat membantunya duduk. Kemudian, dia menggerakkan tangan tanpa paksaan. Tidak ada suara yang bisa dijadikannya alasan atas dugaan pemaksaan. Ralat, seharusnya hal tersebut tetap dianggap ilegal sebab dirinya tidak dalam keadaan sadar.

“Ini curang dan tetap nggak dianggap sah! Aku nggak menyetujuinya secara sadar!”

Seringainya muncul kembali. “Sah atau tidak. Ditandatangani dengan sadar atau tidak, surat itu sudah dibubuhi tanda tangan dan sudah masuk sebagai persyaratan resmi. Versi aslinya bahkan telah dikembalikan kepada yang bersangkutan.” Wajah memerah Amira menjadi pemandangan favoritnya hari ini. “Dan ... sepuluh hari dari sekarang anakku resmi mengemban tugas dan tanggung jawab yang semula dimiliki anakmu.”

Sekarang Amira ingat. Waktu itu—saat pesta perayaan berlangsung—dia tidak mengikuti acaranya hingga penutupan dan baru sadar ketika telah berganti hari. Bangun tidur dalam keadaan tubuh lemas dan kepala pusing menjadi pertanyaan besar. Pasalnya, dirinya tidak merasa mengonsumsi alkohol. Jawaban yang memuaskan tidak mampu diperolehnya hanya dengan bertanya kepada supir. Berhari-hari dia seperti sedang merampungkan teka-teki. Satpam tidak tahu apa-apa. Beberapa tamu yang diharapkannya dapat mengetahui kejadian tersebut justru asyik menikmati musik. CCTV ikut tidak berfungsi malam itu. Sekarang ... semuanya terjawab. Adik kurang ajarnyalah yang menjadi dalang.

Napasnya langsung memburu. Amira tidak sadar telah mengepalkan tangan saat memandang perempuan di hadapannya penuh permusuhan. “Sialan. Anita, berani-beraninya kamu menjebakku! Atas dasar apa kamu lancang melakukannya?!”

“I don’t have any reason. It’s just for fun,” sahutnya mengedik. “Kayaknya urusan aku udah selesai. Aku pamit undur diri.”

Anita melegang pergi sambil melambai dan melemparkan senyum lima jari. Sikapnya yang terlalu santai semakin menyulut amarahnya. Amira menggebrak meja dan berteriak frustasi. Rencananya menahan Ervan pada posisinya hancur. Entah apa yang bisa dilakukannya sekarang. Anita benar-benar lawan main yang tidak bisa diremehkan. Rasanya, dia agak menyesal beberapa waktu lalu sempat mengajaknya bertanding.

***

Ada pepatah mengatakan, jangan meremehkan diamnya orang pendiam. Ervan membenarkannya seratus persen. Otaknya tidak pernah mau diam acapkali mendengar atau dinilai buruk. Seringnya, dia mencium ketidakberesan terhadap gelagat musuh yang mendadak baik, termasuk menerjemahkan maksud lain di setiap kalimat yang diucapkan. Meskipun dirinya hanya menutup diri pada orang-orang tertentu, tetap saja rasanya seperti itu.

Seperti sekarang, setelah mendapatkan kabar bahwa surat pemberitahuannya disetujui, dia justru berusaha mencari tahu kebenaran. Diam-diam menemui pengawas CCTV dan meminta diputarkan rekaman bukanlah perkara mudah. Pegawai Amira selalu patuh pada perintah. Mereka seolah disumpah dan dibayar lebih mahal dari gaji kantor. Rekaman CCTV di rooftop malam itu disembunyikan dan hanya disimpan oleh kepala pengawasnya. Namun, Ervan tidak menyerah. Beragam bujuk rayu telah dilancarkan dan baru berhasil ketika dia mengiming-imingi jaminan kesembuhan istri pengawas itu yang lumpuh. Agak mahal bayarannya memang, tetapi Ervan lebih penasaran dengan rekaman CCTV ketika pesta perayaan AG.

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now