Saat sedang menyeruput tehnya, ibu satu putra tersebut dibuat terkejut oleh kedatangan wanita yang tidak disangka-sangka akan bertemu di sini.

“Aleena, apa kabar?”

Dirinya mendadak gagu. Tidak ada satu kata pun dapat diucapkan. Otaknya seperti kosong. Pun, tangannya yang masih memegang gelas menggantung di udara.

“Tante tadi cuma lihat kamu sekelebat. Waktu diikutin ternyata benar kamu.” Sosok tersebut menarik kursi di seberangnya. Ekspresi semringahnya masih terpatri apik saat mengangsurkan tangan pada Aleena. “Kamu apa kabar? Kita udah lama nggak ketemu.”

Aleena berdeham kaku. “Y-ya. S-saya baik.”

“Kamu sekarang tinggal di mana, Sayang? Bukannya udah nggak di Bogor abis cerai sama Ervan?”

“S-saya nggak punya tempat tinggal tetap. Sekarang kerjanya pindah-pindah dan lebih sering di luar negeri,” dustanya usai menjilat bibir yang tiba-tiba kering. Keterkejutan setia melingkupi setengah hatinya, setengahnya lagi diisi ketakutan jika ketahuan dia tidak pergi ke mari sendirian. “Tante Anita kok ada di sini?”

“Iya. Tadi Tante abis nyari lipstik. Niatnya mau langsung pulang, tapi nggak jadi begitu ketemu kamu. Kamu kerja apa sekarang, Aleena?”

Raut wajahnya yang sangat ramah menutupi hati iblis dengan sempurna. Setelah semua yang dilaluinya, Aleena tidak akan mudah ditipu lagi. Sekuat tenaga dia bertahan meski sekujur bulu romanya telah meremang. Otaknya berusaha keras menerjemahkan maksud-maksud tersembunyi dalam setiap pertanyaan yang dilontarkan.

Interaksi mereka terjeda ketika pelayan mengantarkan pesanan. Setidaknya Aleena bisa bernapas lega mengetahui adik dari mertuanya ini tidak memesan apa pun, sehingga dia menyimpulkan percakapan tersebut tidak berlangsung lama.

Membalas senyum, Aleena menjawab, “Apa saja saya kerjakan, Tante, yang penting sesuai sama ilmu yang saya dapatkan semasa kuliah.”

Anita manggut-manggut. “Kamu nggak ada niatan ketemu Ervan atau membuat klarifikasi ke media soal perceraian kalian?”

“Saya kira, hidup saya bukan tentang Ervan saja, Tante. Biarlah media membuat kesimpulan sendiri. Toh, saya bukan artis yang kehidupannya sering menjadi konsumsi publik. Saya sebenarnya juga nggak mau tau dan nggak mau ketemu orang-orang dari masa lalu. Fokus saya hanya untuk menata masa depan.”

Ucapannya memang lembut, tetapi syarat akan ketegasan dan tidak ingin dibantah. Aleena berharap, Anita tidak melanjutkan aksi mengulik infomasi. Namun, seperti tidak memiliki rasa bersalah, lawan bicaranya tersebut malah terkekeh seraya mengibaskan tangan.

“Santai, dong, Aleena. Saya setuju sama keputusan kamu kok. Soalnya, kalo kamu sampai ketemu atau kembali kepada Ervan pasti semuanya berubah rumit. Dia pewaris utama keluarga Abraham dan jika konsentrasinya terbagi—utamanya soal percintaan, pasti semua orang akan menuai kesulitan.”

Entah benar atau dusta saja, Aleena tetap merasa kasihan kepada Ervan yang dituntut sedemikian rupa. Artinya, laki-laki itu tidak memiliki kebebasan meskipun hal tersebut berkaitan dengan hati. Ke depannya Ervan mungkin dipaksa menikahi anak rekan bisnis potensional macam drama-drama kacangan yang sering dia tonton.

Lagi-lagi masalah kekayaan dan kuasa. Seolah apa yang mereka miliki sekarang tidaklah cukup, gerutunya dalam hati.

“Omong-omong, hubungan sesaat kalian dulu nggak menghasilkan keturunan, kan?”

Aleena terang-terangan mengernyit. “Nggak. Emangnya kenapa, Tante?”

Kelegaan tidak dapat disembunyikan. Aleena membacanya jelas lewat sinar mata. Ada apa ini? Drama apa lagi yang sedang terjadi?

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now