Ervan mengepalkan tangan di atas meja. Desakan air dari balik kelopak mata mulai terasa, membuat mulutnya terbuka untuk meraup udara rakus. Dia butuh beberapa waktu untuk menetralkan perasaannya yang mulai tidak karuan.

"Benar, Bu. Ini murni kesalahan saya. Saya dulu hanya mau memperlihatkan hal-hal baik kepada Aleena, karena takut dia akan meninggalkan saya kalau tahu keluarga saya sangat rumit. Bukan nggak mungkin ayah saya akan buka omongan tentang banyak hal dan saya takut mempertemukan mereka."

"Tapi ternyata Aleena justru pergi karena hal itu?" terka Bu Mulyanti. Wajahnya mulai mendatar seiring kemampuannya memahami situasi meningkat. "Memangnya ada unsur paksaan waktu kalian memutuskan menikah?"

"Nggak ada, Bu. Dasarnya, Aleena memang mau menikah sama saya. Komunikasi kami sebelum menikah nggak buruk-buruk sekali, tapi memang saya nggak mau memperlihatkan kecacatan. Sementara Aleena nggak punya pengalaman asmara sama sekali."

Desah napas Ervan semakin memberat. Suaranya berubah serak. Ketika meraup wajah, jemarinya menemukan setitik air di sudut mata. Pria itu semakin kehilangan kemampuan untuk menghadap ke depan. Tatapan Bu Mulyanti terasa menghujam hingga jantungnya berpacu dua kali lebih cepat.

"Menikah bukan hanya mempersatukan dua kepala saja. Nak Ervan tahu itu to? Keluarga kedua belah pihak ikut dipersatukan. Selamanya bukan waktu sebentar buat bermain peran yang sempurna seperti pentas di atas panggung."

Punggung tangan Ervan terasa hangat. Ketika mendongak, dia menemukan Bu Mulyanti sedang berusaha mengurai kepalan tangannya dan menggengamnya erat. Sudut bibir wanita itu terangkat penuh pengertian. Hal tersebut mengantarkan perasaan aman ke dalam dada. Kepercayaan diri Ervan perlahan kembali utuh.

"Lagi pula, sebanyak apa pun Nak Ervan berusaha menutupi kekurangan ... waktu akan mengungkap tabir itu." Bu Mulyanti sedikit memberikan remasan. "Nak Ervan memang salah, tapi bukan berarti bisa disudutkan seenaknya. Kamu manusia biasa yang bisa khilaf. Sudah bagus kamu mau menyadari kesalahan. Perlu diperhatikan lagi, di sini Ibu ndak mau membela siapa pun. Cuma mau bilang ... yang sudah terlanjur, ya, sudah. Kalo memang mau kembali ke Aleena, jangan pakai acara jebak-menjebak lagi yo? Uwis, cukup sepisan aja Nak Ervan berbuat begitu. Sekarang berusaha jujur aja. Kalo emang kalian masih ditakdirkan berjodoh, pasti kalian akan kembali bersama."

Ervan balas tersenyum. Perasaannya mengharu biru mengetahui ada satu orang baik lagi yang tidak cepat menghakiminya, bahkan berkenan mendengarkannya tanpa memotong. Inilah yang disebut benar-benar peduli. Tuhan memang tidak memberikan kenyamanan melalui sosok ibu, tetapi Dia begitu baik menghadirkan orang-orang setulus Bu Mulyanti dan Oma. Ervan jadi merasa hidupnya tidak terlalu buruk. Kesulitan yang dia hadapi selama ini sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan yang Tuhan beri.

Hal yang tidak mereka sadari, Aleena sudah duduk melantai di belakang pintu sejak beberapa menit lalu. Niat awalnya ingin ke toilet, namun urung saat mendengar percakapan mereka. Memang suara mereka tidak terlalu kencang, tetapi masih terdengar dari tempatnya berada.

Nak Ervan memang salah, tapi bukan berarti bisa disudutkan seenaknya.

Dia mengulang-ngulang kalimat itu dalam hati. Mendadak kesadaran merasuki logika. Ervan memiliki pengalaman tidak enak. Ibunya memperlakukan pria itu seenaknya. Segudang tuntutan dia pikul sendiri, bahkan sebelum usianya cukup dewasa. Meskipun Ervan laki-laki dan tidak ada gelagat yang menjurus ke arah kesedihan, bukan tidak mungkin jika batinnya menjerit meminta pertolongan. Benar saja, selama mereka bersama Aleena selalu memberikannya waktu sendiri dan meyakini kalau Ervan akan bercerita bila ingin. Niatnya tidak ingin menuntut, tetapi dia tidak sadar jika tindakannya justru mendorong Ervan terlena memendam perasaannya. Namun, salahkan apabila dirinya tetap sulit percaya walaupun pernyataan ini terasa seperti fakta?

After We Divorce [New Version]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu