"Aleena juga nggak tau, Tante," cicitnya mengundang senyum aneh Tante Anita.

"Kamu ini ternyata polos sekali, ya. Pantas aja Ervan suka dan segigih itu nikahin kamu. Mati-matian dia itu melindungi kamu." Beliau memangku cangkir. Kedua matanya yang dirias sedemikian cantik mengamatinya lembut. Aleena semakin merasa kerdil. Tante Anita dengan auranya yang aneh benar-benar membuat bulu kuduk meremang. "Perbedaan status sosial yang berujung terhalangnya restu, sebenarnya bukan perkara pertama yang terjadi di keluarga Abraham. Sebab itu, hal seperti ini menjadi sesuatu yang sensitif sekali. Mami Ervan mungkin nggak sampai hati buka omongan langsung ke kamu karena kamu tampak murni banget orangnya. Seperti anak-anak. Tapi, Aleena ... mau menerima Ervan artinya sanggup menerima seluruh keluarganya tanpa terkecuali, kan? Itu artinya, kamu harus tabah ketika mami Ervan bersikap kurang menyenangkan ke kamu. Karena pada dasarnya, bukan kakak saya yang salah, tapi kamu yang lebih dulu mengusik dia."

Aleena terus kepikiran dengan kalimat terakhir Tante Anita. Semakin lama dipikirkan, semakin pusing juga dia. Ingin bertanya ke Ervan, laki-laki itu kelihatan lelah sekali tiap pulang kerja, sehingga dia tak sampai hati. Tante Anita juga menjadi kerap datang tiba-tiba. Dengan auranya yang sama, Aleena selalu merasa dikuliti. Untuk yang terakhir pertemuan mereka, beliau sempat menyinggung soal anak.

"Kalian ada rencana punya anak berapa, Aleena?"

"Kami belum membicarakan soal itu, Tante."

Lagi-lagi tatapan tak habis pikir kembali Aleena dapatkan.

"Ada baiknya dibicarakan, Aleena. Tapi saran Tante, jangan punya anak dulu sebelum kamu berhasil ambil hati maminya Ervan. Bukannya apa. Tante cuma kasihan aja kalo nantinya anak kamu nggak bisa mendapatkan kasih sayang dari nenek. Makin jauh juga hubungan Ervan sama maminya. Kamu nggak mau, kan, hal itu terjadi?"

Aleena mengangguk sambil berpikir kalau Tante Anita ada benarnya. Dia sudah cukup kasihan melihat Ervan banyak pikiran belakangan. Tidak berhasil mendapatkan restu mungkin menjadi salah satu faktor penyebabnya. Di sisi lain, Aleena sudah sangat ingin memiliki anak. Dia suka anak kecil. Ervan pun seperti mendukungnya waktu dirinya bercerita ingin memiliki banyak anak sebelum menikah. Tidak ada tanggapan berarti memang, tapi Aleena yakin sekali. Lantas, bagaimana ini akhirnya?

Perempuan itu mulai pusing. Memang ada baiknya hal seperti ini didiskusikan. Semoga saja Ervan menyetujui keinginannya nanti.

"Soal tempat tinggal juga, kamu harus mulai bicara sama Ervan. Nggak mungkin, kan, selamanya kalian akan tinggal di apartemen kecil begini? Seandainya Ervan nggak setuju, kamu yang harus lebih tegas. Nggak apa-apa seorang istri minta sesuatu lebih ke suami, Aleena."

Ini juga belum pernah diobrolkan. Aleena dulu hanya ikut saja dengan Ervan, karena dia selalu percaya apabila lelaki itu pasti sudah mempersiapkan segalanya. Semua yang laki-laki itu pilih pasti hal yang terbaik untuknya. Setidaknya, begitu kata Ervan.

"Have you finished your period?"

Mereka sudah menikah seminggu. Tidak ada sentuhan fisik lebih jauh dari ciuman. Ervan juga tidak memaksanya melayani dengan cara lain. Namun, ada hal yang tak diduga-duga perempuan itu, ternyata Ervan bisa berubah layaknya anak kecil ketika mereka hanya berdua. Lelaki dewasa tersebut begitu payah mengurus dirinya sendiri, sehingga peran Aleena bukan hanya sebagai istri, tetapi juga merangkap sebagai ibu. Biar begitu, dia tak banyak mengeluh. Mungkin karena peran cinta pertamanya telah lama absen, jadi Ervan berusaha merekonstruksi sosoknya melalui dirinya.

"Aku baru selesai hari ini," jawabnya memainkan ponsel, tidak menoleh. Lama tidak mendapat jawaban, dia menoleh dan menemukan suaminya sedang menatapnya dalam-penuh makna. Aleena yang baru pertama ditatap sedemikian rupa hanya mengerutkan kening. "What's wrong?"

After We Divorce [New Version]Where stories live. Discover now