Melepaskan gengaman tangannya dengan Jevan, gadis itu maju lantas menendang tulang kering Liam hingga membuat sang empu berteriak. "Nggak nyambung lo."

"Sakit, Oren. Gitu aja langsung cosplay jadi reog." Liam mengusap bekas tendangan Louren yang terasa nyeri. Kini, tatapannya kembali beralih pada Jevan. "Duduk. Santai aja, gue nggak akan nerkam lo. Gue bercanda doang tadi, nggak perlu dianggap serius."

"Nah, kenapa nggak dari tadi?" Louren memaksa Jevan dudu di sofa yang bebeda dengan Liam. "Duduk dulu, gue mau mandi sekaligus ganti baju. Baik-baik cogannya Oren. Kalau ada yang jahatin lo, ucap istighfar aja. Nanti pasti ada yang kepanasan." Tanpa menunggu respon, Louren berlari naik ke lantai dua.

"LO PIKIR GUE SETAN? AKHLAK HASIL REMEDIAL GITU TUH." Terdengar gelak tawa puas dari arah tangga, siapa lagi jika bukan Louren.

Liam memejamkan matanya sejenak, menghalau emosi yang akan meledak jika nanti Louren kembali berhadapan dengannya. "Sabar, Liam. Lebaran idul fitri masih lama, belum bisa jual adik lo ke tanah abang dengan diskon besar-besaran."

"Nama lo siapa?" tanyanya pada Jevan.

"Jevan," jawabnya.

Mengangguk pelan. "Dekat sama adik gue sejak kapan?"

"Sejak Louren datang membantu saya."

"Oh, lo cowok yang sering diceritain si biji ketumbar ternyata." Liam mengulurkan tangannya. "Gue Liam, calon abang ipar lo."

Jevan memundurkan kepalanya. Kenapa kakak beradik itu tingkahnya sama? Tidak adakah yang sedikit waras? Pikirnya. Segera ia menjabat tangan Liam yang terulur ke arahnya. "Jevan, eum..."

"Panggil kayak Louren aja," pintanya. Berdeham pelan seraya membenahi kaosnya. "Bentar, gue mau masuk ke mode serius "

"Gue tebak, Louren yang dekatin lo? Secara, adik gue terlihat lebih dominan dibanding lo." Jevan mengangguk.

"Lo-"

"Loh, ini teman kamu, Bang?" pertanyaan itu datang dari wanita paruh baya yang baru saja muncul, siapa lagi jika buka Vinja.

Liam berjengkit saat mendengar suara Vinja. Suara bundanya tidak berbeda jauh dengan Louren, sama-sama berhasil memekakkan telinga siapapun di sekitarnya. "Bukan, Bun. Ini teman Louren."

Mimik wajah Vinja berubah seketika. Ia tampak sangat antusias karena Louren membawa temannya ke rumah, itu berarti putrinya memiliki teman baik di sekolah barunya. "Siapa namamu?"

"Jevan, Tante," jawab lelaki itu diiringi senyum tulus lantas mencium punggung tangan Vinja.

Kening wanita paruh baya itu tampak bergelombang. Ia mendekatkan dirinya pada Liam lantas berbisik, "Jevan? Itu nama yang sering jadi bahan haluan Louren ya, Bang? Itu loh, yang adikmu halu jadi calon isterinya."

"Pura-pura nggak tau aja, Bun."

Vinja meringis pelan. Selera anaknya tidak main-main, yaitu cowok kalem dan berwajah imut seperti Jevan. "Oh, Jevan. Mau minum apa? Tante sampai lupa nawarin kamu."

"Nggak perlu repot-repot, Tante. Setelah Louren turun, saya akan segera pulang," jawabnya pelan takut menyinggung wanita tersebut.

Melambaikan tangannya seolah tak masalah. "Nggak, ngerepotin sama sekali. Atau mau sekalian menunggu ayah Louren buat ikut makan malam?"

Jevan tergagap. Ia bingung harus menolak bagaimana lagi. "Sebentar lagi magrib, nggak baik kalau saya masih bertamu."

"Nah!" seru Liam. "Adzan magrib sebentar lagi, lo sekalian aja shalat di sini."

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang