2

29.3K 3.3K 56
                                    


Panca menutup laptopnya, sebelum memandang ke luar jendela kantor.

Kantor perusahaannya hanya terdiri dari tiga lantai, tapi merupakan bangunan paling tinggi sejauh mata memandang. Di sekitar gedung kantor administrasi, berjajar ladang-ladang vanili, diselingi rumah-rumah kaca sayuran hidroponik dan unit pengepakan.

Sudah memasuki bulan November, hujan selalu turun setiap sore. Panca sedang mengecek proyeksi pendapatan perusahaan untuk tahun mendatang semenjak makan siang, dia menyadari awan mendung kelabu sudah menggelayut di langit.

Saat sedang bangkit dan membereskan meja, terdengar suara pintu diketuk.

"Masuk," kata Panca.

Pintu terbuka dan Hanan memasuki ruangan. Tangan kanannya membawa binder dokumen yang terbuat dari plastik biru tebal. "Pulang sekarang Pak?" tanya Hanan, melihat Panca bersiap.

Panca memutari meja, meninggalkan laptop di mejanya, hanya mengantongi ponsel dan kacamata hitam. "Ya, sudah mau hujan," kata Panca. Dia mengulurkan tangannya, meminta Hanan menyerahkan binder itu. "Kita bicara sambil jalan saja. Minta tolong Zaki jemput di depan."

Hanan mengangguk. Dia menyerahkan binder yang diminta Indra, lalu menelepon. Sebenarnya masih ada satu jam lagi sebelum jam kantor berakhir, tetapi apa gunanya mendirikan perusahaan kalau hanya pulang satu jam lebih awal saja tidak bisa?

Panca berjalan dengan langkah panjang, beberapa pegawai yang dia temui di tangga dan koridor kantor menyapa, sementara Panca hanya mengangguk. Sambir berjalan menuruni tangga, dia membuka isi binder yang tadi diberikan Hanan dan mengernyitkan dahi saat mulai membaca lembar pertama. Kerutannya makin dalam saat Panca membuka lembar-lembar berikutnya.

Panca berhenti jalan tiba-tiba. Andai saja Hanan melamun, dia pasti sudah menabrak punggung Panca.

"Apa ini?" tanya Panca sembari balik badan, mengacungkan binder plastik di tangannya. Alisnya berkerut, suaranya meninggi.

Hanan hampir kena serangan jantung. Sepanjang dia bekerja dengan Panca, tidak pernah sekalipun dia mendengar suara Panca hampir mendekati nada membentak seperti ini.

 Atasannya itu amat tenang, hampir tidak ada, baik soal bisnis atau soal pribadi yang bisa membuat emosinya terpancing. Di tiap suasana, Panca selalu tersenyum tipis  dan berwajah tenang. Menyapa sopan dan menjawab sapaan dengan sopan, mengobrol seperlunya.

Hanan menatap binder plastik yang diacungkan Panca dengan bingung. Kekagetannya akan suara Panca yang meninggi membuat Hanan kehilangan ingatan sejenak.

"Oh, itu..." kata Hanan. "Itu... AJB rumah Pak Bayu Wiyono?" jawab Hanan. "Bukannya Pak Panca meminta saya membeli rumahnya? Dua bulan lalu?"

Sebagai orang kepercayaan, Hanan tidak pernah terlau diatur dalam mengerjakan tugasnya. Panca selalu tahu beres, dan sejauh ini Hanan tidak pernah mengecewakan Panca.

Posisinya sebagai asisten pribadi Panca sudah amat nyaman, bergaji besar dan yang paling penting, Hanan bisa memboyong keluarga kecilnya untuk tinggal di Pandanlegi yang dingin dan damai, sekolah bagus untuk anak dan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak.

Melihat reaksi Panca saat melihat dokumen jual beli rumah Bayu Wiyono, keraguan merayapi hati Hanan.

Jangan-jangan, Panca tidak pernah memintanya membeli rumah Bayu Wiyono? Dan karena perintah Panca hanya sekadar verbal, Hanan tidak punya bukti kalau--

Mendadak Hanan merasa ingin jongkok dan menangis. Entahlah kalau cuma salah beli nasi goreng. Ini salah beli rumah? Seharga delapan ratus juta?

Panca berdecak tak sabar. Sungguh, baru kali ini Hanan melihat Panca segusar ini. Wajah Panca yang bisanya terlihat tenang berwibawa terlihat penuh kepanikan.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now