16

18.9K 2.9K 172
                                    


Farah tersenyum di depan kaca wastafel kamar mandi, menoleh ke kanan sekali, ke kiri sekali, mematut tampilannya.

Kulit Farah kenyal, halus dan mengilap berkat krim dan serum mahal yang dia balurkan tiap pagi dan malam. Hanya dipoles sedikit bedak dan perona saja sudah membuatnya tampil luar biasa menawan.

Farah keluar dari kamar mandi yang luas itu dan membuka tirai kamar lebar-lebar. Dari kejauhan, terlihat pemandangan ke arah rumah-rumah kaca Rezeki Pandansari, yang memang dibangun di perbukitan.

Farah menghela napas lega. Dia selalu suka kamar ini, dan Panca selalu menyiapkan kamar ini untuk Farah. Selain pemandangannya yang mengarah ke Rezeki Pandansari, juga luas ruangannya kedua paling besar di rumah ini, hanya dikalahkan oleh kamar Panca saja.

Tapi pemandangan kamar Panca mengarah ke arah lembah, ke hamparan kebun-kebun tebu yang bentuknya berubah mengikuti musim.

Farah keluar dari kamarnya setelah mengambil tas tangan miliknya dan menyampirkan talinya ke bahu. Sudah pukul setengah tujuh, Farah tidak mau Panca menunggu terlalu lama.

Setiap kali Farah menginap di Pandanlegi, tanpa diminta Panca akan mengosongkan jadwalnya. Kadang Farah tidak ingin kemana-mana jadi perlahan Panca kembali mengisi jadwalnya secara perlahan.

Tapi kalau soal sarapan, Farah dan Panca selalu wajib sarapan bersama. Yang lain opsional, tapi sarapan bersama tidak pernah terlewatkan sekalipun. Paling sering, mereka sarapan nasi uduk kesukaan Farah di dekat kantor pos.

Begitu membuka pintu kamar, hidung Farah merasa dia mencium aroma familier nasi uduk kantor pos. Dia mengerutkan alis dengan bingung, langkahnya yang sudah mantap berjalan menuju ruang tengah sedikit melambat. Dia kemudian memutar langkah dan berjalan menuju ruang makan.

Betapa kagetnya dia saat melihat meja makan, beberapa pekerja di rumah Panca sedang membuka kotak-kotak Pyrex berisi aneka lauk teman nasi uduk. Semur ayam, bistik daging, bihun tumis, telur balado, kering tempe, kerupuk bawang... di salah satu wadah Pyrex yang paling besar, terlihat nasi uduk yang sudah ditaburi bawang goreng yang melimpah. Aromanya yang harum harusnya menerbitkan selera makan, tapi malah membuat dahi Farah berdenyut kesakitan.

"Apa ini?" tanya Farah, meski dia tahu persis apa ini...

Farah dan Panca selalu wajib sarapan bersama. Yang lain opsional, tapi sarapan bersama tidak pernah terlewatkan sekalipun.

"Ini nasi udak dan lauk pauk dari nasi uduk kesukaan Mbak Farah," kata salah satu dari tiga orang pekerja yang sedang merapikan meja makan.

"Ya, tapi kalian harus beli lauk dan nasinya?" Farah kembali bertanya. "Mas Panca selalu membawaku makan ke sana."

Padahal Farah mengira dia sudah menang.... ketika tadi malam Panca bergegas meninggalkan apa pun yang sedang dia lakukan dan secepat kilat kembali ke sisi Farah...

"Oh..." kata mereka, sembari saling bertukar pandang pada sesama. "Pak Panca sudah pergi pagi-pagi sekali. Ada urusan penting yang tidak bisa beliau tinggalkan."

Farah merasa migrainnya mendadak kumat. Aroma nasi uduk membuatnya mual.

Farah dan Panca selalu wajib sarapan bersama.

"Lupakan saja... bungkus saja kembali nasinya, kalian makan, kalian buang, terserah, saya sedang tak ingin sarapan..."

Ketiga orang pekerja itu menatap Farah yang berjalan keluar dari ruang makan dan kembali memasuki kamar. Setelah terdengar suara pintu kamar yang ditutup dengan penuh emosi, salah satu dari mereka buka suara.

"Padahal Pak Panca sampai bela-belain beli lauk nasi uduk sebelum pergi," kata salah satu dari mereka membuka percakapan.

"Ya, mungkin kita harusnya bilang ke Bu Farah kalau ini Pak Panca sendiri yang beli, Pak Panca sendiri yang pilihkan lauknya, semua favorit Bu Farah...."

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now