1

35.3K 3.6K 71
                                    


Lintang melangkah pelan melintasi ruang tengah rumah mereka. Perutnya masih terasa nyeri, tapi Lintang berusaha untuk tidak menampilkan ekspresi apa-apa. Dia tidak mau Dara tahu soal kesakitan yang dia rasakan.

Sudah cukup banyak yang jadi beban pikiran dan tanggung jawab adiknya itu, semuanya ditanggung sendiri tanpa bisa Lintang bantu.

Kesehatan Lintang membuat banyak hal jadi mustahil.  Jadi, beginilah cara Lintang membantu Dara; dengan tidak menunjukkan kesakitan yang dia rasakan. Dengan berpura-pura kuat dan tak ada apa-apa.

"De?" panggil Lintang dari ambang pintu kamar Dara, yang hanya tertutup korden kain tipis. Kamar-kamar tidur di rumah ini, tak ada satu pun yang menggunakan bilah pintu; terlalu mahal.

Terdengar suara gemeresak, sebelum gorden disibak, memunculkan wajah Dara.

Dara terlihat terkejut melihat kakaknya di depan pintu kamar. "Mbak, kok jalan sih? Kakak mau apa? Biar aku ambilkan..." Dengan sigap, Dara berada di samping kakaknya dan memapah Lintang memasuki kamar. Tangannya melingkari tubuh Lintang lembut, kehangatan pelukan adiknya membuat Lintang rasanya ingin menangis sekarang juga.

"Nggak apa-apa, Mbak cuma pengen ngobrol sama kamu."

Setelah kematian Ayah dan Ibu, harusnya Lintanglah yang menjaga Dara, bukan sebaliknya.

Setelah membantu Lintang duduk di tepi ranjang dengan amat perlahan, Dara Bersimpuh di hadapan Lintang. "Ngobrol apa Mbak? Masih sakit nggak perutnya? Obatnya mau diminum lagi? Mau aku ambilkan?"

Pertanyaan Dara yang bertubi-tubi itu hanya bisa dijawab Lintang dengan senyuman. Sudah dua minggu lalu operasi pengangkatan kista di rahimya berlangsung, dan obat pereda sakitnya sudah amat menipis. Lintang selalu berusaha untuk meminumnya di malam hari, untuk membantunya tidur.

Harga obat-obat itu tidak murah, dan kecuali antibiotik yang memang harus dimakan teratur sesuai dosis, maka Lintang berusaha menghemat yang lainnya. Selain karena urusan uang, dia juga tidak tega membiarkan Dara terus menerus mengantre di rumah sakit untuk menebus obatnya.

"Mbak.. cuma mau bilang..." Lintang berkata dengan napas pendek-pendek, "...kalau sudah ada yang mau membeli rumah..."

Dara menatap kakaknya tanpa berkedip. "Hah? Cepat banget."

Lintang ingin berkata bahwa tiap kali mereka menjual aneka properti yang masih mereka miliki di Pandanlegi... memang selalu terjual cepat.

***

Dulu almarhum Ika dan Lintang selalu penasaran, karena mereka biasanya hanya berurusan dengan sekretaris atau wakil dari pembeli, menggunakan nama perusahaan, PT Sumber Rejeki Pandansari.

Suatu ketika, Ika mengetahui bahwa orang yang sudah mengeluarkan uang puluhan miliar untuk membeli barang-barang mereka adalah Panca Rahman, anak panti asuhan yang dulu pernah dibawa Ika untuk membantu-bantu di rumah, kadang sebagai tukang kebun, kadang supir, kadang membantu di gudang untuk mencatat keluar masuk kayu.

Panca Rahman, yang kala itu berusia 22 tahun, lulusan D3 Pertanian yang butuh kerja cepat untuk menebus biaya kelulusan kuliahnya.

Panca Rahman, pria yang merupakan cinta pertama Dara.

Dara memang tidak pernah mengatakannya secara langsung, tapi Lintang bisa merasakannya.

Lintang ingat, kala itu masa-masa remaja dia dan Dara amatlah suram. Percuma punya orangtua kaya dan terpandang, kalau serba dikekang, tinggal di desa membosankan seperti Pandanlegi. Padahal punya mobil untuk pergi ke Semarang, tetapi selalu tidak boleh. Padahal ingin main sama teman, tetapi hanya boleh teman yang main ke rumah.

Bulan Terbelah DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang