6

23.7K 3.5K 92
                                    

Verro duduk di kursi di ruang tamu, di samping kursi roda yang diduduki Dara, tangannya terlipat di dada, matanya menatap Ipda Heri, salah satu anggota Polsek Pandanlegi, tanpa berkedip.

"Begitu, Bu Dara," kata Heri, menutup uraiannya. "Hellraisers sudah terlalu sering menimbulkan keresahan, namun baru kali ini dia menyerang di tengah hari bolong. Saya yakin, kalau Bu Dara mau memberi keterangan, akan lebih mudah bagi kami untuk memprosesnya."

Dara meringis sembari menatap Verro. Verro menggeleng perlahan. Heri menatap mereka berdua, melihat dengan jelas gelengan Verro.

Dara kembali menatap Heri. "Kalau boleh jujur, saya tidak terlalu jelas melihat wajah pelaku-pelakunya, kejadiannya cepat sekali. Kalau saat ini juga saya berhadapan dengan mereka, belum tentu saya bisa mengenalinya. Lagi pula... saya hanya tinggal di Pandanlegi hingga luka-luka saya sembuh, setelah itu, saya akan pergi dari sini."

Verro menimpali, "Justru karena kamu tinggal sementara di Pandanlegi, makanya Pak Heri memintamu jadi saksi. Betul kan pak?" kata Verro, salah satu sudut bibirnya tersungging, kalimatnya jelas merupakan ledekan.

Heri menatap Verro, ekspresinya datar. Heri tahu apa maksud ucapan Verro--bahwa Polsek Pandanlegi dan semua anggotanya terlalu lemah. Mereka tidak berdaya menangani Hellraisers karena sulitnya mengumpulkan laporan dan fakta akan tindakan kriminal yang mereka lakukan. Semua lebih takut akan pembalasan dari Hellraiser, karena polisi tidak mungkin akan melindungi mereka.

Dari semua penduduk Pandanlegi, Verro merupakan salah satu yang paling vokal dengan keberatannya akan Hellraisers. Entah sudah berapa kali studio Verro yang letaknya di salah satu jalan utama diserang, sebelum akhirnya dia membeli tanah luas di punggung bukit ini. Verro tahu, seperti kebanyakan pengecut, Hellraisers mendapatkan kepuasan dari teror. Mereka menganggap tidak ada gunanya menyerang studio baru Verro--karena berada di tempat yang sepi, tidak ada orang yang melihat, tidak ada orang yang terteror.

Heri sadar betul kemampuan instansinya, mereka tak punya cukup anggaran untuk melakukan perlindungan menyeluruh untuk para korban. Karenanya, mereka juga tidak bisa memaksa kalau korban-korban Hellraisers menolak memberi keterangan. Keinginan Polsek Pandanlegi untuk menguak keadilan tidak bisa bertentangan dengan keinginan korban untuk tetap dalam posisi aman.

Lagi pula, bukankah semua 'korban' Hellraisers disantuni Panca Rahman? Kadang, Panca Rahman malah mengganti dengan nilai yang lebih besar daripada yang hilang.

Ngomong-ngomong soal disantuni Panca Rahman...

Seorang pegawai Verro mendekati mereka, lalu menunduk di dekat Verro. "Pak, tamunya sudah menunggu lima belas menit, sesuai yang Bapak minta," bisik pegawai itu di telinga Verro.

Verro mengangguk. Dia menatap Heri, "Mohon maaf saya tinggal dulu," katanya dengan wajah kaku. Ekspresi wajah Verro melunak saat dia menoleh ke arah Dara, "Tinggal dulu, ya."

Dara tersenyum dan mengangguk. Saat Verro bangkit dari duduknya meremas pelan bahu kurus gadis itu, Dara menepuk punggung tangan Verro perlahan.

Heri menatap gadis muda di hadapannya dengan penuh perhitungan. Sejak lulus dari Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana tahun lalu dan langsung ditempatkan di Pandanlegi, Heri sering mendengar soal putri bungsu Bayu Wiyono ini.

Seperti hantu, kisah Bayu Wiyono adalah cerita yang diturunkan dari penduduk asli ke pendadak, dari ibu ke anak-anaknya, dari orang yang sudah tahu ke orang yang belum tahu.

Semua kemalangan yang terjadi pada keluarga Bayu Wiyono, semuanya karena apa yang mereka lakukan sepuluh tahun lalu pada Panca Rahman. Karena mereka mengusir Panca Rahman di tengah malah berhujan, tidak memberikan gaji yang sudah enam bulan belum dibayarkan.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now