25

24K 2.9K 220
                                    

Terhitung bab 24 lalu, jumlah kata di Bulan Terbelah Dendam mencapai 42 ribu kata, sementara itu rata-rata ceritaku berakhir di angka 50 ribu.
Nggak ada alasan apa2 sih kenapa selalu 50 ribu, cuma emang segitu udah pas banget, secara konflik, waktu nulis dan waktu baca (alias ingin wordcount banyak juga terhalang cucian piring 🥀)

Ada yang bisa nebak di bab berapa Bulan Terbelah Dendam berakhir?

Bab 27? Bab 29? Bab 31? 😁

Sebelum BTD benar2 berakhir terima kasih banyak yang sudah menemaniku menulis cerita ini... yang sudah vote, komen, sharing, dan merekomendasikan Bulan Terbelah Dendam sehingga cerita ini makin banyak ditemukan teman-teman pembaca yang lain. Mari kita bersama2 melangkah menuju matahari terbenam (ceilaaah...❤️)

***

Sisa hidupmu akan jadi perjalanan yang sepi

Jadi tak perlu berusaha menyembuhkan luka yang kusebabkan

Undisturbed Kiss - Zhou Shen

***

Hujan masih turun pada dini itu, ketika Dara membuka mata. 

Suaranya teredam kaca jendela kedap suara, tapi tirai kamar tidak ditutup sehingga Dara bisa melihat gulir-gulir air mengaliri kaca.

Sejauh mata memandang, hanya ada langit gelap kebiruan dan barisan lampu di kejauhan yang membatasi tanah di rumah Panca... Hampir tak terlihat apa-apa, tapi Dara tahu di luar sana terhampar ladang tebu. Bulan-bulan seperti ini, menjelang panen raya... semilir angin malam akan membuat bunga-bunga tebu meliuk dan berdesir.

Dara memperbaiki letak tangannya dan menggunakannya sebagai bantal di bawah pipi. Telapak kakinya terasa sakit, seluruh persendiannya kaku dan nyeri, badannya pegal tapi setidaknya demam dan sakit kepalanya sudah mereda.

Sudah tiga hari berlalu sejak peristiwa pembakaran Restoran Mbah Jengket. Selama tiga hari itu, Dara sama sekali tidak menemui siapa pun. Dia menyepi di rumah Panca, bergelung di kasurnya. Demam dan sakit kepala datang dan pergi seperti ombak menerpanya.

Dara hanya bisa memegang ponsel sesekali, mengobrol dengan Panca sesekali, lalu sisanya tertidur tanpa bermimpi. Selama tiga hari, Panca selalu berada di sisinya, merawatnya, membantunya makan dan minum obat.

Dara menghela napas. Dia lalu mengulurkan tangan, mengambil ponselnya yang sudah ditaruh rapi dari nakas.

Baterai ponsel sudah menunjukkan angka 100 persen padahal Dara ingat angkanya tidak lebih dari 17 persen saat dia ketiduran sembari memegangnya tadi malam. Panca selalu begitu, diam-diam mengisi batere ponsel Dara saat gadis itu terlalu mengantuk untuk melakukannya.

"Bangun?"

Suara itu terdengar ketika Dara hendak membuka layar ponselnya.

Dara kembali menaruh ponsel di kasur dan lehernya menoleh, mencari Panca.

Lelaki itu sedang berjalan dari arah pintu kamar, membawa segelas air di tangannya. Panca berjalan perlahan, langkahnya tanpa suara, membuat suasana kamar tetap hening dan sunyi.

Cahaya lampu kamar hanya berasal dari lampu duduk di nakas samping tempat tidur, jadi wajah Panca tidak begitu terlihat oleh Dara. Kemudian Panca sampai di samping tempat tidur, dan dia setengah membungkuk untuk meletakkan gelas di nakas.

Mata Dara menatap jemari Panca yang sedang memegang gelas—jemarinya langsing dengan buku-buku jari yang panjang. Kulit tangan Panca putih dan bersih seperti tidak terlalu sering terkena matahari, hingga urat kebiruan di punggung tangannya bisa terlihat.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now