8

22.1K 3K 214
                                    

A/N:
Halo halo... sebenarnya BTD ini nggak pake outline jadi aku juga bingung kenapa Bab 7 berakhir seperti itu.

Maksudku secara alur memang sesuai rencama tapi artinya cerita sudah meninggalkan fase pengenalan dan memasuki konflik utama, yang biasanya lebih melelahkan untuk ditulis hhhhh.....

Btw, arti nama Dara adalah:

Jadi ya sesuai judulnya, cerita ini tentang Dara yang hidupnya koyak oleh dendam yang (mungkin?) malah salah sasaran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jadi ya sesuai judulnya, cerita ini tentang Dara yang hidupnya koyak oleh dendam yang (mungkin?) malah salah sasaran. 😬

Btw, sebenernya cerita ini berasa romance atau nggak sih? (Anaknya butuh dikuatkan)(Mumpung masih bab awal bisa kesetir ke genre lain)


____________________________________________________


Seingat Farah, Panca tidak pernah mendadak datang ke Semarang. Selalu ada koordinasi selama dua-tiga hari sebelumnya. Biasanya karena Farah meminta mereka mencocokkan jadwal. Karena dia sudah bekerja di rumah sakit sekaligus mengambil magister, secara jadwal, kegiatan Farah jauh lebih padat.

Tapi hari ini, sore hari Panca meneleponnya bahwa dia akan datang ke rumah orangtua Farah. Saat Farah meminta Panca untuk memundurkan kedatangannya, Panca hanya berkata datar bahwa dalam sepuluh menit dia akan sampai di rumah orangtuanya. "aku hanya ingin mengobrol sebentar sama Papa dan Mama."

Farah tahu Panca memang selalu ingin menemui orang tuanya. Hashim dan Fitri, juga sudah dianggap orangtua oleh Panca. Jadi Farah hanya menghela napas, " Aku baru selesai kuliah jam delapan malam. Mas Panca hari ini menginap di rumah kan? Biar besok kita bisa sarapan barang?"

"Mungkin tidak, aku ke sini langsung dari kantor jadi ada Hanan di sini. Kami berdua tidak ada yang bawa baju ganti."

Farah mengernyit. Keanehan kedua, panca hampir selalu ke sini berdua supir. Meski Hanan merupakan asisten pribadinya, tapi jarang sekali dia juga ikut ke Semarang." Farah mulai mengira bahwa kedatangan Panca ke rumahnya merupakan urusan bisnis, meskipun tidak tahu bisnis apa.

"Oke, kalau begitu... kuusahakan datang secepatnya ke rumah," ucap Farah, tak memperpanjang percakapan mereka.

Pukul setengah sembilan malam, Farah mendorong pintu depan rumah orangtuanya yang tebal dan penuh ukiran. Fitria, mamanya, sama seperti Hashim, ayahnya, merupakan keturunan Jawa-Pakistan. Tapi meskipun wajah mereka amat Pakistan, dengan mata bulat dan hidung mancung rupawan, selera mereka amatlah Jawa. Rumah mereka yang megah dihiasi aneka ukiran dan keramik berselera tinggi, furnitur jati dan aroma kayu cendana.

Farah masih ingat ketika dulu ayahnya merupakan seorang guru biologi di SMA Negeri di Pandanlegi. Dengan empat anak, meski hidup mereka tak pernah kekurangan, mereka juga tidak pernah amat berlebihan. Hampir seperti bumi dan langit dengan keadaan mereka sekarang.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now