26

21.5K 2.9K 243
                                    

Agak ngantuk pas ngetik bab ini, kalau ada typo mohon petunjuknya~

***

Seperti Dara, Panca tahu Farah sudah kembali ke Semarang. Tak seperi Dara, informasi itu tidak didapatnya dari Heri. Farah sendiri yang langsung mengatakannya.

Sejak kericuhan di rumahnya beberapa malam lalu, Farah hanya sekali mengirim pesan pada Panca.

Aku sudah di Semarang. Kita harus bicara, Mas...  

Tapi Panca tidak ke Semarang untuk menemui Farah atau untuk bicara dengannya.

Panca datang ke Semarang untuk menemui Hashim. 

Pukul sembilan pagi itu, Panca sudah berada di depan rumah mewah keluarga Hashim. Salah satu asisten rumah membukakan pintu dan mempersilakan Panca masuk. Saat Panca mengutarakan niatnya untuk menemui Hashim, sang asisten mengernyitkan alisnya dan memastikan sekali lagi, "Bukan untuk menemui Mbak Farah?" tanyanya.

Panca menggeleng. "Mau ketemu Pak Hashim," kata Panca dengan tegas.

"Oh, soalnya mbak Farah sudah wanti-wanti kalau..." Asisten itu berhenti sejenak lalu mengangguk. "Kalau mau ketemu Pak Hashim, sebelah sini Pak... jam segini beliau masih berjemur di pinggir kolam renang."

"Kalau begitu, biar saya ke sana sendiri."

Asisten rumah tangga itu setuju akan usul Panca, lalu pamut pergi. Panca mengela napas panjang sebelum melangkah membuka pintu kaca ganda yang menghubungkan bangunan rumah utama dengan area kolam renang.

*** 

Hashim sudah melihat Panca saat pria itu keluar rumah, lalu mlambaikan tangan. Hashim sedang duduk selonjoran di kursi rotan.

Mereka bertukar kabar ringan sesaat--kesibukan Panca, liburan Hashim--sebisa mungkin menghindari topik berat seperti penggerebekan Hellraisers.

"Mau serbat? Sekalian habis ini Ayah mau nambah," kata Hashim sembari menyeruput minuman dari cangkir keramik di samping kursi malasnya. 

Panca menggeleng. Dia tidak ke sini untuk bicara dengan Farah. Dia jelas tidak ke sini untuk minum serbat. 

"Ayah?"

Hashim baru hendak memanjangkan leher, berusaha mencari asisten rumah untuk dimintai tolong. 

Begitu mendengar Panca bicara, pria paruh baya berbadan gempal itu mengurungkan niatnya dan berkonstrasi sepenuhnya pada Panca. "Ya?"

Panca menggertakkan gerahamnya. Panca sudah mengulang-ulang apa yang hendak dia tanyakan. Pertanyaa itu sudah dia ingat jauh di luar kepala. Tapi melontarkannya tak semudah itu.

Ini jauh lebih menakutkan dari yang dia kira.

Apa pun yang terjadi, Hashim adalah satu-satunya pria di dunia ini yang dia panggil Ayah. Meski keluarga ini tak sempurna, tapi inilah satu-satunya keluarga yang Panca ketahui... yang Panca miliki.

Di tengah kalutnya pikiran, Panca meletakkan ujung jemari di bibirnya... dan mendadak kebimbanganya sirna. 

Dia masih bisa merasakan manis dan ranumnya bibir Dara bertemu dengan bibirnya, lembutnya tubuh gadis itu dalam rengkuhannya. 

Apa yang akan Panca lakukan mungkin akan menyakitkan semua orang, membongkar duri lama yang sudah dilapis daging, mengkoreknya, berusaha mengeluarkannya, membuatnya kembali berdarah. 

Tapi Panca tidak punya pilihan. Dia harus melakukan ini demi Dara.

Semua demi Dara. 

"Ayah..." kata Panca. "Ayah sering kepingin diberitahu kalau ada keluarga Pak Bayu atau Bu Siska datang ke Pandanlegi. Kenapa?"

Hashim mengangguk. "Ya memang begitu? Tapi bukannya mereka sudah meninggal?"

"Ya."

"Kedua putrinya juga sudah meninggal kan?"

Jantung Panca nyaris copot. Kalau ada meja kayu dekat sini, rasanya dia ingin mengetuknya tiga kali. Panca bukan orang yang percaya tahayul tapi apalah artinya mengetuk kayu tiga kali kalau memang itu bisa menghalau nasib buruk.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now