20

21.1K 2.9K 137
                                    

"Gimana, Pak, Bu?" tanya Zaki, begitu Farah, Panca dan Rivai kembali ke mobil. Farah dan Panca diam saja, sementara Rivai membuat gestur mengiris leher menggunakan tangan, sembari memeletkan lidah dan memutar bola mata.

Zaki meringis, menyadari kalau bosnya habis kena bantai dan sekarang masih mengumpulkan nyawa.

"Pulang ke rumah ya," kata Panca saat Zaki mulai menyalakan mesin mobil.

"Baik, Pak."

Mobil baru berjalan beberapa menit sebelum Panca menoleh ke arah Farah dan bertanya, "Aku lupa bertanya... Kamu mau ke suatu tempat? Biar kuantar?"

Farah sedang melamun keluar jendela. Mendengar pertanyaan Panca, dia tertegun dan menengok ke arah Panca.

Panca sedang menatapnya, tatapannya lembut. Hati Farah perih seperti diiris sembilu. Panca selalu seperti itu, seburuk apa pun keadaan menimpanya, Panca tak pernah melampiaskannya pada orang yang tidak punya salah apa-apa.

"Aku..." Farah berkata dengan nada ragu. "Aku sebenarnya ingin menghadang Fadlan. Syukur-syukur bisa menahannya di perbatasan daerah dan bisa membujuknya untuk putar balik, kembali ke Semarang."

"Zaki—"

"Tapi tidak perlu diantar. Aku akan pakai mobilku sendiri. Cuma mobilku ada di kantor Mas Panca, jadi sebelum pulang ke rumah, bagaimana kalau kita ke kantor Mas Panca dulu?"

***

Jam kantor sudah berakhir satu jam yang lalu tapi Hanan dan tiga pegawai Rezeki Pandansari yang ditunjuk untuk mengurusi Pekan Lokakarya Pandanlegi masih berada di ruang meeting. Ponsel hampir selalu menempel di telinga mereka, panggilan telepon tak henti-hentinya masuk.

Setidaknya sudah ada dua narasumber yang mengundurkan diri, salah satunya Wardhani Sari, pemilik restoran Mbah Jengket dan satunya Magali Roestam, produsen sambal laris kenamaan. Meskipun hanya dua, jantung Hanan kebat-kebit ketakutan. Pertama, keduanya merupakan dua narasumber yang kehadirannya paling ditunggu-tunggu. Tapi mereka bersepupu dan saat Wardhani mengundurkan diri, tak sampai lim menit berselang Magali juga mengundurkan diri.

Kedua, tidak ada jaminan bahwa hanya dua narasumber tersebut yang mengundurkan diri.

Telepon dari narasumber datang tanpa berhenti, semua bertanya soal bagaimana posisi Panca dan Rezeki Pandansari soal pembakaran restoran Mbah Jengket.

Telepon dari peserta juga membanjir, mereka bertanya soal kebenaran pengunduran diri Wardhani dan Magali.

Hanan takut dia sedang menyaksikan awal mula kegagalan Pekan Lokakarya Pandanlegi.

Hanan baru saja mengakhiri panggilan telepon—entah untuk berapa puluh kalinya, saat dia melihat Rivai melewati ruang meeting yang berdinding kaca itu. Hanan buru-buru beranjak dari kursi dan keluar dari ruang meeting, meninggalkan ketiga asistennya yang masih menerima telepon sembari menuliskan sesuatu di bloknot mereka.

Rivai berjalan cepat sekali, Hanan sampai harus menyusul dengan setengah berlari.

"Pak Rivai!" teriak Hanan, saat Rivai sudah mulai menaiki anak tangga yang menuju kantor divisi legal di lantai tiga.

Rivai mundur mendengar panggilan Hanan, kakinya turun dan menggunakan tumit, dia memutar tubuhnya. Wajah Rivai terlihat sumpek dan Hanan merasa kekalutannya berkurang.

Setidaknya Hanan tidak sendirian dalam kemelut hari ini, semua orang yang bekerja di Rezeki Pandansari sedang mengalami hari paling buruk dalam karier mereka.

"Gimana Pak Hanan?" tanya Rivai setelah kini Hanan ada di hadapannya.

Hanan bicara di sela napasnya yang terengah. "Pak Rivai, bukannya tadi ikut Pak Panca ke rumah Bu Wardhani? Gimana hasilnya? Soalnya Bu Wardhani mengundurkan diri dari menjadi narasumber PLP. Bu Magali juga."

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now