Di masa-masa itu, Lintang ingat dadanya berdebur oleh pemberontakan.

Tak seperti Lintang, pembawaan Dara yang tenang membuatnya juga tenang dalam menghadapi gejolak masa muda.

Tidak pernah terlihat Dara membantah atau memberontak. Gadis itu selalu terlihat kalem, pulang dan berangkat sekolah dijemput Mas Panca. Pergi ke rumah teman diantar Mas Panca. Mengerjakan peer ditemani Mas Panca.

Lintang ingat akan perasaan iri tiap kali melihat Dara kala itu. Bukan karena ada Panca yang selalu berdiri menjulang di belakangnya, Bukan karena Panca yang selalu menatap Dara dengan pandangan dalam dan senyum tipis. Kalau urusan cinta monyet macam itu, Lintang sudah punya Verro.

Lintang iri pada Dara, karena meski sama-sama remaja, Dara terlihat selalu bahagia dan merasa puas dengan hidupnya, sementara Lintang merasa seperti kerbau yang selalu harus menggeruduk segala aturan kaku yang dibuat kedua orang tuanya.

"Memangnya harus apa?" Selalu Dara bertanya bingung, tiap kali Lintang memprotes adiknya yang penurut tiap kali orangtua mereka melarang.

"Ya protes dikit, kek!" sewot Lintang.

Kemudian Lintang menyadari bahwa tak sepertinya yang harus mencari teman bicara perlu keluar rumah, Dara punya Panca. Dia tidak perlu kemana-mana untuk mendapatkan teman.

Mungkin karena itu, dalam bawah sadar Lintang, dia selalu melakukan lelucon berbahaya tentang Dara dan Panca.... 

Andai saja Lintang tahu apa yang akan terjadi kemudian pada Panca.. pada Dara... pada keluarga mereka.

Ayah memukuli wajah dan tubuh Panca hingga mukanya lebam bengkak. Panca diusir saat itu juga, dan ayah tidak memberikan uang gaji Panca sebanyaak 8 juta yang selama ini memang tiak pernah diambil Panca, sengaja ditabung Panca.

Lintang masih ingat perasaan takut luar biasa saat dia melihat ayah memukuli Panca di ruang tamu mereka dengan batangan besi, sementara Dara menjerit-jerit, berusaha menggunakan tubuhnya yang kecil mungil sebagai perisai.

Jeritan Dara masih Lintang ingat hingga kini,

"Ayah, jangan, Ayah... aku tidak apa-apa! Aku dan Mas Panca tidak ada apa-apa... Aku tidak akan berteman dengan Mas Panca lagi, Ayah... jangan pukuli Mas Panca lagi, jangan..."

Tapi Bayu seperti kesetanan, Ika yang berusaha menarik tangannya terlempar. Kristal dan guci mahal di ruang tamu mereka pecah

Panca yang sudah kesakitan dan berdarah-darah berusaha menghalau Dara, melarangnya melindunginya. Tapi Dara keras kepala, dan akhirnya, Panca harus memeluk gadis mungil itu, melindunginya dengan tubuhnya.

Membiarkan pukulan demi pukulan tongkat besi yang tajam dan berkarat dari Bayu Suwito bersarang di pinggungnya, meninggalkan bilur-bilur panjang penuh darah.

Dara berteriak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Panca.

Tapi Panca menolak melepaskannya. Lelaki itu merengkuh Dara erat-erat, sepenuhnya bertekad untuk tak membiarkan apa pun menyakiti gadis muda itu.

***

"Mbak?" panggil Dara, saat dia melihat Lintang melamun.

Lintang gelagapan mendengar panggilan Dara. Ingatannya yang masih ada di masa lalu, mendadak tersedot ke masa kini.

Tidak ada lagi rumah besar, tiada lagi Ayah dan Ibu... tidak ada lagi kristal dan guci mahal... Tiada lagi masa muda...

Tidak ada jerit tangis Dara, tidak ada lagi Panca yang meringkuk di atas karpet tebal ruang tengah, sementara darah merembes dari tiap senti badannya.

Yang ada hanya Lintang dan perasaan bersalahnya.

Lintang bisa merasakan bekas luka operasinya mengerut dan sakit hebat. Dengan cara mengatur napas, Lintang berusaha menjaga agar ekspresi wajahnya tetap netral. 

Dara peka dan penuh perasaan, Lintang tak mau Dara khawatir.

Tapi tetap saja, Dara mengernyitkan dahi menatap Lintang. 

Tak peduli seberapa keras Lintang berusaha menutupi keadaannya, Dara selalu bisa menemukan cara untuk tahu.

"Mbak? Kok pucat sekali... yuk kita kontrol ke dokter sekarang ya?" Seolah bisa membaca pikiran Lintang, Dara menambahkan. "Mbak Lintang tidak perlu mikir uangnya, aku masih ada simpanan kok."

Keringat dingin menitik di dahi Lintang, tapi dia memaksa untuk tetap tersenyum dan menjawab, "Nggak usah... nanti aja minggu depan sesuai jadwal. Dari sejak aku sakit sampe sekarang, selalu saja simpanan kamu... kalau abis gimana?"

Dara tergelak, "Ya nggak-apa dong, uang bisa dicari... saudara mana bisa," kata Dara sembari meletakkan kepalanya ke bahu Lintang dengan manja. "Eh, lagian rumahnya sudah ada yang minat kan ya?"

Lintang mengangguk, "Bukan cuma minat. Kalau orang ini yang beli biasanya selalu jadi."

"Memangnya kita sering berurusan dengan orang ini?" tanya Dara heran. Biasanya, urusan semacam ini memang Lintang dan mendiang ibu mereka yang mengurusnya.

"Iya... mungkin aku nggak bisa meninggalkan lampung, jadi nanti kamu saja yang ke Pandan legi ya? Buat tanda tangan dokumen-dokumennya, biasanya--" Rasa sakit yang tajam kembali terasa di perut Lintang, sampai dia harus menarik napas tajam.

"Mbak, bener deh, muka Mbak pucat sekali... Kita kontrolnya hari ini aja ya." Kali ini Dara tak tahan lagi, setelah berkata begitu seketika Dara langsung bangkit, mengambil ponsel di meja riasnya, menelepon taksi untuk mereka.

Saat Dara memunggungi kakaknya, Lintang mengernyitkan wajah, sebelum akhirnya menutup mata dan tersungkur ke lantai.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now