28 - Bunglon

311 13 0
                                    

Gevan menyeret Lola agar cepat keluar dari rumahnya karena keadaan di luar sudah malam dan mulai gelap.

"Ih, Gevan lepasin!" tepis Lola.

"Ck, cepetan udah mulai gelap" geram Gevan.

"Kan Lola mau pamit dulu sama anak-anak Lola" ucap Lola.

Gevan terkekeh. "Anak gue, bukan anak lo"

"Anak kita" ralat Lola dengan senyuman.

Gevan menatap Lola sinis, ia menyeret kembali tangan Lola menuju motornya. "Cepetan naik!"

"Iya-iya, pelan-pelan dong sakit tau" gerutu Lola.

Gevan menghela nafas. "Bisa gak? Sekali aja gak usah banyak omong"

"Gak bisa" sahut Lola asal.

Rahang Gevan mengeras, tangannya ia layangkan di udara siap untuk menampar Lola. Lola menutup wajahnya dengan kedua tanyannya. Bukannya menampar, Gevan malah menarik pinggang Lola sehingga tertabrak dada bidangnya.

"Lo harus nurut sama gue, gue mohon" lirih Gevan.

Lola membuka matanya sedikit demi sedikit, Lola mendongak menatap Gevan. "Gevan gak jadi nampar Lola?"

Gevan menggeleng. "Gue gak mau nyakitin cewek"

Lola mengerucutkan bibirnya. "Kirain karena Gevan sayang sama Lola."

"Gue suka, gue sayang tap-...." ucapan Gevan terpotong.

"Tapi Gevan gak cinta sama Lola" Lola menjauhkan badannya dari Gevan.  "Udah beratus-ratus kali Gevan ngomong kayak gitu, bosen Lola dengernya."

"Terus gue harus ngomong apa?" tanya Gevan.

"Sekali-kali ngomong, 'will you marry me?' gitu kek, pasti Lola gak akan bosen" ucap Lola.

Gevan terkekeh, ia berbisik. "Mimpi lo terlalu tinggi"

Gevan menyalakan mesin motornya. "Naik"

Lola naik ke atas motor Gevan dengan perasaan dongkol. Tidak seperti biasanya yang selalu memeluk pinggang Gevan, saat ini Lola hanya memegang bahu Gevan.

Gevan melihat wajah Lola dari pantulan kaca spion, senyuman terukir di wajahnya yang sangar. Gevan lebih cepat menjalankan motornya karena hari sudah semakin gelap dan Lola takut akan kegelapan.

Gevan memberhentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Lola. Lola turun lalu langsung masuk ke dalam tanpa menoleh atau mengucapkan sepatah kata pun untuk Gevan.

Gevan hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Lola yang sangan kekanak-kanakan. Gevan menjalankan motornya lalu pergi meninggalkan perkarangkan rumah Lola.

*****

Gevan berjalan melewati gerbang sekolah. Tangan kanannya sibuk mengikat bandana merah di tangan kirinya.

"Gevan"

Gevan tersentak kaget saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Gevan menoleh ke belakang. "Apa?"

Lola menggeleng. "Kangen Theo sama Thea"

"Ke gue gak kangen?" ucap Gevan sangat pelan.

"Hah? Apa Van?" tanya Lola.

Gevan menggeleng, ia berjalan mendahului Lola menuju kelasnya. Gevan duduk di bangkunya, ia mengeluarkan baju olahraganya.

"Kemaren gue liat Lola ada di rumah lo" ucap Naufal.

Gevan mengangguk.

"Dia udah tau lo punya dua buntut?" tanya Naufal.

Gevan mengangguk.

"Terus gimana?" kepo Naufal.

Gevan menghela nafas. "Gue kira dengan cara itu Lola bakal menjauh, taunya malah makin lengket"

Naufal terkekeh. "Kenapa gak lo kasih kesempatan aja buat Lola?"

"Gue udah bilang, gue gak suka cewek" ucap Gevan dingin.

"Terus lo mau LGBT gitu?" geram Naufal.

"Gak gitu juga" elak Gevan.

Naufal beranjak pergi ke kamar mandi sambil membawa baju olahrganya. "Terserah deh, capek gue ngomong sama lo"

Gevan menghela nafas panjang, ia berjalan keluar kelas menuju kamar mandi untuk ganti baju. Pandangan Gevan tertuju pada anak murid kelas Lola yang sedang melakukan olahraga.

*****


Lola mengatur nafasnya, ia mengelap peluh di keningnya. "Panas banget"

"La"

Lola menoleh ke arah kanan. Ia melihat Adam, Naufal dan Ibnu yang menghampirinya. "Kenapa?"

Ibnu menunjuk hidung Lola. "Lo mimisan, La?"

Mata Lola melotot, tangannya mengusap bagian  bawah hidung dan ternyata benar hidung Lola mengeluarkan banyak darah.

Naufal maju mendekati Lola, tangannya mengusap darah yang mengalir di bawah hidung Lola. "Ke rumah sakit yuk''

Lola menggeleng, ia berlari menuju kamar mandi. Saat perjalanan Lola menabrak seseorang. Lola mendongak. "Maaf gak sengaja"

Gevan menatap tangan Lola yang menutupi bagian hidung dan mulutnya. "Lo kenapa?"

Lola menggeleng. "Gak papa kok" ucapnya lalu pergi berjalan menuju kamar mandi.

Gevan mencekal tangan Lola. "Kenapa di tutupin?"

"Ini itu ... Ini itu ingus. Iya, Lola lagi ingusan, Gevan mau lihat ingus Lola?" alibi Lola.

Gevan menggeleng.

Lola pergi terbirit-birit menuju kamar mandi. Ia mengunci pintu kamar mandi, Lola membasuh seluruh wajahnya dengan air. Lola menatap bagian hidungnya menggunakan pantulan kaca yang ia bawa karena di sekolah ini kamar mandinya masih minim.

Lola menghela nafas lega ketika darah sudah tidak lagi mengalir. Ia mengingat perkataan dokter dimana ia di diagnosis leukemia.

Lola menyeka air matanya, ia menghela nafas menetralkan suara dan ekspresinya. Lola membuka pintu kamar mandi untuk keluar.

"Loh, Gevan dari tadi di sini?" tanya Lola.

"Kenapa nangis?" tanya Gevan dingin.

"Lola gak nangis" alibi Lola.

"Gak usah bohong" ucap Gevan.

Lola menggeleng. "Lola gak bohong"

Gevan berjalan mendekat ke arah Lola. "Kenapa nangis?" tanya Gevan dengan penuh penekanan.

"Lola ... Lola nangis karena sayang sama Gevan. Lola cinta sama Gevan, Lola mau Gevan hidup bahagia selamanya. " alibi Lola dengan air mata yang menetes.

Gevan terkekeh. "Lebay lo" ucapnya lalu pergi meninggalkan Lola.

"Gevan itu kayak bunglon" ucap Lola.

Gevan menghentikan langkahnya, ia menoleh menatap Lola. "Maksud lo"

"Sikap Gevan berubah-ubah. Kadang Gevan perhatian sama Lola, kadang Gevan cuek sama Lola." ungkap Lola.

"Sorry, La" ucap Gevan pelan.

Lola menyeka air matanya. "Gevan jangan nyesel, kalau semisal Lola udah gak ada di sini lagi"





'To be continue'

BAGASKARA [END]Where stories live. Discover now