09 - Keadilan

369 19 1
                                    

Gevan berjalan menuju ruangan kepala sekolah dengan cepat. Sesampainya di hadapan kepala sekolah, Gevan menggebrak meja.

"Apa maksud kamu?" bentak pak Suherman.

"Harusnya saya yang bertanya pada bapak" geram Gevan.

"Apa mau mu?" tanya pak Suherman.

Gevan tersenyum licik. "Keadilan"

Pak Suherman mengkerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

Gevan mengeluarkan dua lembar kertas pada pak Suherman.

Pak Suherman menerima kertas itu. "Apa ini?"

"Bisa baca? Atau perlu saya bacakan?" tawar Gevan dengan senyuman yang meremehkan.

Dengan kesal, Pak Suherman membaca dua lembar kertas yang di berikan oleh Gevan. Setelah membaca pak Suherman mengepal kertas itu lalu membuang nya.

"Berani-beraninya kamu" Pak Suherman hendak menampar Gevan namun tangannya di cekal oleh Mahendra.

"Apa maksud mu menghalangi saya?" ketus pak Suherman pada Mahendra.

Mahendra memberikan dua buah buku nilai kelas Gevan dan kelas Lola. "Silahkan di bandingkan"

Pak Suherman menghempas buku itu. "Tidak perlu!"

Gevan tersenyum licik. "Berarti memang benar anda sudah mengetahui semuanya?"

"Dasar kamu, anak tidak sopan" tegas pak Suherman sambil menunjuk wajah Gevan dengan telunjuknya.

Gevan menyingkirkan telunjuk pak Suherman dari depan wajahnya. "Lebih baik anak tidak sopan atau orang yang terus menerus korupsi terhadap bantuan?"

"Anak bau kencur tahu kata korupsi" ucap pak Suherman dengan kekehan yang meremehkan.

Gevan mengeluarkan sebuah amplop cokelat. "Di sini, banyak data sisw yang seharusnya mendapat bantuan termasuk saya. Tapi, tidak sepeser pun bantuan itu di terima di tangan kami" ucap Gevan.

Pak Suherman mengambil amplop cokelat yang berisikan data siswa dari tangan Gevan lalu menyembunyikannya di laci mejanya. "Kamu tidak perlu tahu urusan saya."

"Tentu saja, saya perlu tahu urusan bapak" cetus Gevan.

"Memangnya kenapa kalau saya korupsi?" tantang pak Suherman.

Gevan bertepuk tangan sambil tersenyum smirk. Ia mendekat ke arah pak Suherman lalu berbisik. "Pak, apa gak kasihan sama perut yang semakin membuncit akibat makan duit korupsi?"

Pak Suherman menampar Gevan. "Kamu gak tahu! Saya korupsi uang bantuan siswa untuk biaya memperbaiki sekolah" bentak pak Suherman.

"Maaf, tapi bantuan untuk fasilitas sekolah dengan bantuan siswa yang kurang mampu berbeda" ucap Mahendra.

Pak Suherman menatap Mahendra. "Apa maksud kamu?"

Mahendra memberikan beberapa lembar kertas. "Ini data penggalangan dana untuk bantuan fasilitas sekolah dari tahun 2018"

Pak Suherman menegang, lidahnya jadi kaku. Ia terdiam beberapa saat menatap Gevan dan Mahendra secara bergantian.

Gevan memegangi pipi nya yang terkena tamparan pak Suherman. "Gimana pak? Masih gak mau ngaku?"

Pak Suherman menatap Gevan dan berucap dengan tegas. "Lebih baik saya kehilangan satu murid nakal dari pada saya harus kehilangan semuanya"

Gevan mengangguk. "Baik, dengan senang hati saya keluar dari sini. Masih banyak kok sekolah yang menampung siswa miskin tapi berakal"

Gevan membalikan badannya berjalan meninggalkan ruangan kepala sekolah. Saat meraih knop pintu, pergerakannya terhenti di kala pak Suherman berbicara.

"Siswa miskin kayak kamu gak akan bisa sekolah" ucap pak Suherman dengan tegas.

Gevan membalikan badannya menatap pak Suherman. "Berikan saya satu alasan"

Pak Suherman tertawa meremehkan. "Semua orang butuh uang" pak Suherman menunjuk peliis kanannya. "Akal tanpa uang sama saja dengan pohon tanpa buah" lanjutnya.

Gevan tersenyum manis. "Terimakasih atas kritikan dan sarannya" ucapnya lalu pergi keluar ruangan kepala sekolah.

Mahendra berjalan keluar ruangan menyusul Gevan.

"Saya sudah tidak butuh kamu pengkhianat!" tegas pak Suherman pada Mahendra.

Mahendra membalikan badannya. "Tidak perlu repot untuk memecat saya, saya juga tidak sudi bekerja sama dengan seekor tikus yang rakus seperti anda pak Suherman yang terhormat" cibir Mahendra lalu pergi menyusul Gevan.

*****

Gevan duduk di sebuah kursi belakang sekolah. Pandangannya menatap lurus ke depan. Nikotin yang ia hirup pun tinggal setengah nya.

"Gevan!"

Gevan tersentak saat mendengar suara yang tak asing baginya, ia menoleh ke samping kanan. "Apa?"

"Gevan kenapa?" tanya Lola.

Gevan tak bergeming, ia menghirup nikotin dari tangan kanannya.

Lola menggoyangkan tangan kanan Gevan. "Ih, Gevan"

Gevan menepis. "Apa sih La?" bentak Gevan.

Lola menatap Gevan. "Gevan ada masalah ya?"

"Masalah gue ada pada lo" ucap Gevan tanpa menoleh sedikitpun.

"Maksud Gevan apa? Lola gak faham" tanya Lola.

"Hanya orang jenius yang faham" ucap Gevan lalu pergi meninggalkan Lola.

"Gevan kenapa sih?" teriak Lola.

Gevan membalikan badannya, satu alisnya terangkat.

"Kata Gevan kita temenan. Tapi kok Gevan gitu sama Lola" jerit Lola.

"Mulai sekarang, lo bukan temen gue" cetus Gevan.

"Kok Gevan gitu sih?" lirih Lola.

Gevan menghirup nikotin lalu menghembuskannya. "Suka-suka gue"

Lola menghentakan kakinya. "Lola benci Gevan"

"Gue lebih benci lo" timpal Gevan.

"Lola suka Gevan!" teriak Lola.

"Gue gak suka lo" ucap Gevan tegas.

Nafas Lola naik turun. "Gevan jahat!"

"Terimakasih atas pujiannya" ucap Gevan.

"Lola pastiin Gevan gak akan ketemu Lola lagi" pekik Lola.

"Syukur deh" sahut Gevan.

"Gevan pasti nyesel" bentak Lola.

"Gak akan" ucap Gevan dengan penuh penekanan lalu pergi meninggalkan Lola.

"PASTI!

"GEVAN PASTI NYESEL!"

"LOLA PASTIIN KALAU GEVAN AKAN MENYESAL!"

'To be continue'

BAGASKARA [END]Where stories live. Discover now