23. HIPOTESA TEROR

3.5K 563 4
                                    

"Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sedangkan perasaan adalah hak setiap manusia."
-Bryan-

Petikan gitar menggema disetiap sudut kamar bernuansa putih ini. Rangkaian kalimat yang tertutur dari bibir seorang pemabuk buku berhasil meraung menjadi sebuah lagu. Senyum tak pernah luntur dari wajahnya, semenjak datanganya seorang gadis yang dulu ia benci. Seorang gadis yang bisa mengembalikan senyumnya setelah sekian lama kehilangan orang yang ia sayangi. Istilah benci jadi cinta memang benar apa adanya. Jadi, benarkah Ayyan sedang mengalami fase itu?

Kejadian siang tadi disekolah masih berputar diotak encernya. Ayyan juga laki-laki normal ia juga bisa merasakan begitu hebat sengatan seorang Alana pada hidupnya.

"AYYAN! GUE KESEL SAMA LO!"

"Tapi gue sayang sama lo."

Seketika itu raut wajah Alana berubah begitu drastis. Jika perempuan lain yang mendengar kalimat itu pasti akan tersipu malu. Tapi tidak dengan Alana, cewek itu merubah raut mukanya menjadi takut. Alana pernah mendengar kalimat itu dari Genta, tapi hanya sayang sebagai teman. Berbeda dengan Ayyan, ia hanya takut pada masalalunya apalagi kejadian diruang kelas itu begitu intim. Alana benar-benar takut kalau Ayyan...

"Tapi bo'ong." Lanjut Ayyan datar.

Membuat Alana sedikit lega mendengarnya.

"Gue bukan orang kayak gitu Lana, jangan mikir yang macem-macem." Tutur Ayyan seraya mengusap samping kepala Alana.

Eits, apa tadi? Ayyan memanggilnya dengan sebutan Lana? Nama kecilnya.

Tersadar dari lamunanya kala ada seseorang yang memanggil namanya.

"Ayyana? Ayah panggil sejak tadi tidak menyahut. Apa yang sedang kamu pikirkan?"  Tanya Nanda - Ayah dari Ayyan.

"Eh Ayah? E.. Ayyan baru selesei belajar terus pengin main gitar. Sebentar aja kok Yah." Jujur Ayyan sedikit kaku karena kepergok hanya belajar sebentar.

Aduh Ayyan, belajar sebentar aja diitung-itung. Kamu itu udah jenius. Gak usah belajar juga pinter.

"Tidak apa, itu hakmu." Ujar Nanda, membuat Ayyan mendongak tak percaya. Biasanya Ayahnya akan sewot jika mendapati Ayyan sedang tidak belajar.

"Ini apa?" Tanya Nanda seraya mengambil kertas yang ada didepan Ayyan.

Disana terukir rangkaian kalimat buatan putranya itu yang belum genap sajaknya.

Kamu itu Mawar,

Selalu mempertahankan mahkotanya agar tidak jatuh,

Daunnya selalu segar membuatmu tidak pernah mengeluarkan peluh,

Durimu selalu memancarkan kekuatan untuk tidak terlihat rapuh,

Meski warnamu hitam,

Itu tak menggulingkan keberaniamu dari warna merah..

Ayyan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana jika Ayahnya tau kalau puisi itu untuk satu teman ceweknya. Tamatlah riwayatnya.

"Untuk Bundamu?" Tebak Nanda, Ayyan kembali mendongak menatap Ayahnya itu. Jadi Nanda tidak mencurigainya.

"Bisa dibilang begitu." Tutur Ayyan.

Al La Na [END] ✔Where stories live. Discover now