"Ada apa?" tanya Rio.

"Gue ada perlu, ikut gue!" Padahal Rio malas mengikuti Fathur, tapi agaknya itu tidak buruk, karena ia bisa membolos di pelajaran siang ini. Biasalah, pelajaran yang membuatnya ngantuk bukan kepalang, apalagi jika bukan sejarah.

Fathur berjalan dengan Rio yang mengikutinya dari belakang, kini mereka berhenti di dekat gudang sekolah. Berhubung tempat itu sepi dan jarang sekali di lewati guru maupun murid, jadi ini pilihan tepat untuk mereka berbicara.

"Tentang omongan lo yang kemarin."

Rio mengangkat halis sebelah kanannya, tanda bingung pada apa yang di ucapkan oleh Fathur.

"Omongan yang mana?"

"Soal dia kembali."

Rio sekarang mengangguk mengerti, kemana arah pembicaraan Fathur. Ia tersenyum dan memasukkan ke-dua tangannya ke dalam saku celana.

"Kemarin ada yang chat lo, kan?" Fathur mengangguk.

"Iya, itu dia. Kemarin dia sempat telepon gue dengan nomor gak di kenal, ternyata pas dia ngomong gue tahu dia siapa. Sampai akhirnya dia mengakui, dan mohon-mohon sama gue supaya bisa nge-chat lo." Rio menjelaskan tentang perempuan yang sengaja Fathur hindari hari ini.

Fathur masih tak bergeming, pikirannya kini berkecamuk. Bahkan Rio yang ada di hadapannya tersenyum. Bukan, bukan senyum remeh. Jujur itu sebuah senyum ketulusan. Rio sangat tahu Fathur, ia tahu di mana letak sisi lemah dari seorang Fathur yang selalu memakai topeng ketika di sekolah.

Gue harap lo berubah setelah ini, ucap Rio dalam hati. Kemudian ia menepuk bahu Fathur sebentar, lalu pergi meninggalkannya seorang diri yang masih saja terdiam.

***

"Sayang, nanti antar aku ke toko buku, ya. Soalnya tugas Bu Kinan belum selesai. Kemarin minjem di perpus, tahunya buku itu gak ada."

"Iya, sayang. Nanti kita ke toko buku pulang sekolah." Bagas menjawab seraya mengusap kepala Rasya dengan lembut.

"Buciinn terussss," ujar Doni yang ada di samping Bagas.

"Yeee, iri bilang lo Doni. Makanya cari cewek sana lo, jangan ganggu mereka yang emang udah jalin kasih," seloroh Rere dengan gemas.

"Suka gak sadar diri, ya. Bahkan lo sama Farhan aja gak jadian-jadian. Deket doang, jadian enggak." Doni malah meledek dan tertawa dengan renyah. Rere yang ada di hadapan-nya segera menggetok memakai gulungan kertas karton, sisa tugas kemarin.

"Sialan lo, Doni." Farhan, Rasya, dan Bagas menertawai kekonyolan mereka berdua. Ya, memang Doni dan Rere itu satu paket. Jika yang satu usil, maka yang satunya akan mengamuk, dan begitu pun sebaliknya.

Lama mereka berkutat di hadapan buku, dengan serentetan tugas yang membuat semua murid mumet bukan kepalang. Kini bel pulang telah di bunyikan. Itu bagai surga dunia, pikir mereka.

"Sya, anterin gue, yuk?"

"Anter kemana?"

"Toilet ...," Rere mulai mendekatkan mulutnya ke telinga Rasya. "Ini gue rasa bocor deh, makanya dari tadi bawaannya marah-marah mulu." Rere menjelaskan mengapa ia menitah Rasya untuk menemaninya ke toilet.

"Ya, udah. Sayang aku mau temenin Rere ke toilet dulu, ya. Biasa, masalah cewek."

"Biar gue aja." Seloroh Farhan dan meingkarkan jaket denim hijau army miliknya, ke pinggang Rere.

Gasya (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang