"Emang gak masalah gitu? Kalau papah kamu marah, gimana?"

"Enggak kok, tenang aja. Bahkan sebelum aku izin ke Pak Arlan, aku izin ke Papah dulu. Dia malah ngeledek aku, gara-gara bawa cewek ke sini."

"Ah, jadi terharu aku. Berasa spesial banget aku ini."

"Malam ini, di rooftop memang spesial. Terutama, karena ada kamu. Kamu itu sangat spesial buat aku."

Disha bagai kepiting rebus sekarang. Seluruh wajahnya memerah juga hawa panas menyelimutinya saat ini.

"Merah tuh pipi," ujar Rio
meledek Disha.

"Nyebelin." Disha memukul lengan  Rio sambil menutupi kegugupannya. Tak lama kemudian mereka tertawa dan makin menikmati malam yang penuh kata romantis itu.

***

"Mah, ngapain sih, mondar-mandir mulu? Aku pusing lihat-nya tahu."

"Aduh, Sya. Ini loh, pesanan kue 50 box belum sampai."

"Tadi, kan, sama Pak Hilmi di anterin."

"Iya, Sya. Ini soalnya yang pesen telepon Mamah terus, udah nunggu dari tadi soalnya, kue itu juga untuk acara keluarga."

"Pak Hilmi udah di hubungin?"

"Udah, tapi gak aktif nomor-nya."

"Bisa jadi habis daya, Mah. Positive thinking aja."

"Kan bisa isi di mobil, Sya."

"Mah tenang. Mungkin hp-nya mati banget, jadi nunggu sampai bisa nyala lagi. Dan mungkin macet di jalan, karena ini juga jamnya orang pulang kerja. Pak Hilmi kan pakai mobil, jadi ada kemungkinan seperti itu."

Akhirnya Marinka menghela nafas. Mencoba untuk tidak berpikir negatif dan menenangkan sedikit hatinya. Meskipun masih ada rasa khawatir dan tidak enak kepada pemesannya itu.

Mau tidak mau, Marinka mulai duduk sambil mengecek ponselnya. Siapa tahu, Hilmi menghubunginya. Akibat keterlambatan dalam mengantar pesanan.

"Sya, soal kemarin, gimana?"

"Gimana apanya?"

"Kamu kira-kira udah siapin tanggal cantik, untuk acara pernikahan kalian?" Rasya hanya menggelengkan kepala.

"Kalau keputusan di tangan kami, para orang tua, gak keberatan?"

"Gimana baiknya aja, Mah. Aku akan setuju untuk hal itu." Mendapat jawaban seperti itu, Marinka pun tersenyum dan mengelus surai cokelat milik Rasya dengan penuh kasih sayang.

Tak lama kemudian, ponsel milik Marinka berdering nyaring. Tanda ada panggilan masuk dari seberang sana.

Dan ternyata setelah di angkat, yang menghubunginya itu ialah pak Hilmi. Benar, Rasya benar, jika ponsel pak Hilmi habis daya dan macet juga di jalan. Sehingga ada keterlambatan mengantar pesanan yang harusnya sampai sejak tadi.

Pak Hilmi meminta maaf pada Marinka juga kepada si pemesan tersebut. Kini hal yang di khawatirkan oleh Marinka, sudah tak lagi seperti tadi. Ia tersenyum lega mendapat penjelasan dari sang supir. Pun si pemesan mengucapkan terima kasih serta mengirim gambar 50 box kue, yang sudah ada di tangan mereka.

"Gimana dugaan aku, benar?"

"Akhirnya, Sya. Mamah udah panik aja tahu. Memang dugaan kamu sangat tepat sekali."

Gasya (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang