Alih-alih, Dara malah bertanya balik: Ada apa dengan Farah?

Kenapa Dara bisa berkata selancang itu dengan wajah selempeng itu?

Menekan perasaan malu yang muncul, tanpa segan Fadlan berkata, "Apakah kamu akan berhenti mengganggu hubungan Farah dan Panca?"

Dara menaikkan alis, lalu tertawa kecil. Dia hanya menggeleng perlahan dan tanpa menjawab pertanyaan Fadlan, gadis itu berdiri. "Ingat, Hellraisers harus berhenti membuat ulah. Sedikit saja aku dengar kalian macam-macam, aku akan langsung melangkah ke kantor polisi, tak repot-repot mengkonfirmasinya denganmu." Setelah berkata begitu, Dara melangkah pergi meninggalkan Fadlan yang mati-matian menahan amarah di kursinya.

Gadis itu tak repot-repot mengambil kantong kertas coklat berisi barang bukti, membiarkannya teronggok di meja. Baru tiga langkah, Dara berbalik, seolah-olah ada yang dia lupa sampaikan pada Fadlan.

"Panca dan Farah tak punya hubungan apa-apa, Fadlan..." kata Dara. Senyumnya cemerlang. "Farah punya waktu sepuluh tahun untuk mengambil hati Panca." Sembari mengangkat bahu, Dara menambahkan, "Bukan salahku kalau dia gagal..."

***

Dara berhasil sampai ke rumah pukul setengah satu siang. Belum ada tanda-tanda kehadiran Panca di rumah, hanya ada asisten rumah Panca yang sudah mengatakan kalau mereka sudah menyiapkan makan siang, dan kalau Dara ingin makan duluan, mereka akan menghidangkannya.

Mata Dara sekali lagi melirik ke arloji.

Panca sendiri yang mengatakan akan datang sebelum jam makan siang, yang biasanya berarti sebelum pukul dua belas siang dia sudah di rumah. Itulah kenapa Dara sampai meminta Hanan dan Zaki mempercepat laju mobil mereka.

Karena Panca selalu menepati janji.

Pada asisten yang bertanya soal makan siang, Dara berkata, "Saya makannya nanti, nunggu Pak Panca pulang saja..."

Tapi siang berganti sore, sore berganti malam dan Panca tidak pulang.

Untung pertama kalinya, Panca tak menepati janji.

***

Ketika Panca masih SMA, dia selalu pulang berjalan kaki dari sekolah ke panti. Salah satu rutenya melewati jalur kereta api.

Pernah suatu hari, Panca pulang sekolah dan melihat keramaian di dekat palang pintu. Ada mobil terlanggar kereta, begitu kata orang pertama yang berkata cukup keras hingga dia bisa memahami situasi.

Kerumunan sudah terbentuk tebal dan berlapis-lapis hingga Panca tidak tahu warna atau jenis kendaraan nahas itu.

Tidak ada yang selamat.

Aduh, kasihan mana itu rombongan pengantin, kata yang lain berkata.

Sudah nikah atau belum?

Baru mau menuju tempat akad. Ini calon mempelai lelaki.

Tragis sekali.

Panca tidak punya cukup kemewahan untuk tetap di situ dan tinggal mendengarkan. Dia harus mengisi air dan membantu pengurus menyiapkan adik-adik panti untuk mengaji sore.

Tapi bahkan di usia belia, yang ada di pikiran Panca hanyalah; kalau aku jadi pengantin pria, aku tidak akan menganggap nasib semacam itu tragis.

Setidaknya, ini hanya rombongan calon mempelai pria, bukan hendak memboyong pengantin wanita.

Setidaknya, gadis yang dia cintai hidup.

Gadis yang dia cintai selamat.

Hari itu mungkin calon istrinya menunggu dalam kesia-siaan. Hari itu mungkin akhir penantian berujung lara.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now