Ketika Dara mengangkat wajah, dia menatap langsung wajah Panca.

Wajah pria itu disinari cahaya kuning temaram dari lampu duduk. Sorot matanya lembut, tanpa sedikit pun terlihat kelelahan meski Dara tahu Panca siaga di sisinya selama tiga hari ini.

Rambut Panca yang biasa disisir rapi kini terlihat sedikit terurai. Poninya menutup dahi, membuatnya terlihat muda. Panca mengenakan kaus katun putih longgar dan celana pendek selutut.

"Sudah enakan?" tanya Panca, dia duduk di samping ranjang sementara mata Dara mengikuti gerakannya.

Menatap wajah Panca dengan penuh konsentrasi. Menatap rahangnya yang samar ditumbuhi cambang. Menatap bibirnya.

Suara Panca rendah dan dalam, teredam seperti air hujan yang bergulir pelan di jendela.

Tidak heran teman-teman sekelasnya dulu naksir Panca.

Tidak heran ayahnya langsung percaya bahwa Dara benar-benar mau digambar oleh Panca.

Dara mengalihkan tatapannya dari bibir Panca dan memaksakan diri menatap mata pria itu. "Mendingan," jawab Dara pelan.

Panca mengulurkan tangan dan meletakkan punggung tangannya ke dahi Dara.

Dara memejamkan mata saat kulit mereka bersentuhan, baru membukanya saat Panca menarik tangannya.

"Demamnya sudah turun," komentar Panca.

Dara berusaha bangkit dari posisi tidur, melihatnya Dara sedikit kesulitan, Panca membantunya bangkit, lalu meletakkan bantal di kepala ranjang agar gadis itu bisa duduk bersandar dengan nyaman.

"Iya," kata Dara. Dia menatap Panca lekat.

Pria itu menelengkan wajah, satu sudut bibirnya naik. "Apa?" tanya Panca. "Kamu menatapku seolah ingin menelanku."

Yah, itu tak sepenuhnya salah, tapi Dara tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.

Dara mengalihkan tatapannya ke gelas di nakas dan berusaha mengambilnya sendiri, tapi Panca keburu mengambil gelas itu dan menyerahkannya pada Dara.

Dara menatap gelas itu beberapa saat sebelum mengambilnya dari tangan Panca dan meneguknya sekali. Dara kembali meletakkannya ke nakas, kali ini lebih dekat darinya.

"Mas Panca, besok mau kemana?"

"Kenapa?"

"Aku sudah merasa enakan, jadi aku ingin menyelesaikan beberapa hal. Tapi aku ingin ditemani Hanan, kalau beliau tidak sedang sibuk di kantor."

Alis Panca bertaut. "Kenapa bukan aku? Kenapa harus Hanan?"

Dara terdiam sejenak sebelum dia menatap Panca tajam. "Aku ingin menyelesaikannya sendiri tanpa Mas Panca."

"Begitu, ya," kata Panca pelan. Dia terlihat termenung dan berpikir. Sisi samping wajahnya terkena sinar lampu, sementara sisi lainnya tersembunyi dalam kegelapan.

Dara tidak tahan lagi.

Dia memajukan tubuh dan mengecup ujung bibir Panca, lalu buru-buru mundur.

Panca tertegun, lalu dengan kaku menoleh ke arah Dara. Senyumnya terulas lebar. "Boleh kok... kalau cuma mau pinjam Hanan, boleh aja. Tak perlu sampai barter cium begitu."

Dara tertawa kecil, tangannya terangkat hendak menepuk lengan Panca tapi lelaki itu dengan cepat menangkap pergelangan tangan Dara, lalu menekannya ke samping tubuh gadis itu. "Tapi kalau mau di review, lumayan untuk ukuran ciuman pertama."

Semu merah muncul di pipi Dara. "Kata siapa itu ciuman pertamaku?"

Panca tertawa, senyumnya congkak. "Kamu baru 26 tahun sekarang, bukannya am almarhum ayahmu melarangmu pacaran sebelum umur 25?" Dengan suara lebih pelan, Panca menambahkan, "Untungnya kamu datang tahun ini, kalau kamu datang saat usiamu 24 tahun, aku tidak yakin apakah aku sanggup..."

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now