Tapi... sejak kapan hidup Dara jadi penuh kebohongan?

Padahal, hanya ada satu alasan mengapa orang berbohong, mereka menyembunyikan sesuatu.

***

Dara melirik Panca sekali lagi.

Sampai sekarang, pria itu masih mengatupkan bibir.

Alis Panca bertaut. Wajahnya serius menatap ke depan, tangannya kokoh memegang kemudi.

Dara tidak tahu apa yang sedang Panca pikirkan.

Menit demi menit berlalu, dan pengakuan Dara masih jadi hal yang terakhir yang terdengar di mobil ini.

Karena hidupku sudah terlalu banyak kebohongan. Mau jujur pun aku bingung harus mulai dari mana.

Panca hanya mengernyitkan alisnya saat mendengar pengakuan Dara itu.

Sampai sekarang, alis Panca masih mengernyit.

Dara tahu ini yang dia inginkan... soal apakah Panca dan Farah punya hubungan, sudah bukan urusannya lagi.

Malah, dengan siapa pun Panca berhubungan sudah bukan urusannya lagi. Sudah begitu sejak lama...

Tapi tidak memikirkan urusan Panca memang mudah saat mereka berjauhan.

Ada alasan mengapa hampir sepuluh tahun dia tidak pernah mengurusi usaha keluarganya di Pandanlegi. Karena itulah dia baru datang ke sini setelah hanya tinggal dia yang tersisa... inilah alasan utamanya.

Semua hal jadi lebih mudah kalau dia tinggal tetap tinggal di Menggala dan Panca di Pandanlegi.

Kini melihat Panca di dekatnya, melihat Panca begitu terbuka dengannya, setitik kebimbangan muncul di hari Dara.

Selama ini Dara terobsesi akan keberlangsungan hidup dan karier Panca, kebahagiaan Panca, hal-hal yang Dara kira akan Panca akan bahagia kalau memilikinya.

Bagaimana kalau Dara salah?

Bagaimana kalau dia juga punya kesempatan untuk bahagia... bersama Panca?

"Aku yang salah."

Dara mematung, mengira dia salah dengar, tapi kemudian dia kemudian kembali mendengar Panca bicara.

"Aku yang salah karena terlalu terburu-buru..." kata Panca lagi, tanpa menatap Dara. Kini dia hanya memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam persneling. Sinar matahari pagi jatuh memantulkan cahaya pada permukaan arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan kiri pria itu. "Melihatmu bersiap-siap pulang membuatku resah dan ingin cepat-cepat mendapat kepastian. Tapi—"

"Mendapat kepastian soal apa?"

"Bahwa kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu."

Kata-kata itu diucapkan dengan nada datar, seolah Panca sekadar memberi pengumuman, besok aku akan pergi ke supermarket.

Dara terenyak, tapi dia juga hanya menjawab dengan tak kalah datar. "Oh. Begitu."

Seolah Dara hanya berkomentar, jangan lama-lama di supermarketnya.

"Tapi harusnya aku tak perlu buru-buru... Lampung tidak jauh. Meskipun aku tidak bisa mendapat kepastian soal perasaanmu sekarang, aku hanya minta diizinkan untuk menemuimu kapan-kapan," kata Panca, senyumnya terulas tulus dan Dara merasa jantungnya seperti diremas. "Aku hanya minta kamu tidak buru-buru menolakku, aku hanya minta diizinkan untuk diberi kesempatan... Bolehlah aku main ke rumahmu di Lampung? Kapan-kapan?"

Dara menatap Panca bimbang.

Sepuluh tahun berlalu, Panca sudah bukan Panca yang dulu, Dara juga bukan Dara yang dulu.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now