Mungkin itu penyebab Panca selalu dihantui mimpi buruk—Panca tahu bagaimana perlakuan penduduk Pandanlegi pada keluarga Bayu, Ika serta Lintang, Panca tahu bagaimana teror Hellraisers pada orang-orang yang masih bersimpati pada keluarga Bayu.

Panca sendiri tidak pernah ambil pusing dengan nasib mereka karena ada masa dia menganggap bahwa keluarga Bayu bukan lagi urusannya.

Panca hanya perlu mendedikasikan waktu dan hidupnya untuk keluarga Hashim saja.

Tapi apakah sikap Panca di masa lalu yang membuatnya sulit mendapat jawaban di masa sekarang?

Karena ada seseorang yang mencegahnya untuk tahu?

Karena ada seseorang yang begitu memahaminya, yang tahu bahwa Panca tidak mungkin hidup dengan tenang kalau tahu seberapa buruk kesalahannya itu?

Diam-diam Panca melirik ke samping, menatap Dara. Memperhatikan wajahnya yang lembut, dengan pipi yang bulat dan bulu mata lentik. Sorot mata yang kalem dan sudut bibir yang siap naik tersenyum.

Sepuluh tahun berlalu dan melihat Dara dulu dan sekarang, tidak ada bosan-bosannya... Segala tentang Dara selalu terasa tenang, empuk dan manis. Panca bisa merasakan tenggorokannya tercekat oleh rasa haru, tidak menyangka bisa satu mobil dengan Dara lagi...

Sebelumnya, Panca bahkan tidak berani bermimpi bisa kembali berjumpa dengan melihat gadis ini....

Pandangan Panca lalu turun ke bahu Dara dan jantungnya seperti kena hentak saat menyadari ada yang salah dengan gadis itu.

***

Seperti biasa, Dara melamun.
Dia terbiasa mengosongkan pikiran. Kadang almarhum kakaknya sering meledeknya, meski sebenernya dia tahu juga kalau melamun adalah mekanisme pertahanan diri.

Lebih baik melamun daripada memikirkan masa lalu atau berandai-andai, selalu begitu Dara berkata, setengah serius setengah bercanda.

Karena sedang melamun, Dara juga jadi tidak menyadari kalau mobil yang dikendarai Panca melambat sedikit demi sedikit, hingga akhirnya berhenti di bahu jalan.

Ketika Dara menoleh ke Panca dan hendak bertanya ada apa, tangan Panca sudah keburu terulur ke samping kiri wajah Dara.

Lengan pria itu menyentuh ringan pipi Dara, sementara tangannya menarik gesper sabuk pengaman di belakangnya.

"Bersandarlah," kata Panca, nadanya penuh kesabaran.

Wajah mereka kini berdekatan, tubuh Dara maju karena tadi dia ingin mengatakan sesuatu pada Panca, sementara tangan Panca kini setengah memeluk lengan Dara.

Dalam posisi serba setengah serba dekat begini, Dara jadi bisa mencium aroma tubuh Panca... enak sekali. Dulu Panca memiliki aroma seperti sabun mandi dan serutan kayu kering. Kini, wangi pria itu lebih segar dan harum, seperti aroma daun muda pohon mangga dan aroma vanilla.

"Dara, bersandarlah..."

Dara mengerjapkan mata.

Masalah dengan melamun adalah: kamu butuh waktu untuk kembali ke dunia nyata dan kadang bingung oleh instruksi sederhana.

"Eh? Ke mana?"

Sembari tertawa kecil, Panca menggunakan ujung telunjuknya dan mendorong ringan tubuh Dara.

Baru saat itulah Dara memahami maksud Panca. Bersandar ke mana? Tentu saja bersandar ke kursi, duh!

Setelah Dara bersandar, barulah Panca bisa menarik gesper sabuk pengaman dan memasukkannya ke dalam soket hingga terdengar bunyi klik.

"Terima kasih, Mas Panca," kata Dara, tersenyum, belum sepenuhnya sadar dari lamunan.

Pupil mata Panca melebar, rahangnya terlihat sekeras granit.

Tapi Panca juga akhirnya hanya tersenyum simpul dan menggeleng perlahan.

"Tadinya aku mau bilang, kalau naik mobil, jangan lupa harus selalu pakai sabuk pengaman," kata Panca, sembari mulai menjalankan mobilnya kembali dan meneruskan perjalanan menuju Semarang.

"Tapi kupikir-pikir, selama naik mobilku.... lupa juga nggak apa-apa. Aku akan selalu bisa bantu pakaikan..."

Dara merasakan kehangatan menjalari rongga dadanya hingga ke pipi. Dia malu, tapi merasa gemas dengan ucapan Panca.

Talinya Dara sudah berniat membantah, bahwa biasanya dia tidak pernah lupa, bahwa tadi dia naik mobil dengan jantung berdebar gara-gara Verro pakai salah bicara hingga membuat pikirannya kacau...

Tapi mengingat kemungkinan besok dia sudah berasa di Lampung, Dara akhirnya memutuskan untuk tertawa saja.

"Aduh, jangan gitu dong Pak Panca, kalau Bu Farah dengar nanti beliau sedih, lho..."

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now