Agak aneh menyadari bahwa pengaruh Panca Rahman itu ada di tiap sudut Pandanlegi. Bahkan Dara bisa makan dengan tenang siang ini, orang-orang mau menemuinya di sini, semata-mata karena perlindungan Panca Rahman. Verro memastikan semua orang tahu bahwa Fadlan sedang tidak ada di Pandanlegi hingga dua minggu ke depan dan teman-teman Dara sejak SD hingga SMA bergantian menengok Dara di rumah Verro.

Ipda Heri juga sempat datang ke rumah Verro, kali ini bukan untuk urusan resmi kepolisian melainkan silaturahmi saja, tak lupa membawa sekeranjang buah-buahan. Tentu saja, tidak lupa Heri bertanya, apakah Bu Dara tahu mengapa tiba-tiba Fadlan menghilang dua minggu?

Saat Dara berkata bahwa dia tak tahu jawabannya, Heri melanjutkan pertanyaannya, "Siapa yang ingin Pak Panca lindungi? Bu Dara atau Fadlan?"

Kalau bukan karena takut tulang rusuknya nyeri, Dara ingin tertawa terbahak-bahak. "Kenapa Pak Heri masih perlu bertanya? Saya rasa jawabannya jelas," kata Dara.

Tapi Ipda Heri hanya tersenyum misterius dan menggeleng bahwa mungkin belum sejelas itu.

Meski pelan berjalan, Dara sudah duluan sampai ke saung sementara Verro, yang memarkirkan mobil di belakang restoran baru sampai setelah Dara selesai menyalami semua orang yang diundang makan siang. Semua orang memeluk Dara dalam pelukannya. Pak Imran yang pernah menjadi penanggungjawab toko bangunan milik orang tuannya. Bu Restu yang pernah memegang usaha gergaji kayu. Pak Gofar yang sempat jadi supir dan tangan kanan ayahnya. Husna, yang datang menggantikan mendiang Pak Faisal. Dian, yang ibunya pernah bekerja di rumah. Mira. Lita. Dodi.

Dara bertukar kabar dengan mereka semua, hampir semua mata berkaca-kaca.

Dara beruntung dia memberanikan diri datang ke sini.

Masa lalu memang tidak akan kembali. Seperti busur yang sudah dilepaskan, sekali melesat, tidak akan bisa kembali pulang.

Pandanlegi tidak akan pernah jadi rumahnya, tapi orang-orang ini akan selalu jadi saudaranya, ayahnya, ibunya, kakaknya, adiknya.

Ayah, Ibu dan Kak Lintang mungkin sudah meninggal, namun kebaikan hati mereka semasa hidup mendekap dan melindungi Dara hingga kini.

Mendadak, Dara merasa sedih sekaligus bahagia.

***

Acara makan siang yang tadinya hanya direncanakan akan berlangsung satu jam, molor menjadi dua jam. Dengan wajah-wajah kemerahan dan mata sembap karena banyak tertawa dan banyak menangis, Dara, Verro dan yang lain berjalan berdua-bertiga menyusuri jalan kecil yang menghubungkan antara saung dan bangunan restoran utama. Agar tidak menghalangi yang ingin buru-buru pulang dan kembali ke kantornya, Dara berjalan sendirian paling belakang.

"Aku ambil mobil dulu ya Ra," kata Verro, sembari setengah menunduk di telinga Dara, kemudian bergegas keluar lebih dahulu, melewati orang-orang yang masih berjalan di depannya.

Begitu sampai di rangan luas dekat kasir, satu per satu yang tadi ikut makan siang berpamitan pada Dara. Mencium, menjabat tangan, dan memeluk gadis itu. Memar di pelipisnya sudah menghilang dan luka di dekat alisnya juga sudah mengering, suasana kebahagiaan yang menyelimuti membuat beberapa memeluk Dara sedikit terlalu erat sampai gadis itu harus menggertakkan rahangnya.

"Lho... Pak Panca?"

Ketika hanya tinggal satu orang, Dodi, yang tersisa, Dodi melongokkan leher dan menyapa seseorang yang sedang duduk menyesap kopi di salah satu meja tunggu. Meja yang biasanya digunakan hanya saat saung-saung atau ruang-ruang pertemuan masih penuh. Tapi hari ini restoran sepi jadi rasanya aneh ada yang makan dan minum di meja tunggu.

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now