Sasadara Sakinah.

Sasadara yang berarti rembulan.

Sakinah yang berati ketenteraman.

Sasadara Sakinah. Terang seperti rembulan, tenteram seperti sepertiga malam.

Panca kembali menghunjamkan paculnya ke tanah. Hujan semakin deras dan dia masih dua pertiga selesai menggali lubang...

...hingga kemudian, dua kaki bersandal yang basah oleh lumpur mendadak terlihat di sudut penglihatannya dan hujan mendadak berhenti.

Panca menoleh, menyadari Sasadara Sakinah sudah berdiri di sampingnya, memayungi Panca menggunakan payung merah yang gadis itu gunakan untuk menjemput 'pacar'nya.

"Mas Panca," kata Dara sembari tersenyum lebar. Senyum yang biasanya hanya Panca lihat diarahkan pada orang lain, tidak pernah padanya. Dara meneruskan, "Kata Ibu, nanti lagi saja kerjanya, sekarang masuk dulu. Hujan. Nggak buru-buru, kok."

Karena kaget, otomatis, Panca berhenti mengayunkan pacul dan menegakkan badan. Sepenuhnya lupa bahwa yang memayunginya hanya gadis remaja sementara tubuh Panca merupakan tubuh lelaki dewasa muda.

Kepala Panca menyundul payung dan Dara yang tidak siap dengan gerakan mendadak itu, melepaskan pegangannya.

Payung merah Dara jatuh, dan Dara terpental, hingga dia jatuh terjerembab di tanah berlumpur.

Panca melepaskan pacul di tangannya dan tergopoh-gopoh mendekati Dara, membalikkan badannya.

Darah melumuri wajah gadis itu, berasal dari pelipis, dan menetes hingga dagunya.

Tapi Dara tetap tersenyum. Senyum lebar yang biasanya Panca lihat terulas di bibir Dara untuk untuk orang lain.

"Mas Panca... kata Ibu, nggak apa-apa... jangan buru-buru."

Panca merengkuh Dara, tapi bibirnya kelu. Dia hanya menatap Dara dengan mata terbelalak. Darah kini membasahi bagian depan kaus yang dikenakan Dara. Sorot mata gadis itu perlahan meredup tapi senyumnya masih sama, suaranya masih jelas.

"Kata Ibu, nggak apa-apa... Kata Ibu nggak apa-apa, Mas Panca...."

***

Mata Panca terbelalak membuka, tapi dia tak bisa melihat apa-apa.

Di tengah kamarnya yang gelap dan senyap, hanya terdengar suara napasnya yang terengah dan memburu.

Panca biasanya tidak pernah bermimpi hingga dia terbangun dengan perasaan takut seperti ini.

Suara Dara kala gadis itu masih belia terngiang di benaknya.
Itulah pertama kalinya Dara bicara padanya, si pesuruh baru keluarga.

Kejadiannya sudah hampir satu dekade yang kaku, tapi kenangan yang ditimbulkan begitu nyata. Perlahan, Panca bangkit dan duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya menggenggam kasur, sementara kepalanya menunduk terkulai.

Sepuluh tahun yag lalu, memang Dara memayunginya saat hujan membuat Panca kuyup.

"Kata Ibu nggak apa-apa, nggak harus beres sekarang... tapi kayaknya tanggung ya?" tanya Dara.

Panca tidak pernah mendengar kata semacam itu sebelumnya. Bahwa Panca tak sekedar orang suruhan yang selalu harus nurut apa yang diperintahkan, tapi juga bisa dipercaya untuk mengambil keputusan.

"Iya, sebentar lagi.... Mbak Dara masuk saja." kata Panca.

"Nggak apa-apa... selesaikan aja nanti kita masuk bareng." jawab Dara.

Dunia nyata berakhir dengan aman dan membosankan.

Sementara, saat Panca memejamkan mata kuat-kuat, bayangan darah yang menetes dari pelipis dan dagu Dara menghantuinya. Berkelebatan dengan ingatannya akan sosok Dara yang terkulai di trotoar basah, dengan wajah berlumur darah.

Kata Ibu, nggak apa-apa...

Sampai sekarang, masih menjadi misteri bagaimana Bu Ika yang toleran dan baik hati mendukung kekejaman Bayu Wiyono padanya.

Tapi tidak semua misteri harus disingkap. Panca sendiri tidak pernah tau apa sebabnya perubahan sikap Ika dan mengapa.

Panca menghela napas dan menatap jam di nakas. Sudah pukul pukul setengah tiga dini hari dini hari dan Panca lelah sekali, tapi tahu kalau dia tidak akan bisa tidur lagi.

Panca lalu memutuskan untuk mengambil air wudhu.

Terang seperti bulan, tenteram seperti sepertiga malam.

***

Bulan Terbelah DendamWhere stories live. Discover now