Sekretaris kantornya, wakil-wakilnya, orang kepercayaannya, semua punya kesamaan: orang-orang paling masa bodoh dengan urusan orang lain. Panca seolah hendak mengelilingi diri dengan tembok tebal yang sulit ditembus.

Panca tidak segera menjawab pertanyaan Zaki. Hampir saja Zaki mengira bahwa dia lancang karena sudah bertanya.

Tapi kemudian Panca berkata, "Saya kenal pemilik rumah ini."

Zaki menatap Hanan, menyadari rekannya itu terlihat pucat.

Zaki ingat kalau Hanan merupakan penduduk asli Pandanlegi. Mengingat kemewahan rumah ini, jelas pemiliknya merupakan atau pernah jadi orang kaya dan terpandang di Pandanlegi. Hanan mungkin tahu siapa pemilik rumah ini.

Hanya saja, Zaki tidak memahami mengapa ekspresi Hanan terlihat amat terganggu, seolah Panca sedang mengatakan sesuatu yang mengerikan.

"Hanan?" panggil Panca tanpa menoleh.

Hanan segera maju dan menjajari Panca. "Ya, Pak? Gimana?"

"Catat nomor telepon di spanduk ini. Jangan yang Sasadara, yang Lintang saja. Besok begitu jam kerja, ajukan penawaran. Berapa pun yang diminta, langsung setujui. Tak perlu ditawar." Panca memberi instruksi.

Hanan mengangguk. "Baik, Pak."

Panca balas mengangguk. "Oke, saya masuk duluan. Silakan kamu catat nomornya. Ingat, pilih yang CP-nya bernama Lintang." Setelah berkata begitu, Panca berbalik arah dan berjalan menuju mobil, lalu memasukinya.

Hanan mengeluarkan ponsel, lalu membalikkan badan dan seperti yang diperintahkan Panca, dia memasukkan nomor kontak Lintang ke ponselnya.

"Menurutmu, kelakuan Pak Panca barusan aneh nggak?" tanya Zaki, melirik ke arah mobil, memastikan jendelanya tertutup dan Panca tak bisa mendengar ucapannya.

"Mayan," kata Hanan pendek, dia tidak memalingkan wajah dari ponselnya, dan masih mengetikkan sesuatu di layar.

"Menurutmu, dia begitu karena rumah ini?"

"Bisa jadi," kata Hanan lagi.

Oke, mungkin ini sudah saatnya Zaki mengakui bahwa kalau orang-orang di sekitar Panca adalah dinding tebal yang sulit ditembus, maka Hanan adalah sebongkah granit tanpa perasaan, yang bahkan tidak peduli atau bertanya-tanya saat Panca bertindak tak biasanya seperti sekarang.

"Pak Panca bilang, dia kenal pemilik rumah ini. Memangnya siapa pemilik rumah ini?"

Hanan kini sudah selesai menggunakan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam kantong celana. Dia mulai melangkah mendekati mobil, sementara Zaki menjajari langkahnya.

"Mau tahu siapa pemilik rumah ini?" tanya Hanan setengah mengejek.

Zaki berdecak. "Lupakan saja kalau tidak mau kasih tahu, aku mengerti kalau memang--"

"Bayu Wiyono."

Kulit kepala Zaki terasa mengencang dan ditarik ke ubun-ubun. "Apa?" tanyanya dengan suara rendah.

Tapi Hanan hanya mengedikkan bahu. Mereka hanya tinggal satu meter dari mobil, jadi baik Hanan dan Zaki seketika mengganti topik pembicaraan dan mulai membahas skor pertandingan bola yang digelar semalam.

Begitu memasuki kabin depan, baik Hanan dan Zaki saling terdiam dan tidak ada yang menyalakan radio.

Zaki kembali mengemudikan mobilnya di jalan desa yang mulus, yang dirawat oleh perusahaan dan rutin diperbaiki.

"Kalau ada yang mau dengar radio atau dengar musik silakan saja, saya sudah teleponnya. Zaki? Barangkali mau?" tegur Panca mengingatkan.

Baik Zaki dan Hanan sama-sama tertawa gugup.

Zaki menjawab setengah tertawa, "Sepuluh menit lagi juga sampai rumah Pak, nggak apa-apa."

"Oke."

Sebenarnya, Zaki bisa saja menyalakan musik dan menyetel lagu, kadang jarak lima menit dari rumah pun dimanfaatkan untuk mendengar lagu barang satu judul.

Tapi ucapan Hanan tadi membuat Zaki kehilangan selera untuk melakukan apa-apa.

Satu nama terngiang-ngiang di telinganya. Bayu Wiyono.

Kini, Zaki jadi bisa memahami reaksi ganjil Panca.

Dia juga bisa memahami mengapa Hanan diminta menelepon Lintang--bukan Sasadara.

Meskipun Zaki bukan orang asli Pandanlegi seperti Hanan, dia sudah tiga tahun jadi supir Panca, mengikutinya sejak dia masih tinggal di Jakarta dan kini kembali ke Pandanlegi.

Semua orang sini tahu bagaimana hubungan antara Bayu Wiyono, mantan orang terkaya sekabupaten, dengan Panca, yang ketika itu hanya anak panti asuhan yang bekerja jadi tukang kebun.

Semua orang juga tahu bagaimana Sasadara, putri bungsu Bayu Wiyono, dan kelakuannya yang binal menjadi penyebab Panca dianiaya dan diusir dari kediaman Bayu Wiyono.

Zaki termangu di bangku kemudi, tangannya memegang setir erat, berusaha keras berkonsentrasi menyetir, tapi tidak bisa.

Potongan-potongan cerita soal keluarga Bayu Wiyono berkelebatan di benaknya.

Ironisnya, atau mungkin, untungnya, sepuluh tahun berlalu, dan roda kehidupan berputar. Kini Panca menjadi pengusaha rempah dan sayuran organik, sementara keluarga Bayu Wiyono tercerai berai.

Sepuluh tahun yang lalu Bayu Wiyono, istri dan kedua anak gadisnya pindah dari Pandanlegi dan menetap di Lampung, lalu tahun demi tahun, hanya kabar kesedihan yang terdengar dari keluarga itu.

Pertama-tama, Bayu Wiyono meninggal dunia.

Lalu untuk bertahan hidup, anak dan istrinya mulai menjual aset mereka satu per satu.

Kemudian istri Bayu Wiyono meninggal dunia.

Tahun demi tahun, yang terdengar dari Lintang dan Sasadara hanyalah berita mereka menjual tanah, kebun, gudang mereka, hingga tersisa rumah tempat tinggal mereka dahulu.

Tahun demi tahun, tanpa banyak diketahui orang, Panca-lah yang membeli tanah, kebun, gudang, rumah kontrakan, yang sebelumnya dimiliki Bayu Wiyono.

Selama dua tahun ini, tidak ada kabar dari Sasadara dan Lintang, tidak ada penjualan aset.

Baru hari ini, rumah kediaman mereka, simbol terakhir kehadiran keluarga Bayu Wiyono di Pandanlegi, akan dijual.

Dan seperti biasa, Panca Rahman-lah yang akan diam-diam membelinya.

Panca Rahman, yang sepuluh tahun lalu diusir dari rumah yang sama.

Bulan Terbelah DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang