~Princess Don't Cry~
CARYS
.
.
.
'I am not a princess. But I am a queen! So I can cry.'
_________________
"Terima kasih atas tumpangannya, Carla. Aku harap kau bisa ikut bersamaku ke Indonesia," ujar Auristela. Carla terenyum. Tangannya membantu Auristela untuk mengeluarkan koper mini. "Aku akan menyusulmu. Tapi bukan sekarang. Mungkin besok."
"Carla.... boleh aku meminta sesuatu?" tanya Auristela ragu.
"Apa memangnya?"
"Aku tidak yakin kalau Sean akan mencariku. Tapi untuk berjaga jaga, aku memintamu agar tidak memberi tahu pada siapa pun terutama pada Sean, tentang keberadaanku."
"Ms. Chalondra. Bisa ikut saya? Pesawat Anda akan segera berangkat." Auristela dan Carla dibuat terkejut dengan kehadiran seorang pria berjas. Auristela menganguk mengiyakan ajakan pria tersebut. "Carla, aku duluan ya. Aku tunggu kehadiranmu!"
"Dah!"
Setelah berpamitan dengan Carla, Auristela mengikuti seorang pria yang belum sempat ia ketahui namanya. Pria itu membawanya ke pesawat yang akan digunakannya untuk menuju Indonesia. Auristela hanya cukup menunggu saja. Pria itu mengurus segalanya agar Auristela bisa berangkat hari ini, di jam dan menit ini juga!
"Ini tiketmu. Mari aku antar ke pesawatmu."
Auristela mengangguk. Langkah kakinya mengikuti langkah kaki pria yang tidak dikenalnya itu. Pria itu membawanya hingga masuk ke dalam pesawat dan menunjukan kursi yang akan Auristela duduki. "Frist Class? Kau gila? Aku lebih suka Economy Class," protes Auristela.
"Maaf nyonya, tapi tuan Dover yang menyuruh. Baik kalau begitu saya pamit. Pesawat anda akan segera lepas landas."
Auristela tidak memperdulikannya lagi. Mungkin tidak masalah dengan First Class atau Economy Class. Ada untungnya juga ia di First Class. Saat ini Auristela benar-benar membutuhkan suasana sunyi. Saat pesawat sudah mengudara, Auristela terdiam memandangi jendela pesawat. Ingatan kebahagiannya dengan Sean teringat kembali. Auristela tersenyum kala mengingat dinner romantic bersama Sean. Pria itu menciumnya, memeluknya, dan menggendongnya. Belum lagi saat lengan pria itu menempel di atas perutnya kala mereka tidur bersama.
Namun senyuman Auristela memudar. Bibirnya kembali membentuk garis datar. Matanya kembali berkaca kaca. Buliran air mata kembali turun perlahan ke pipinya. Ingatan Sean dan Valeska kembali muncul. Auristela tahu kalau Sean masih memiliki rasa pada wanita itu. Sean bagaikan candu untuk Auristela, tapi beda dengan Sean. Bagi Sean, Auristela hanya sebatas canda saja.
"Anda butuh sesuatu?" Auristela langsung menghapus air matanya. "Tidak, terima kasih." Pramugari yang tadi bertanya, masih setia memandangi Auristela. "Anda baik-baik saja?" Seperti sadar, pramugari itu langsung menanyakan kondisi Auristela. "Ya. Aku baik-baik saja. Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" Pramugari itu mengangguk paham dan langsung melangkah pergi.
Auristela memilih untuk memejamkan matanya agar tertidur. Mungkin masih sangat lama untuk sampai di Bandung. Namun bukannya tertidur, Auristela malah menangis. Entahlah, Auristela tidak paham dengan dirinya yang terus menerus menangis saat mengingat Sean. Auristela seperti terikat kencang.
Kemanisan yang ditinggalkan Sean begitu sulit Auristela lupakan. Dan kenyataan yang Sean beri, terlalu menusuk untuk Auristela. Lama menangis dalam kondisi menutup mata, Auristela mulai hanyut terbawa rasa kantuk. Beristirahat sebentar mungkin akan membuat diri Auristela sedikit lebih baik.
~*~*~*~
Hampir dua puluh empat jam lebih mengudara dan beberapa kali transit, akhirnya Auristela sampai di kota kembang. Tidurnya sama sekalih tidak menenangkan. Mimpinya selalu tertuju pada Sean. Kalau seperti ini, Auristela bisa gila. Baiklah, mungkin nanti ia akan membeli obat penenang agar dirinya bisa lebih baik.
Hujan deras menyambut Auristela saat sampai di kota Bandung. Lagi-lagi Auristela kembai mengingat Sean. Hal-hal kecil seperti hujan dan pesawat selalu bisa membuat Auristela meneteskan air matanya. Dulu Auristela tidak menyukai hujan. Namun sekarang hujan sangat menyenangkan bagi Auristela.
Disaat orang lain terburu buru turun dari pesawat dan cepat-cepat masuk ke dalam Bandara agar tidak kehujanan, Auristela malah memperlambat jalannya sembari menunduk kebawah. Membiarkan hujan membasahi tubuhnya. Bahkan sesekali Auristela berhenti berjalan dan menatap ke langit. Orang-orang memperhatikan Auristela aneh. Tidak sedikit dari mereka yang membicarakan dan menertawai Auristela. Auristela tidak terlalu peduli. Rasa sakitnya lebih mendominasi dari pada rasa malunya.
Kaki Auristela terlekuk di aspal. Kepalanya mendengak ke atas. Mata sembabnya menatap ke langit. Ingatannya berputar, mengingat Sean dan dirinya saat itu bermain hujan di atas rerumputan hijau, dibawah jam satu dini hari. Ingatannya kembali berputar, mengingat Sean memeluk Valeska erat dibawah guyuran air hujan. Air matanya kembali jatuh ke pipi, berbarengan dengan tetesan air hujan.
"Sky! Thank you for crying with me," parau Auristela. Kepalanya kembali menunduk. Menangis tersedu sedu. Berharap terlalu banyak tidaklah bagus. Berekspetasi tinggipun tidaklah baik. Keduanya sama-sama bisa menghancurkan.
Auristela menghentikan tangisannya. Ia tidak merasakan tetesan air hujan lagi. Padahal hujan masih turun dengan deras. "Bangunlah. Seorang putri tidak boleh menunduk. Jika menunduk, maka mahkota yang dikenakannya akan jatuh. Seorang putri tidak menangis." Auristela langsung menengok melihat siapa yang berbicara dengannya. Pria itu membantu Auristela berdiri. Pria itu juga yang memayunginya agar Auristela tidak kehujanan.
"Jangan sia siakan waktumu yang berharga," ucap pria itu. Pria itu juga memberikan sapu tangan untuk Auristela. "Usap air matamu yang berlinang itu. Seorang putri tidak boleh menangis." Auristela menerima sapu tangan pria itu. Auristela mengusap air matanya dengan sapu tangan yang diberikan oleh pria itu.
"I am not a princess. But I am a queen! So I can cry," tegas Auristela. Auristela menatap tajam mata pria itu. Pria itu memiliki bola mata berwarna hitam pekat. Terlihat jelas kalau pria itu adalah orang Asia. "Mahkota yang ada di kepalaku terlalu berat. Jadi tak apa kalau aku menunduk." Setetes air mata kembali jatuh ke pipi Auristela.
"Lepas mantel hitammu. Mantelmu basah. Ganti dengan jaketku saja." Pria itu melepaskan jaketnya, lalu memberikannya pada Auristela. Auristela hanya terdiam. Ia tidak berniat melepaskan mantelnya yang basah.
"Nanti kau sakit."
Tanpa berpikir lagi, Auristela melepaskan mantelnya. Tangannya menerima jaket pria itu. "Terima kasih," ucap Auristela.
"Sama-sama. Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya pria itu.
"Panggil saja Auristela."
"Senang berkenalan denganmu Auristela. Namaku Raka."
"Kau mau kemana memangnya?" tanya Raka. Raka menyuruh Auristela agar berbicara sembari berjalan. "Entah. Aku belum punya tujuan. Mungkin untuk sekarang aku ingin mencari Hotel atau tempat tinggal terlebih dahulu," jawab Auristela.
"Bagaimana jika kau ikut denganku. Di dekat kontrakanku, ada tempat tinggal yang lumayan bagus dan harganya terjangkau. Kau mau?" tanya Raka.
"Bukan ide yang buruk. Boleh kalau begitu."
Raka menatap Auristela dari atas kepala hingga ujung kaki. Raka seperti melihat seorang bidadari. Walau dalam keadaan kacau, Auristela masih terlihat menawan. "Oh ya, kalau boleh tau kau dari mana?"
"America."
Raka menganggukan kepalanya mengerti. "Weh, weh, weh! Itu si Raka! Raka kita di sini weh!" Auristela memandang dua orang pria yang heboh memanggili nama Raka. "Teman temanmu?" tanya Auristela. Raka ikut meandang yang dipandang Auristela. "Ya! Ayo."
"Eh Gus, si Raka sama siapa tuh? Sama bule jir! Mana bening pisan," bisik Hendra kepada Bagus. Bagus menggeleng gelengkan kepalanya. Bagus mengagumi kecantikan yang dimiliki oleh Auristela. "Kaga tau gw. Si Raka lama di Amerika dapet yang bening jir. Pengen gw juga!"
Raka langsung berpelukan ala pria dengan Bagus dan Hendra. Katiganya terlihat bahagia. "Raka, itu teh cewe lu?" tanya Bagus. Raka melirik Auristela. "Bukan! Gila aja. Bening begini masa mau sama gw yang buluk." Bagus dan Hendra langsung tertawa terbahak bahak kala mendengar pengakuan dari Raka tadi.
"Bener juga!" ujar Hendra.
Auristela menatap bingung ketiga pria yang ada bersamanya. Auristela tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketiga pria itu. Auristela tidak mengerti dengan bahasa mereka. "Kamu teh siapa namanya?" tanya Bagus dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin. "Ehmm sorry, I don't know what you said. Can you speak English?" Raka dan Hendra langsung menertawakan Bagus. "Si Bagus goblok banget dah. Yakali gus, bule lu ajak omong bahasa Indonesia," ledek Hendra.
"Ya siapa tau, dia bule yang melokal!" ujar Bagus.
"Udah biar gw yang nanya namanya." Hendra berdeham terlebih dahulu, lalu langsung menanyakan nama Auristela. "Namanya Auristela! Udah kalian pada teh nggak usah modus. Kasian, dia keliatan capek," sela Raka. Hendra langsung menatap Raka kesal. "Ya udah ayo! Gus! Taroin kopernya."
"Let them put your suitcase. You go first in the car," suruh Raka.
"Thank you men!"
________________