~Little Things~
One Direction
.
.
.
'Sean seperti tidak ingin Auristela pergi hanya karena sifatnya.'
________________
"Rencana kita berhasil!" ucap Xavion dengan bangga. "Kau tidak menyakiti putriku bukan?!" tanya Dover tajam. Xavion yang mendengarnya dibuat terkekeh. "Tentu saja tidak. Auristela menganggap itu hanya sebuah permainan konyol. Putrimu tidak tahu rencana kejam ayahnya."
Dover menatap tajam Xavion. Sialan! Terkadang Xavion tidak tahu kedudukannya berada di mana. "Tutup mulut bodohmu itu! Bagaimana pun Bella lah yang akan memegang DSG, saat aku suda tiada." Xavion tersenyum remeh saat mendengar perkataan Dover.
"Kau yakin umur putrimu akan panjang? Apa kau lupa? Auristela ada di tangan musuh besarmu. Sean Fiennes Kennard! Dan apa kau yakin jika putrimu itu cukup kuat untuk melawan musuh-musuh mu?" ujar Xavion, sengaja untuk membuat Dover naik pitam. Dan sepertinya hal tersebut berhasil. Rahang Dover mulai mengeras. Kakinya langsung berjalan cepat menghampiri Xavion.
'Bug!'
Satu tinjuan meluncur mulus di rahang kokoh milik Xavion. "Kau lupa?! Kau lupa siapa pemimpinnya di sini?" Xavion hanya bisa terdiam menunduk mendengar bentakan Dover. "Baiklah jika kau memang lupa. Aku bisa mengingatkanmu kembali siapa pemimpinnya!" Kedua tangan Dover menarik paksa kerah kemeja yang digunakan Xavion. "Aku! Pemimpinnya adalah aku! Akulah yang mendirikan ini semua! Aku yang mendirikan Dangerous Secret Group! Aku, Dover Chalondra!" tegas Dover.
"Dan jangan pernah meragukan putriku! Dia akan bisa menjadi sangat mematikan untuk musuh musuhnya!" lanjut Dover tegas.
Kudua tangan yang tadinya menarik kerah kemeja milik Xavion, Dover turunkan. "Jaga sikap mu! Aku tidak segan membunuhmu," ucap Dover pelan, namun mematikan. Xavion langsung merapihkan kemejanya saat Dover sudah menjauh darinya.
"Kau tidak tahu pasti rencana apa yang aku perbuat, Xavion," sindir Dover.
"Aku tahu! Tapi aku lebih memilih untuk diam," balas Xavion. Dover tersenyum kecil, wajahnya langsung menunjukan ekspresi meremehkan kepada Xavion. "Itu memang yang seharusnya kau lakukan!"
Xavion lebih memilih keluar dari markas DSG. Lihat saja nanti. Pria tua itu akan merasakan balasannya. "Ayah macam apa dia! Mengorbankan dan memanfaatkan putrinya hanya demi kekuasaan. Lihat saja endingnya nanti." Xavion langsung membanting pintu mobil Mercy miliknya. Kakinya menginjak pedal gas kencang. Pria itu tidak peduli jika nantinya akan menabrak seseorang.
"Endingnya akan memuskan," kekeh Dover. Dover mendengar jelas apa yang tadi diucapkan Xavion. Ia tidak ambil pusing dengan ucapan Xavion. Bellanya akan baik-baik saja. Sean tidak bisa menyakiti Bellanya walau hanya satu goretan. Tapi, Bellanya lah yang akan menyakiti Sean. Menghancurkan pria itu sehancur hancurnya.
Kakinya melangkah kembali masuk ke dalam markas DSG. Dover hanya cukup menunggu. Auristela adalah senjatanya sekaligus mutiaranya. Sean tidak akan hancur hanya dengan satu atau dua peluru. Bahkan jutaan peluru tidak akan menghancurkan pria itu. Sean akan hancur jika memang jiwa dan hatinya ikut hancur.
Dover memiliki maksud tersembunyi atas membiarkan Auristela pergi berlibur. Dover tahu kalau Auristela agak dekat dengan Sean. Penembakan yang kemarin dilakukan Xavion itu sengaja. Dover tahu kalau Sean akan pergi menuju bandara, jadi ia memerintahkan Xavion untuk bisa membuat Sean pergi bersama Auristela, namun dengan konteks tiba-tiba atau ketidaksengajaan.
Dover berencana membuat Sean jatuh pada Auristela. Dover mau Auristela bisa membuat Sean jatuh pada wanita itu. Jika Sean sudah benar-benar jatuh pada Auristela, maka kebenaranlah yang akan menghancurkan Sean.
Sean pasti hancur dengan fakta yang nanti terungkap. Dover akan membuat ini dramatis!
Jauh di lain tempat, Sean sedang terbaring di atas kasur. Mata hazelnya menatap langit-langit kamarnya. Tatapan mata biru milik Auristela masih membekas dibenaknya. Tatapan hangat dan lembut itu bisa Sean rasakan saat menatap lekat mata biru milik Auristela. Entah kenapa, Sean tidak bisa menunjukan sifat dirinya yang sebenarnya di depan Auristela. Seperti ada gumpalan ego yang menahannya. Sean seperti tidak ingin Auristela pergi hanya karena sifatnya. Tapi jika dipikir itu konyol!
Sean mau Auristela menetap.
Tapi Sean terus menyangkal hal tersebut.
Sean tidak mau Auristela menjauh darinya jika nanti wanita itu mengetahui siapa sebenarnya dirinya.
Kehadiran Auristela terus membuat Sean lemah. Sean tidak mengerti apa yang ia rasakan. Namun sering kali dirinya bersikap hangat jika bertemu Auristela. Sean benar-benar tidak mengerti. Auristela seperti memiliki magnet yang terus menarik narik dirinya agar menempel pada wanita itu.
Wajarkah ini?
Sudah hampir dua hari Sean bersama Auristela, dan semakin lama semakin membuat Sean jatuh. Auristela berbeda. Wanita itu berbeda seperti apa yang pernah Albert katakan. Sebelumnya Sean tidak pernah merasa sedekat ini dengan wanita setelah belasan tahun lalu. Memikirkannya membuat Sean gila.
Sean memilih untuk keluar kamar, dan mencari udara segar dimalam hari. Ia mengambil jaket kulit berwarna hitam miliknya, lalu keluar dari kamar. Saat Sean keluar dari kamar, matanya melihat Auristela sedang berjalan masuk ke dalam kamar yang ia berikan. Mata hijaunya terus memerhatikan sekaligus mengawasi Auristela. Kaki Auristela sudah mulai membaik. Auristela juga sudah bisa berjalan walaupun perlahan.
Dan benar saja wanita itu hampir terjatuh kalau saja Sean tidak cepat berlari dan menahan tubuh Auristela. "Terima kasih Sean. aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kau tidak menolongku. Mungkin kakiku akan nyeri kembali," ucap Auristela.
Detak jantung Sean berpcu cepat. Sean tidak tahu kenapa. Apa mungkin karena terkejut melihat Auristela hampir terjatuh atau karena hal yang lainnya? Sean tidak mengerti. "Kau habis pergi ke mana?" tanya Sean.
"Tadinya aku ingin melihat langit malam yang penuh bintang dan bulan yang bersinar. Tapi malam ini anginnya terlalu kencang. Aku tidak punya mantel," jawab Auristela.
"Besok akan aku belikan kau mantel. Sekarang pakai jaketku saja." Sean melepaskan jaket kulitnya. Ia memberikannya kepda Auristela. "Jadi?" Setelah menerima jaket pemberian Sean, Auristela tersenyum manis. Teramat manis. Namun senyumannya langsung memudar saat menyadari sesuatu. "Lalu kau bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" bingung Sean.
"Anginnya cukup kencang dan lumayan dingin. Jaketmu kan dipakai olehku, lalu kau?"
"Sweater ku cukup hangat."
"Baiklah kalau begitu."
Auristela berjalan disusul oleh Sean dibelakangnya. Keduanya menaiki lift untuk menuju rooftop. Sesampainya di rooftop, Auristela langsung terduduk di sisi kanan. Memandangi bangunan-bangunan unik dan lampu-lampu yang berkilauan. Tidak lupa, Auristela juga menatap ke langit malam.
Bulan bersinar lebih terang. Bintang-bintang juga berkillauan bagai berlian. Namun, hari ini tidak terlalu banyak bintang di langit malam. Berbeda dengan Auristela yang duduk, Sean malah berbaring memandangi langit malam. Sekali kali Sean menutup matanya, dan menikmati hembusan angin yang kencang. Dinginnya angin seperti menusuk tiap tulang Sean.
"Aku tidak menyangka kalau kota Madrid seindah ini saat malam hari," ujar Auristela. Matanya masih menatapi bangunan-bangunan unik dan lampu-lampu yang bersinar. Auristela menyikaui kota Madrid karena banyak bangunan classic. Banyak bangunan di kota Madrid yang unik-unik, dan itu menambah keindahan kotanya.
"Terlalu indah untuk dihancurkan," jawab Sean santai.
Mendengar jawaban Sean, pandangan Auristela beralih menatap pria itu. Apa maksud dari omongan Sean? Siapa yang ingin menghancurkan kota seindah ini? "Memangnya siapa yang ingin menghacurkan Madrid?" tanya Auristela heran. Alih-alih menjawab pertanyaan Auristela, Sean malah diam membisu.
Auristela bangkit dari duduknya untuk menghampiri Sean yang sedang terbaring. Auristela ikut terbaring di samping Sean. Kepalanya menengok ke wajah Sean. Mata biru itu terus menatap wajah Sean yang sedang menutup mata. Mengagumi tiap inci wajah pria itu. Tatapan Auristela pindah ke rambut coklat milik Sean yang berhamburan kesana kemari terbawa angin malam.
"Ada apa?" Tepat saat Sean berucap, bola mata Auristela sedang menatap mata Sean yang terpejam. Namun saat Sean berucap, mata pria itu terbuka dan menatap tajam mata biru yang sedang menatapnya dalam diam.
Keduanya terjatuh. Terjatuh dalam keheningan. Auristela tidak bisa berucap atau berkata kata lagi saat matanya mulai menatap masuk ke dalam mata hijau tajam yang dimiliki Sean. Begitu gelap dan hampa. Terasa dingin saat semakin lama menatap. Begitu pun Sean. Sean juga terjatuh dan masuk kedalam mata tenang berwarna biru milik Auristela. Begitu tenang dan hangat. Membuatnya nyaman selama menatap bola mata itu.
Tatapan keduanya terputus. Sean memutuskan tatapannya dan beralih menatap langit malam dari pada terus terhanyut dalam kehangatan mata biru itu.
"Kau terluka."
________________
It's not perfect, but I always hope you like it💚
SORRY FOR TYPO
Jangan lupa vote, comment, saran, dan kritiknya💕
TERIMAKASIH