CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 49

122K 4.3K 855
By sfdlovato

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

"Kau suka?" aku menyengir menopangkan daguku di atas kedua tanganku. Memperhatikan Harry menyuapkan masakan buatanku yang jauh lebih layak dan sehat ketimbang makanan siap saji ke dalam mulutnya jelas membuatku terhibur dan lebih menarik untuk dilihat, dia mengunyah dengan cepat dan menelannya.

"Tidak buruk. Sedikit berminyak tapi tidak menjadi masalah."

"Ya, kupikir aku menuangkan minyaknya sedikit terlalu banyak. Lain kali tidak akan terjadi lagi, tapi kau suka, kan?"

Harry mengangkat sebelah alisnya, masih mengunyah suapan lain di dalam mulutnya yang penuh oleh tumis daging yang kubuat. Dia tersenyum miring yang mana membuatku ingin menyentuh lesung pipinya. "Jangan." Dia menangkap tanganku sebelum itu terjadi. "Biarkan aku makan dengan tenang."

"Oke." Jadi aku duduk dan mengambil piring untuk diriku sendiri. Setelah makan malam berakhir aku berencana untuk kembali ke apartemen, oleh karena itu sebaik mungkin aku menggunakan waktu yang tersisa hari ini dengannya. "Well, aku mendapatkan pekerjaan paruh waktu."

Dia mengintip dari balik bulu matanya, "Pekerjaan paruh waktu?"

"Ya. Hari ini aku pergi ke sebuah toko CD di daerah Manhattan, manajernya sedang sangat membutuhkan pegawai di bagian kasir, dan dia menerimaku."

"Secepat itu?"

Aku mengangguk, menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutku sementara Harry justru menjatuhkan sendoknya dan meneguk air di dalam gelas.

"Siapa orang yang menerima seorang pegawai baru hanya dalam waktu satu hari? Paling tidak kau harus menunggu panggilan dalam beberapa minggu."

"Toko itu sedang sangat membutuhkan pegawai baru, Harry. Bayangkan saja mereka hanya memiliki dua orang pegawai, mereka kekurangan tenaga, wajar jika aku diterima dengan cepat."

Harry mendesis pertanda tidak suka, "Berapa mereka membayarmu?"

"5$ per-jam. Lumayan, bukan?"

Dia tertawa meledek. "Lumayan jika setiap hari kau hanya makan mie instan. Jam berapa kau akan mulai bekerja besok?"

"Setelah pulang dari ujian. Aku diwajibkan bekerja minimal 20 jam per-minggu."

Harry kembali menyuapkan sesendok makanan yang tersisa di piringnya. "Tunjukkan tempatnya padaku, aku akan menjemputmu jika aku sempat. Dan kau tidak boleh bekerja di hari sabtu dan minggu."

"Mengapa?"

"Aku butuh hari dimana aku bisa memilikimu 24 jam penuh. Kau tahu 20 jam per-minggu akan menyita banyak waktumu untuk bisa bersama denganku, kepindahan kita bersama kesini juga tidak akan berhasil jika kau sibuk dengan kuliah, bekerja, dan urusanmu yang lain, Ken." Oh, si gila kontrol brengsek. Tapi kurasa dia ada benarnya juga. Toh, tujuan kami pindah kemari karena ingin menghabiskan waktu bersama lebih banyak.

"Oke. Kurasa aku bisa mengaturnya." Aku tersenyum simpul ketika dia menyetujui. Awalnya kupikir ini akan sulit, dan dia akan marah serta melarangku untuk bekerja, mengingat dia terlihat tidak suka ketika ide itu muncul dari mulutku beberapa hari yang lalu. Namun nyatanya dia setuju dan justru berinisiatif untuk menjemputku setiap hari sepulang bekerja.

Menghabiskan makananku, aku lanjut membersihkan piring-piring dan peralatan masaknya yang kotor. Mungkin dalam beberapa hari ke depan rutinitasku akan seperti ini terus: pulang dari kampus, pergi bekerja, menyiapkan makan malam untuknya, dan pulang ke apartemen. Setidaknya sampai aku benar-benar pindah kemari.

***

Aku langsung pergi ke tempat kerja setelah ujianku berakhir. Pagi tadi aku sempat menunjukkan pada Harry dimana tempatnya, jadi sore nanti dia akan menjemputku tepat pukul 5.

Dylan, pegawai yang waktu itu dengan baik hati mengantarku menuju ruangan manajer merupakan pekerja tetap disini. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia bekerja, tapi yang jelas dia tahu pasti mengenai seluk beluk toko ini dan bagaimana kondisi daerahnya yang strategis. Dia orang yang sangat ramah dan murah senyum, kurasa dia akan mudah diajak bekerjasama dan dimintai tolong.

"Jadi, kita akan bertemu setiap hari mulai hari ini, hah?"

Aku tertawa kecil sambil merapihkan barisan CD yang terjejer di bagian Best Seller. Dylan masih memandangiku sambil membersihkan debu-debu yang menempel dengan kemocengnya di sebelahku. Senyumnya tidak kunjung hilang. "Ya, kecuali sabtu dan minggu."

"Oke, berarti senin sampai jum'at? Keren."

"Kau sendiri? Apa pekerja tetap selalu disini setiap hari?"

"Ya, aku disini setiap hari. Aku sedang mengumpulkan uang untuk masuk universitas, jadi aku harus bekerja sepanjang waktu—bu-bukan sepanjang waktu seperti 24 jam penuh dalam sehari tapi dari senin hingga minggu aku akan berada disini." Jelasnya, terlihat sedikit gugup, jadi aku memandang ke dalam matanya.

Dia langsung menunduk seperti malu-malu. "Kau... apa kau seorang mahasiswi?"

"Umm ya, aku mahasiswi di NYU, jurusan sastra dan literatur. Kau sendiri? Apa kau baru lulus SMA tahun ini?"

Dia mengangguk cepat, "Ya, dan a-aku berencana untuk melanjutkan kuliah di Columbia University tahun depan. Aku menyukai hal-hal tentang sosiologi dan kurasa aku akan mengambil jurusan itu."

"Itu pilihan yang bagus. Semoga kau beruntung."

"Terimakasih." Dia menyengir lebar dari telinga ke telinga. Tapi satu hal yang agak menggangguku dari Dylan adalah senyumannya padaku tidak pernah hilang sedetik pun. Itu membuatku berpikir yang tidak-tidak.

Berbalik, aku melihat seorang gadis memakai kemeja kotak-kotak dengan rambut diikat kuncir kuda baru saja tiba. Dia gadis yang kemarin, sayangnya aku belum sempat berkenalan dengannya. Dia langsung melihat ke arah kami dan berjalan menghampiri memasang senyum lebar.

Dia melambaikan sebelah tangannya pada kami. "Hai, Dylan."

"Hai."

"Dan hai, gadis baru. Jadi, Marshall sudah menerimamu bekerja disini? Wow. Cepat sekali." dia menepuk lenganku pelan, terlihat begitu bersahabat. Otomatis aku memberikan senyuman terbaikku. "Oh, aku lupa. Perkenalkan, aku Lorenna tapi kau cukup memanggilku dengan Lori. Aku juga pekerja tetap disini sama seperti Dylan hanya saja aku hobi datang terlambat dan dia hobi menggoda wanita." Dia tertawa ringan, membawa tangannya ke arahku dan aku menjabatnya singkat. Sempat di belakangku aku mendengar Dylan mengumpat diam-diam.

"Aku Kenya. Aku kerja paruh waktu disini."

"Ya, aku tahu. Kau pasti hanya bekerja setiap senin sampai jum'at kemudian kau menghabiskan akhir pekanmu dengan kekasihmu di rumah atau pergi berkencan. Itu klise. Baiklah, aku harus bersiap-siap. Dylan, kau belum membersihkan kaca jendela depan. Lakukan atau aku akan menendang bokongmu." Katanya cepat, dan dengan itu dia melesat menuju ruang pegawai meninggalkan kami berdua.

"Well, jangan dengarkan dia. Jika Marshall sedang tidak ada di tempat dia memang sering menyuruh pegawai lain seenaknya." Aku membulatkan mulutku menjadi huruf 'O' sempurna. "Dan aku bukan penggoda wanita, aku justru payah dalam melakukan hal itu."

Oh, sayangnya aku sulit percaya untuk yang satu itu. Kau bahkan baru saja mengedipkan sebelah matamu padaku, Dylan. "Umm, kurasa aku harus kembali ke kasir." Kataku begitu melihat ada pelanggan masuk dan melihat-lihat, jadi dengan cepat aku berjalan melewatinya berharap dia akan langsung menuruti ucapan Lori ketimbang mengamatiku pergi.

Jujur, dalam hati aku merasa kurang nyaman. Aku tidak suka dengan caranya yang memandangku terus menerus dan seolah tanpa henti, itu membuatku terganggu. Dan setiap kali dia tersenyum ke arahku, aku tidak bisa tidak membalasnya. Dia terlalu sering melakukan itu. Namun yang membuatku kesal adalah aku tidak bisa berhenti melirik ke arahnya—bukan karena dia menarik atau apa, tetapi aku hanya ingin memastikan bahwa dia sudah berhenti memandangiku di kejauhan.

"Dia menyebalkan, bukan?" aku meloncat kaget mendengar seseorang berbicara di dekat telingaku.

Rambut coklatnya yang mengkilat dan bergelombang terlihat bersinar di bawah terik lampu. Lori memberiku uang receh yang baru untuk kembalian dan memasukkannya ke mesin penghitung uang. "Siapa?"

"Dylan! Dia adalah keponakan dari si pemilik toko CD, dia juga sangat dekat dengan Marshall, kepala manajer disini. Kau harus berhati-hati dengannya."

Keningku mengerut, bingung. "Maksudmu?"

"Dylan tertarik padamu, oleh karena itu kau wajib berhati-hati. Terakhir kali dia menaksir pegawai disini, gadis itu dipecat karena menolaknya."

"Kau serius?" sikap macam apa itu?

"Aku serius. Kau tidak boleh membuatnya kesal atau dia akan melapor pada manajer untuk memecatmu. Dia memiliki kemampuan untuk itu karena pamannya adalah bos kami. Well, apa kau sudah memiliki kekasih?" bisiknya.

"Apa aku harus khawatir?"

"Jika, ya, maka kau harus. Dylan bisa menghabisi kekasihmu hingga babak belur!" Aku mengernyit dalam hati dan bergidik. Bukan karena aku takut dan mengkhawatirkan Harry, tapi aku justru khawatir jika Harry lah yang akan menghabisi Dylan hingga mati. Bahkan jika dia sampai mengetahui salah seorang pegawai disini menaksir padaku saja aku yakin dia akan marah besar. Astaga, ini celaka. Harry tidak boleh sampai tahu mengenai Dylan, begitu pun sebaliknya.

"Kau berkata seperti itu seolah-olah Dylan adalah ancaman besar bagiku."

"Memang! Kenya, kau tidak boleh tertipu dengan senyumannya yang ramah. Dia akan terus, terus, dan terus mendekatimu hingga kau mau pergi keluar dengannya. Sudah ada tiga kasus semacam ini dan dua diantaranya dipecat sementara yang satu lebih memilih untuk mengundurkan diri. Jika kau tidak mau berakhir seperti itu, lebih baik kau jangan berani membuat Dylan marah dan jangan sampai dia tahu jika kau sudah memiliki kekasih atau nyawa kekasihmu yang terancam."

Aku diam sebentar, memandang kedua mata Lori secara seksama. Kuharap ini bukan lelucon yang dikarangnya karena terdengar sangat tidak lucu. Memikirkan Dylan yang memiliki tubuh kurus seperti itu bisa berkelahi saja sudah terkesan mengada-ngada, apalagi dia melawan Harry? Tapi tentu aku tidak mau kehilangan pekerjaanku. Tidak secepat itu.

"Nona, aku mencari album Pink Floyd, tapi aku tidak menemukannya. Bisa kau membantuku?" Salah seorang pelanggan datang memecahkan lamunanku, dan dengan itu Lori langsung menunjukkan padanya dimana tempatnya.

Sementara aku diam di balik meja kasir, sekali lagi mengintip ke arah kaca jendela depan dan kulihat Dylan masih memusatkan perhatiannya padaku. Senyumnya lagi-lagi merekah lebar. Oh, ya Tuhan, buat dia mengalihkan pandangannya dariku! Sekarang!

***

Aku terburu-buru mengambil tasku di ruang pegawai sesaat setelah mendapat pesan dari Harry. Dia sudah di jalan dan sebentar lagi dia datang. Aku memastikan diriku harus sudah berada di luar toko sebelum dia yang menghampiriku ke dalam, jadi aku melesat keluar.

"Kau sudah mau pulang?" tiba-tiba saja Dylan datang di hadapanku, membuatku menghentikan langkahku yang hanya tinggal beberapa jengkal dari pintu depan. Tangannya memegang kain basah dan kusam seperti baru dipakai.

"Ya, ini sudah hampir gelap dan aku harus segera berada di rumah."

"Memang dimana rumahmu?"

"Aku tinggal di apartemen di dekat kampus bersama temanku."

"Apa kapan-kapan aku boleh mampir?" Sial, senyuman itu lagi. Senyuman lebar dari telinga ke telinga yang tidak bisa aku tolak.

"Ya. Tentu. Kapan-kapan. Well, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, Dylan."

"Sampai jumpa, Kenya." Dia melangkah mundur membukakan pintu untukku. Sekali lagi aku membalas senyumannya—dengan sedikit enggan kali ini. Aku tidak terbiasa dengan segala perilakunya yang begitu ramah dan seolah-olah menyanjungku. Aku harus melakukan sesuatu agar dia berhenti melakukan itu.

Lantas aku menyebrangi jalan ketika melihat Mercedes Benz hitam milik Harry di depan kedai kopi. Aku merangkak masuk ke kursi penumpang dan menaruh tasku di belakang, Harry mengamatiku dengan kening yang mengerut. Dan aku langsung memiliki perasaan tidak enak.

"Siapa itu tadi?"

Sialan. "Itu Dylan, salah satu pegawai tetap di toko. Kau mau makan apa malam ini?"

"Mengapa dia membukakan pintu untukmu? Kau tidak bisa melakukannya sendiri?"

"Harry." aku memutar bola mataku padanya, nyaris menyentak. "Dia hanya bersikap ramah terhadapku, oke? Sekarang jalankan mobilnya."

"Kau mengontrolku?"

"Ya, karena kau sudah terlalu sering mengontrolku jadi sekarang aku yang mengontrolmu."

Kulihat salah satu sudut bibirnya berkedut menahan tawa. Oh, apa yang ada di pikirannya? Apakah ada sesuatu yang lucu dari ucapanku barusan? "Kau yang mengontrolku. Baik. Kita lihat seberapa hebat kau mengontrolku, Kenya Sharp." Dan dengan itu dia menyalakan mesin mobilnya, kemudian memalingkan wajah dariku begitu dia memasang sabuk pengamannya. Menginjak pedal gas, Harry mengemudikan mobilnya dengan kencang.

Terkadang aku bingung dengan berbagai macam arti di balik senyumannya. Ada yang terkesan cabul, ada yang terkesan licik, dan ada yang terkesan miris. Dan terkadang aku tidak bisa membedakan itu. Aku hanya pandai dalam membaca tatapannya yang selalu intense.

Sesampainya di rumah aku langsung melesat menuju dapur. Harry menghujamiku dengan berbagai pertanyaan mengenai Dylan yang aku jawab seadanya saat di mobil tadi. Tentu aku tidak menceritakan soal apa yang Lori katakan padaku. Itu gila. Harry bisa marah besar jika tahu Dylan menaruh ketertarikannya padaku, yang mana akan berujung pada sebuah malapetaka.

"Besok jadwal ujianku kosong, aku akan ke toko pagi-pagi sekali."

"Bagus, berarti kau memiliki waktu lebih denganku. Kau bisa menunjukkan padaku bagaimana caramu mengontrolku."

Aku mengernyit, bingung. "Apa maksudmu? Jujur aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di otakmu sedari tadi. Kau tersenyum seorang diri seperti orang yang sudah tidak waras. Katakan padaku ada apa?"

"Sungguh kau tidak mengerti?" katanya, matanya memancarkan tatapan cabul, dan dia menarik pinggulku ke arahnya yang bertopang tubuh di meja makan. Oh, astaga. Si bajingan ini. Aku mengerti apa maunya!

"Maksudmu kau ingin... aku yang berada di atasmu dan mengambil kontrol?"

Dia mencium tiap inci tulang rahangku dengan perlahan, dan aku bisa merasakan seringainya yang lebar. "Iya, sayang. Aku tahu otakmu cukup pintar untuk mencerna makna-makna kotor di balik ucapanku." Dia mencium leherku sekarang, meremas bokongku kuat hingga mataku terpejam dan tubuhku menegang.

Aku menahan diri untuk tidak mengerang. "Sesungguhnya tatapan matamu mengatakan lebih. Aku bisa tahu karena aku melihat gairah itu di matamu."

Tangannya merayap naik ke punggungku, mengusap bagian samping tubuhku dengan lembut selama beberapa saat. Harry menarik wajahnya dan mencium hidungku. "Jadi otakmu tidak cukup cerdas dalam memaknai kata-kata?"

"Lebih tepatnya kau menggunakan kata-katamu terlalu umum. Sekarang biarkan aku memasak, aku tahu kau belum makan sejak siang tadi." Sebisa mungkin aku menghela napas dalam-dalam, mencoba menetralkan gairah yang tadi sempat memenuhiku. Aku meraih kedua tangannya di belakang punggungku dan melepasnya.

"Kau tidak boleh dekat-dekat dengannya."

"Siapa?" kataku tanpa menoleh dan fokus pada kentang yang kurebus.

"Daniel."

"Maksudmu Dylan?"

"Ya, siapa pun itu, yang jelas kau tidak boleh dekat-dekat dengannya."

Aku memutar bola mataku secara penuh. Ini dia si brengsek-gila-kontrol-yang-menyebalkan alias penguasa alam semestaku. Harry tidak akan pernah bisa melepas hal ini darinya meski hanya untuk satu hari. Dia kelewat bossy.

"Akan kucoba."

"Aku membutuhkan jawaban pasti, bukan yang tentatif semacam itu."

Berbalik, aku menatapnya lurus dan keras. "Harry, berhentilah mengontrolku untuk berteman dengan siapa dan menjauhi yang mana. Dia partner kerjaku dan sudah selayaknya aku menghormatinya, lagi pula aku bukan tipe gadis yang senang mendekati laki-laki lain hanya karena kami berada di satu ruangan yang sama. Percayalah sedikit padaku."

"Aku percaya padamu tetapi tidak padanya."

Aku memejamkan mataku sejenak, melihat gadis batinku melempar sebongkah batu ke arah kaca besar dan tinggi menjulang lalu meraung-raung. Aku melawan diriku sendiri agar tidak marah. "Baik, terserah padamu. Kau tahu aku tidak akan pernah bisa menolak."

"Bagus." Bisiknya. Melangkah mendekat, dia menaruh kedua tangannya di sisiku, membuatku tidak bisa bergerak baik ke kanan maupun ke kiri. Tapi setidaknya sejauh ini dia belum menyentakku, dan itu bagus. "Aku hanya ingin kau aman, Ken. Tidak satu pun pria di dunia ini yang bisa kau percayai. Aku sudah mengingatkanmu sekarang, dan kau perlu mengingatnya setiap saat—setiap kali kau berhadapan dengan pria yang tidak kau kenal. Kau mengerti?"

Aku mengangguk mengiyakan. Namun di lain sisi aku seolah mengkerut di bawah tatapannya yang penuh arti, seakan ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku mengenai hal ini.

"Aku lapar, lanjutkan pekerjaanmu." Bisiknya, lalu dia mencium pipiku kilat.

***

-Harry's POV-

Brengsek. Aku nyaris tidak tahan dengan seluruh jadwal ujianku yang begitu kelewat padat di semester ini. Persetan dengan sastra dan literatur. Mungkin seharusnya aku tidak pernah pindah dari filsafat, tapi jika aku tidak melakukan itu maka selama empat tahun lamanya aku harus berurusan dengan keparat-keparat itu setiap hari.

Kenya masih berada di tempat kerjanya yang sialan bersama si pecundang Daniel, yang mana membuatku khawatir karena aku tidak bisa mempercayai para pria yang berada di dekatnya. Jadi aku berangkat meninggalkan kampusku menuju frat Liam. Sialan karena bajingan besar itu terus menerus menagih janjiku.

"Hey, lama tidak melihatmu, Harry." Liam meneguk birnya dengan cepat sebelum melempar satu kaleng di dekatnya untukku. Aku menerima dengan satu tangan, kemudian duduk di minibar bersamanya. "Mike baru saja menyelesaikan satu proyek, kau mau mengeceknya?"

"Aku kemari bukan untuk itu."

"Lalu?"

"Aku ingin membicarakan soal proyek besarmu."

"Hebat!" dia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, terlihat terhibur. "Itulah yang aku tunggu-tunggu, bung, jadi kapan kita akan melakukannya?"

"Secepatnya."

"Bagus. Kau sudah berbicara dengannya? Kapan dia mau datang kemari? Beberapa hari yang lalu Carl berkata padaku bahwa kau terlihat begitu protektif padanya. Ada apa denganmu, hah?"

"Lupakan soal gadis itu, dia tidak akan pernah kemari."

Liam tergelak singkat menepuk-nepuk pundakku. "Kau bercanda, kan?"

"Apa aku terlihat sedang bercanda? Li, aku sudah mengatakan padamu sebelumnya. Aku ingin menarik janjiku mengenai dirinya, aku berubah pikiran dan kedatanganku kemari adalah untuk memberikan solusi."

Alisnya mengkerut bertautan, dan aku menangkap kebingungannya, "Solusi macam apa, hah? Lelucon macam apa yang sebenarnya sedang kau mainkan?"

"Aku tidak bermain-main. Aku memiliki sesuatu yang lebih besar untukmu."

Dia mengernyit kesal membuang muka dariku. Wajahnya yang seperti ini lah yang kerap kali membuatku jijik. "Dengar, aku sudah tidak memiliki waktu lagi, brengsek. Jika kau tidak membawanya lalu kapan proyek ini akan berjalan? Bosku terus mendesakku agar ini dapat selesai dalam waktu kurang dari tiga bulan lagi, jika tidak, maka dia akan memecatku. Dan jika itu terjadi kau tahu kau akan berakhir dimana, Harry. Ingat, aku masih menyimpan rekaman CCTV di garasiku." Bisiknya mengancam, lalu tubuhnya bergerak condong mencoba untuk berbicara tepat di telingaku. "Semua orang akan langsung tahu bahwa kau seorang pembunuh."

Dengan cepat sekujur tubuhku menegang, kedua tanganku mengepal kuat menahan diri untuk tidak menepisnya menjauh. Aku selalu menahan diri untuk tidak mencari keributan dengannya karena si bajingan ini memang seorang keparat licik. Namun aku harus mengingat tujuan awalku datang kemari. Aku harus merundingkan sesuatu dengannya. Solusi dimana aku tidak perlu terperangkap lagi dalam kekacauan sialan ini.

"Aku menemukan seorang gadis yang persis seperti dirinya."

"Apa maksudmu?" dia menarik wajahnya menjauh, kemudian meneguk bir di kalengnya hingga habis dan menghentaknya di atas meja bar.

"Beberapa hari belakangan ini aku mencari seorang pengganti untuk proyek keparatmu itu. Dia seorang gadis brunette, bertubuh proporsional, cantik—yang jelas dia sesuai dengan seluruh kriteria yang kau inginkan. Dia juga hebat di atas ranjang, aku sudah mencoba satu kali dengannya."

Liam terkekeh geli hingga matanya mengkerut nyaris terpejam. Si bajingan ini, mengapa dia selalu menertawakan segala hal? "Kukira kau berkencan dengan si pelacur itu?"

Aku menggeram mencengkram lengannya, "Berhenti memanggilnya seperti itu, brengsek! Dia bukan lagi seorang pelacur."

Dia menepisku dengan cepat, "Santai, bung. Sekali lagi kau menaruh tanganmu di lenganku seperti tadi, aku akan memotong kepalamu." Gumamnya pelan. Aku bergerak meraih kaleng birku di atas meja dan membukanya, mencoba untuk tenang. Persetan dengan ancamannya yang membuat bulu kudukku tidak berdiri sama sekali.

"Jadi, kau masih tidur dengan gadis lain disaat mengencaninya, hah? Bagaimana bisa? Harry, nyatanya kau memang masih seorang bajingan hingga detik ini! Sialan karena aku sungguh bangga padamu, keparat!" Dia tertawa terbahak-bahak layaknya orang tidak waras, bahkan perubahan air mukanya yang signifikan begitu mengganggu. "Kukira kau sudah berubah drastis mengingat betapa keras usahamu untuk menjauhkannya dariku—seolah-olah kau sungguh-sungguh jatuh cinta padanya! Aku tahu itu mustahil, Harry. Mustahil kau dapat berubah. Well, mari kita lihat seperti apa gadis pengganti yang kau pilih itu. Meski aku tidak yakin, tapi kurasa tidak ada salahnya jika kau membawanya kemari. Dan jika dia mengecewakan aku tetap menginginkan gadismu. Kau mengerti?"

Aku meneguk sedikit bir di dalam kaleng yang kugenggam. Rasanya mengerikan dan aku membencinya. Lantas aku menaruhnya lagi di atas meja, aku bangkit berdiri dari kursiku dan mengeluarkan sebuah flashdisk dari balik jaket kulit yang kukenakan. "Mengapa kau tidak mencoba melihatnya dulu? Jika kau tertarik aku akan membawanya padamu. Aku harus pergi sekarang."

Liam menerima flashdisk yang kuberi dan menggenggamnya kuat. Wajahnya terlihat tidak tertarik, tapi ada dua hal yang aku harapkan dari benda sialan itu. Pertama, aku berharap itu akan merubah pikirannya. Dan kedua, aku berharap benda itu tidak jatuh pada orang lain—terutama Kenya. Dia lah alasan mengapa aku melakukan ini. Dia lah satu-satunya yang terpenting dalam kehidupanku, jauh melebihi apapun.

TO BE CONTINUED!

Sorry, it's such a short chap. I'm working on another fic and I'm pretty moody at writing but next time there'd be more Harry's POV! Please leave ur VOTE and COMMENT! :) You know the rules, right? If you're too lazy to leave a feedback then I could be way lazier to update. Toodles!

.xx

Continue Reading

You'll Also Like

7M 56.7K 6
Satu kesalahpahaman, dan Emma tidak tahu bahwa kesalahan 'mengajak-orang-asing-bergulat-hebat-untuk-kesan-pertama' bukan hal baik untuk kelangsungan...
297K 2.6K 59
Saya hanya merekomendasikan cerita yang saya suka
770K 77.8K 54
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...