CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 47

146K 3.8K 920
By sfdlovato

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

"Kau tidak mampir?" kataku sesaat setelah kami tiba di depan apartemen. Biasanya Harry akan langsung mematikan mesin mobilnya, tapi kali ini dia tidak.

"Aku masih ada urusan di luar. Nanti malam aku akan datang."

"Kau akan kemana memangnya? Mempersiapkan adu balap nanti malam?"

"Tidak, Tyler menundanya hingga minggu depan. Dia masih mengupayakan lokasinya karena sekarang polisi agak sulit diajak kerjasama. Mereka berkata 'ya' lalu beberapa hari kemudian mereka berkata 'tidak'. Sekarang aku harus kembali ke frat, Ken."

"Oke." Gumamku cemberut. Mencondongkan tubuhnya ke arahku, dia meraih wajahku dan mencium bibirku dalam-dalam selama beberapa saat. Dan selama itu aku merasa seperti melayang. Bibirnya bagaikan candu yang sangat sulit untuk kuhentikan. Sial, aku semakin tidak ingin dia pergi. "Janji nanti malam kau akan datang."

Dia mengecup bibirku lagi, "Tentu, sayang." Bisiknya. Dan sekarang rasanya aku mau mati. Ini pertama kalinya dia memanggilku 'sayang' saat bukan melakukan seks.

***

Aku tidak tahu bagaimana caranya berkata pada Jules soal rencanaku untuk pindah dengan Harry. Sejak awal kami tiba di New York, kami sudah berjanji untuk tinggal bersama sampai salah satu di antara kami lulus. Lagi pula meski apartemen ini terbilang jelek, biayanya tidaklah murah jika harus dibayar seorang diri. Ditambah lagi Jules tidak memiliki pekerjaan, dia masih hidup dengan uang yang diberikan oleh orang tuanya tiap bulan.

"Jules, ponselmu berdering."

"Biarkan saja." aku memperhatikannya memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Tapi ponselnya yang dia taruh di atas meja makan sudah berkali-kali bunyi dan dia terus mengabaikannya, jadi aku penasaran dan bangkit berdiri dari sofa untuk melihat siapa peneleponnya. Lalu dalam sesaat aku pun sadar mengapa Jules enggan menjawab.

"Apa kau masih berkomunikasi dengannya?"

"Siapa?"

"Niall."

Jules tertawa geli, memutar timer di mesin cuci kemudian berjalan ke arahku. "Tidak. Aku selalu menghindarinya dimana pun dia berada. Si brengsek itu memohon maaf padaku berkali-kali tapi aku tetap tidak bisa memaafkannya—entah kenapa—yang jelas aku masih belum bisa menerima perlakuannya terhadap setiap gadis yang di matanya menarik."

"Apa kau sudah tidak memiliki perasaan untuknya sama sekali?"

"Justru itu yang selama ini menggangguku, Ken. Jika aku memang sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya, seharusnya aku bisa memaafkannya dan melupakan kejadian di antara kau dan dia waktu itu." aku menelan ludah membayangkan ucapannya. Setiap kali teringat akan kejadian yang membuat perutku serasa ditendang itu, aku selalu merasa bersalah pada Jules. Seandainya saja ada cara untuk membuatku bisa melupakan kejadian-kejadian tolol semacam itu.

"Sama halnya seperti kau tidak mau memaafkan Harry?"

Jules mengerutkan keningnya padaku, "Itu hal yang berbeda, Kenya. Aku marah pada Harry karena aku tidak menaruh kepercayaanku padanya, kau tahu itu." suaranya berubah tinggi, dan terdengar kesal. Aku hanya berharap dia tidak menyangkal.

"Aku tahu, tapi kau pernah berkata padaku kalau kau pernah hampir menyukainya."

"Ya, karena Harry adalah tipe orang yang akan melakukan apapun untuk bisa meniduri gadis yang dia mau. Dan begitu dia mendapatkan hal itu dariku, aku sadar bahwa aku ini sia-sia."

Lagi, sensasi perutku yang seolah ditendang kembali terasa. Ini bukan hal yang ingin aku dengar dari mulut Jules. Membayangkan Harry menggodanya dan mengajaknya berhubungan seks membuatku frustasi. Aku bisa merasakan wajahku berubah pucat sekarang.

"Brengsek. Kapan dia akan berhenti?" Jules menggerutu pada ponselnya yang kembali berdering, sementara itu aku duduk di kursi meja makan dan mencoba menenangkan pikiranku. Jules dan Harry... Jules dan Harry... Astaga. "Kenya, aku akan pergi ke frat, kau mau ikut?"

"Ada apa disana?"

"Seperti biasa, bersenang-senang."

Oh. Pesta lagi? "Tidak. Aku harus belajar untuk ujian."

Dia memutar bola matanya dariku, "Oke."

***

Jules pergi ke frat satu jam yang lalu. Apartemenku sudah terbiasa sepi setiap malam karena Jules selalu pulang larut di atas jam 12 atau bahkan tidak pulang sama sekali. Mungkin seharusnya aku bisa menggunakan itu padanya sebagai alasan mengapa aku ingin pindah. Aku sedang bersusah payah memikirkan alasan-alasan apa yang harus kuberikan karena ucapan Jules mengenai Harry masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku butuh sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku dari itu.

Ada suara ketukan di pintu. Dengan segera aku melempar buku-bukuku ke sofa dan berlari untuk membukanya. Senyumku mengembang begitu melihat sosok Harry berdiri dengan sebelah tangannya yang bertopang di pinggiran pintu, otomatis wajahnya berada begitu dekat denganku sekarang. "Hai."

"Begitu aku tahu Jules tidak ada disini aku langsung pergi kemari."

Cengiranku melebar. Menarik tangannya untuk masuk, aku menutup pintu dengan sebelah tanganku yang lain. Rasa bahagia kerap kali membuncah disaat aku melihatnya, entah itu dari jauh maupun dari dekat. "Aku sudah menunggumu dari tadi."

"Kau sedang apa? Belajar?" dia memperhatikan buku-buku dan kertas-kertasku yang berserakan di sofa. Bergerak untuk mengambilnya, dia memindahkan semuanya ke meja beserta kacamata yang biasa kugunakan jika sedang membaca.

"Ya, kira-kira begitu. Aku butuh pengalih perhatian."

"Dari apa?"

"Bukan apa-apa." aku duduk di sampingnya sambil merapihkan kehancuran yang ada di atas meja. Harry memperhatikanku cukup lama.

"Kau tahu aku bisa tahu jika kau berbohong, Ken."

"Serius, ini bukan apa-apa, Harry. Aku hanya perlu mengalihkan perhatianku dari hal-hal yang seharusnya tidak perlu kupikirkan."

"Ada yang mengganggumu?"

"Tidak." Aku mendesah kesal. Menghentakkan tumpukan kertasku di atas buku, aku memutar tubuh ke arahnya. "Kau mau menonton film?"

"Katakan padaku apa yang mengganggumu."

Ya ampun! Mengapa orang ini tidak mau mendengarkan? "Aku hanya teringat kata-katamu waktu dulu, ketika kau berkata kau pernah tidur dengan Jules."

"Lalu?"

"Tidak ada 'lalu'. Hanya itu."

"Kau bohong."

Gadis batinku menggerutu marah menarik rambutnya ke belakang. Demi Tuhan, dari mana dia bisa selalu tahu? Apa kemampuanku begitu buruk saat berbohong? Tapi hanya dia yang selalu tahu dan seakan-akan bisa membaca pikiranku. Aku tidak suka jika aku sedang mudah ditebak seperti ini olehnya.

"Ken, aku menunggu."

Aku mendesah putus asa. "Jules bilang kau akan mengupayakan hal apapun untuk bisa tidur dengan gadis manapun yang kau mau, dan itu membuat pikiranku kacau."

Harry membaca wajahku seakan sedang menganalisa. Matanya menyipit sedikit, kemudian dia berbicara lagi. "Jadi kau tidak percaya padaku sekarang? Kau lebih percaya padanya?"

"Tidak, Harry, bukan begitu—"

"Aku bahkan tidak perlu berusaha keras untuk meniduri seorang gadis, Ken. Mereka yang selalu datang padaku, bahkan terkadang ada di antara mereka yang memohon-mohon untuk kutiduri."

Kerongkonganku langsung terasa penuh. Aku menelan ludah membayangkan ucapannya yang menusuk-nusuk kepalaku. Aku benci setiap kali Harry membicarakan pengalaman seksnya meski kurasa aku tidak kalah banyak memiliki pengalaman semacam itu. Tahu sendiri aku ini mantan pelacur kendati tidak seprofesional itu.

"Oke, bisa kita hentikan pembicaraan ini?"

"Jadi siapa yang kau percayai?"

"Aku ingin menonton film, Harry."

"Ken, jawab aku. Siapa yang kau percayai omongannya?"

Astaga, mengapa dia harus mulai memaksaku lagi? Tidak bisakah dia berhenti membuatku memilih antara dia atau Jules? Aku diam sejenak sebelum menjawabnya. Mata Harry melebar dan waspada terhadapku. "Kau. Aku mempercayaimu. Kau puas?" Dan itu benar adanya. Selain karena aku tidak mau memperpanjang masalah ini, aku memang harus percaya padanya.

Sejurus kemudian aku dan Harry lanjut dengan menonton film setelah dia puas memiliki perbincangan ini denganku. Aku memilih The Great Gatsby karena aku tahu ini satu-satunya film drama romantis yang menurutnya realistis, oleh sebab itu dia tidak banyak mengoceh kecuali bagian dimana Daisy bersikap sangat bodoh karena memilih suaminya. Dan adegan ketika Gatsby marah besar hingga wajahnya merah padam membuatku teringat pada Harry setiap kali amarahnya memuncak.

"Mengapa filmnya sangat panjang?" dia mulai mengeluh lagi.

"Kau belum pernah menontonnya?"

"Aku hanya membaca novelnya."

"Lalu bagaimana menurutmu? Apa filmnya sesuai seperti yang kau ekspektasikan?"

"Aku masih lebih memilih novelnya. Filmnya membuatku mengantuk di awal."

Oke. Setidaknya komentarnya terhadap film ini tidak terlalu pedas, kecuali dibagian dimana dia menyebut Daisy adalah pelacur, meski aku sendiri juga tidak terlalu menyukai karakternya yang plin-plan. Lantas aku merapatkan tubuhku ke arah Harry, melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya dan menempelkan pipiku di pundaknya. Dengan begini aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang khas dengan lebih jelas. Ada aroma mint dan apel yang samar-samar.

Dia memindahkan salah satu tangannya ke puncak kepalaku.

"Kau memanggilku 'sayang' hari ini." gumamku. Kurasakan kepalanya bergerak menunduk untuk melihatku. Mungkin dia terkejut.

"Benarkah?"

"Ya. Kau tidak menyadarinya?"

Ada jeda yang sangat panjang, dan itu membuatku tidak yakin sehingga mendongak padanya. Dia menggeleng pelan.

"Biasanya kau selalu memanggilku seperti itu jika kita sedang berhubungan seks."

"Ya, aku tahu, tapi...—" matanya memandangku lurus, terlihat sedang berpikir keras. "Well, itu aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Kupikir aku bukan tipe pria seperti itu."

Sontak aku mengangkat kepalaku dari pundaknya. Kupikir ini terdengar menarik untuk didengar. "Kau tidak pernah memanggil seorang gadis dengan sebutan 'sayang' sebelumnya?"

"Tidak kecuali saat seks." Oh. Harry tergelak geli membuang mukanya dariku. Sepertinya dia malu. "Bagaimana kedengarannya?"

"Aku suka. Kau memang tidak menyebutkannya dengan begitu jelas tapi aku suka mendengar itu." kuperhatikan wajahnya memerah—persis seperti pertama kali dia memperkenalkanku sebagai kekasihnya. Astaga, dia benar-benar mempesona. Secara spontan aku bergerak untuk mencium pipinya dengan kilat, aku tersenyum tatkala dia berusaha untuk menyembunyikan seringainya yang miring. Dia masih terlihat malu-malu. "Lihat, kau bahkan bisa menjadi seorang kekasih yang normal."

"Kau suka hubungan yang normal?"

Aku mendelik ke arah tv, dalam hati tidak yakin dengan apa arti kata 'normal' di pikirannya. "Ya, kurasa. Tergantung seperti apa arti kata 'normal' untukmu."

"Aku tidak yakin artian kata 'normal' milkku sama dengan arti kata 'normal' di kamusmu."

"Kalau begitu ikuti kata 'normal' milikku."

Dia mendengus memikirkannya, "Kita lihat saja nanti."

"Mengapa kau berkata begitu? Kau tidak yakin kau bisa membiasakan diri dengan ke-'normal'-anku?"

"Ken, kehidupanku jauh berbeda dari apa yang kau bayangkan. Aku tidak tumbuh di keluarga yang harmonis—setidaknya sejak aku berumur 12 tahun aku tidak tahu lagi apa itu hubungan yang harmonis dan normal."

Aku menggigit bibir bawahku sejenak, merasakan perasaan simpati yang begitu kuat sekaligus berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini. Dan dalam pikiranku, aku melihat seorang bocah laki-laki yang ketakutan. Mungkin akan lebih mudah jika Harry bisa lebih terbuka lagi padaku mengenai masa lalunya. "Apa yang terjadi saat itu?"

"Apa maksudmu?"

"Saat kau berumur 12. Apa yang terjadi saat itu? Kau sudah berjanji padaku untuk bercerita mengenai kehidupanmu sebelum ini, Harry."

"Ken, tidak sekarang—"

"Tapi kau sudah berjanji padaku."

"Aku tahu, tapi tidak sekarang, Ken!" bentaknya, dan sekarang tiba-tiba dia terlihat frustasi. Perubahan suasana hatinya cukup terlihat secara signifikan. Sial, pasti aku sudah terlalu jauh dalam meminta. "Aku belum siap. Bisakah kau bersabar untuk itu?"

"Oke." Gumamku merasa bersalah.

Sementara itu Harry justru memandangku marah, dia menjalankan tangannya ke rambutnya. "Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu. Maafkan aku."

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Ini salahku."

"Tidak, ini salahku. Aku sudah berjanji padamu untuk berubah tapi hingga detik ini aku tetap seorang bajingan yang tempramental."

"Semuanya butuh waktu, ini bahkan belum seminggu. Lagi pula ini memang salahku karena memaksamu, seharusnya aku mengerti jika kau belum siap."

Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama, seolah sibuk dalam pikiran kami masing-masing. Aku tidak bisa berbohong pada diriku sendiri bahwa aku memang ingin tahu mengenai dirinya lebih cepat dan lebih jauh lagi. Aku ingin menyelami pikirannya, hatinya, agar aku tahu aku harus bagaimana. Tetapi aku harus mengerti keadaannya yang sulit. Tidak mudah memang ketika harus menceritakan masa lalu yang kelam.

Lalu tiba-tiba Harry meraih tanganku dan mencium setiap buku-buku jariku dengan lembut. Dia menghirupnya dalam-dalam. "Aku hanya takut jika kau tidak mempercayaiku."

"Aku mempercayaimu, Harry. Sungguh. Lihat aku, apa menurutmu aku berbohong?"

Dia menatap wajahku lekat-lekat—mungkin lebih dari lima detik—kemudian dia menggelengkan kepalanya padaku. Oh, ketidak percayaan dirinya kembali lagi.

"Berhentilah meragukan dirimu. Kau tahu aku percaya padamu tapi kau seakan ingin menyangkalnya."

"Aku tidak ingin menyangkalnya tapi pikiran-pikiran dan suara-suara itu seolah mengacaukanku."

"Kau akan bisa melewatinya."

"Tidak jika keadaanku seperti ini. Aku kacau."

"Begitu pun aku."

"Tidak, kau tidak kacau, Ken. Kau hanya rapuh namun kau selalu berpura-pura kuat itu sebabnya orang akan selalu senang menindasmu."

"Dari mana kau tahu orang-orang akan selalu senang menindasku?"

Harry memutar bola matanya dariku, "Tidakkah kau dulu merasa terintimidasi olehku?"

"Jangankan dulu, sekarang pun masih." Dia mengangkat kedua alisnya secara arogan seakan berkata 'sekarang-kau-mengerti'.

Oke, aku sadar bahwa mungkin aku hampir tidak ada bedanya dengan Harry. Kami sama-sama bersembunyi dalam sebuah kedok. Jika aku gadis lemah namun berpura-pura kuat, maka Harry adalah pria yang mempesona namun di luar dia terlihat gelap dan keras. Namun meski begitu, aku tetap mencintai segala kekurangan dan kelebihannya.

Tak lama, pintu apartemenku terbuka dari luar, Jules muncul dengan membawa kantung plastik di salah satu tangannya. Kemudian aku menoleh ke arah jam dinding. Ini masih jam 10. Mengapa cepat sekali dia pulang? Dan gadis batinku langsung memberengut, sadar kalau Harry pasti akan pamit pulang sekarang.

"Well, aku harus pergi." Benar, bukan? Ini membuatku harus berpikir dua kali untuk segera pindah agar bisa bersamanya terus tanpa diganggu oleh kehadiran Jules. Bukannya aku tidak suka jika ada Jules di rumah ini, tapi ini seakan menaruhku pada dua pilihan. Dan tentu aku ingin memilih Harry.

***

"Jules, telurmu hangus!" teriakku dari arah dapur. Sialan karena Julia Parker kebiasaan meninggalkan masakkannya dengan kompor menyala. Dan sialan wajanku menghitam dan nodanya sulit dibersihkan sekarang. Aku harus menggosoknya dengan susah payah kalau begini.

"Jesus! Kau sudah mematikan kompornya??" Jules datang ke arahku terburu-buru dengan handuk yang menggantung di lehernya. Aku meninggalkannya begitu saja dengan telurnya yang hangus di atas piring. Masa bodoh dengan keteledorannya.

Lalu aku kembali mengurus cucianku yang harus dijemur. Ini terhitung sebagai akhir pekan yang sibuk karena aku masih memiliki banyak materi yang harus dipelajari untuk ujian, belum lagi aku harus membereskan barang-barang milik Will yang rencananya akan kusumbangkan ke panti asuhan.

"Kenya, telurnya habis. Apa kau bisa pergi belanja hari ini?" Jules muncul membawa telur hangus di piringnya ke meja makan. Dari dulu hingga sekarang selalu aku yang pergi membeli kebutuhan memasak kecuali jika dia memang sedang ingin memasak sesuatu yang diinginkannya. Lama-kelamaan ini membuatku geram.

"Jules—" suara ketukan di pintu menghentikanku. Jules langsung bergerak dari kursinya dan berlari antusias.

"Mungkin itu barang pesananku!" katanya, dan dia membukakan pintunya dengan cepat. Ada perubahan mimik wajah yang signifikan setelah dia melihat siapa yang datang. "Well, Kenya, ada tamu untukmu."

Tamu untukku? Pagi-pagi begini? Merasa penasaran, aku menjemur pakaian terakhirku di balkon kemudian berjalan menghampirinya, dan kulihat Harry sudah berdiri di ambang pintu menungguku. "Harry?"

Jules pergi dari hadapan kami untuk kembali melanjutkan sarapannya—sempat dia memutar bola matanya dengan angkuh. Sementara itu Harry justru menolak masuk ke dalam ketika kusuruh. "Jika kau tidak mau masuk lalu ada apa kau kemari?"

"Aku datang untuk menyuruhmu siap-siap."

"Siap-siap?" keningku mengerut cepat.

"Kau akan pergi kencan denganku. Cepat ganti bajumu."

Oh! Kencan pertama! Gadis batinku menganga mengangkat pom-pomnya dan meloncat. "Kencan?"

"Ya, kencan. Cepat, kita tidak memiliki banyak waktu, Ken."

"Memang kita mau kemana?"

"Rahasia. Bisakah kau tidak banyak bertanya dan segera berganti pakaian?" Dalam hati aku memberengut. Bagaimana aku mau mengganti pakaianku jika aku tidak tahu kemana kami akan pergi? Bagaimana jika aku salah kostum nanti?

Namun aku mencoba berpikir rasional. Mungkin Harry hanya akan membawaku jalan-jalan karena ini masih terlalu pagi untuk pergi makan malam atau sekedar menghadiri acara pesta, ditambah lagi Harry juga mengenakan pakaian kasualnya seperti biasa. Aku hanya perlu menyelaraskan penampilanku dengannya.

Bergegas aku pergi menuju kamarku. Kupikir aku tidak membuang banyak waktu karena aku bukan tipe gadis yang senang berdandan, tapi kali ini aku memakai rok—hanya sekedar berjaga-jaga.

"Jules, aku pergi dulu."

"Jangan lupa pergi berbelanja, Kenya."

Aku mengangkat alisku sebagai jawaban padanya, kemudian kami pergi dan meninggalkan bangunan apartemen. Dalam hati aku merasa sangat teramat antusias. Apa ini semacam kejutan yang Harry persiapkan untukku? Tapi kemungkinannya kecil. Harry bukan tipe pria semacam itu. Atau mungkin kami pergi ke tempat publik yang ramai? Tapi itu juga terdengar mustahil.

Selama di dalam mobil aku mencoba menebak-nebak tempat tujuannya, namun aku gagal. Tak satu pun tempat yang terlintas di pikiranku. Artian 'kencan' di dalam kamusku pasti berbeda dengan artian 'kencan' di dalam kamusnya. Aku lebih memikirkan bar atau night club yang mungkin biasa dia datangi, tapi ini masih terlalu pagi untuk tempat-tempat semacam itu.

Otomatis aku menjadi tidak sabaran sekarang. Aku duduk tidak tenang di kursi penumpang, berkali-kali melipat tanganku di dada kemudian meremas lututku dan melipatnya lagi. Aku ingin bertanya padanya tapi dia pasti akan marah.

Ah, sudahlah masa bodoh!

"Jadi kita akan kemana?"

Harry memalingkan wajahnya padaku dengan tatapan yang tajam. Aku mengerti ini rahasia, tapi karena itulah aku menjadi semakin ingin tahu. "Apa kau sudah membicarakan niatanmu untuk pindah pada Jules?"

Oh, pengalih topik pembicaraan yang bagus. "Belum."

"Kapan kau akan melakukannya?"

"Sampai kau memberitahuku apa yang telah kau rencanakan dengan rumah itu. Kau seperti menelan ludahmu sendiri, Harry."

Dia tergelak remeh memandangi jalanan. "Aku tahu, oleh karena itu aku akan membelinya dari Christian."

"Membelinya? Kau serius? Harga sebuah apartemen saja sudah mahal apalagi sebuah rumah."

"Kau tidak perlu khawatir. Rumah itu sangat kecil—benar-benar kecil—dan murah. Hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi pribadi, satu kamar mandi di luar dan sebuah dapur—juga garasi untuk menyimpan motor-motorku. Aku akan menyicilnya."

"Kalau begitu aku juga akan membantumu."

Dia mengerutkan kening padaku, "Apa maksudmu?"

"Aku akan mencari pekerjaan baru untuk membantumu menyicil rumah itu."

"Ken, kau tidak perlu melakukan itu."

"Tapi, Harry—"

"Kubilang tidak." Katanya nyaris menyentak. "Kau tidak perlu repot-repot ikut membayarnya. Rumah itu akan menjadi milikku jadi aku yang mengurusi seluruh biayanya. Kau hanya perlu ikut tinggal denganku. Itu saja."

"Oke, tapi aku tetap akan mencari pekerjaan baru."

Harry melirikku lagi, terlihat kurang setuju dengan ideku. "Untuk apa?"

Untuk membayar hutang-hutangku. Aku bahkan masih harus membayar uang rumah sakit Will yang Christian bayarkan. "Hanya untuk berjaga-jaga, aku memiliki kebutuhanku sendiri. Well, jadi kita akan kemana?"

"Kau lihat saja, sebentar lagi kita sampai."

Aku pun berpaling ke arah jendela, memandangi bangunan-bangunan besar tinggi menjulang ketika kami sampai di daerah Brooklyn. Rasa penasaran pun kembali menyerangku. Aku merasakan sekujur tubuhku bergidik antusias, mirip seperti sebuah adrenalin. Sekitar 20 menit berlangsung, akhirnya aku tahu kemana Harry membawaku. Sebuah tempat yang dikunjungi banyak orang, penuh dengan berbagai macam permainan, toko-toko kecil yang menjual balon dan aksesoris, juga tiang-tiang menjulang tinggi dengan lampu kerlap-kerlip. Astaga. Kuharap dia tidak bercanda. Ini jelas-jelas tempat yang ingin aku kunjungi semenjak aku masih berada di Wisconsin.

"Taman rekreasi? Kau serius?" aku menoleh cepat padanya lalu memandangi lagi tulisan Coney Island yang terpampang besar. Mulutku menganga lebar.

"Awalnya aku juga tidak berpikiran untuk membawamu ke tempat membosankan seperti ini. Tapi aku ingat kau berasal dari desa, jadi..." sebelah aslinya terangkat ke atas.

Aku menahan diriku untuk tidak tertawa—antara senang dengan kejutannya juga kesal dengan sindirannya yang tidak bisa ku elakkan. Oke, masa bodoh. Yang penting aku ingin cepat-cepat masuk ke sana dan mencoba berbagai wahana bersamanya.

Sesaat setelah Harry selesai memarkirkan mobilnya, aku segera turun dari mobil—bahkan aku tidak membiarkan Harry membukakan pintu untukku. Aku terlalu bersemangat. Sampai-sampai aku merasakan pembuluh darahku yang seolah bernyanyi dan sekujur tubuhku bergetar kegirangan. Aku seperti anak kecil yang baru pertama kali di bawa ke tempat semacam ini, tapi ini memang kali pertamaku. Maka dari itu aku tidak marah jika Harry menyebutku kampungan atau semacamnya. Terserah dia mau memanggilku apa.

Aku melihat ke sekeliling dengan penuh takjub, meloncat-loncat kecil dan berlari. Menyapukan seluruh pandanganku hingga aku menemukan wahana mana yang ingin kunaiki pertama. Di Wisconsin tidak ada taman rekreasi sebesar ini, jadi kurasa perilaku ku sekarang cukup wajar, toh aku sudah berhasil menahan diri untuk tidak berteriak.

"Kau mau naik rollercoaster bersamaku?" aku memalingkan wajah ke arah Harry yang tertinggal di belakang.

Dia menggeleng, "Tidak."

"Bagaimana kalau komedi putar?"

"Tidak." Oke, mungkin itu ide yang sangat buruk.

"Giant swing?"

"Tidak, Ken. Aku membawamu kemari hanya untuk menemanimu, melihat dirimu bersenang-senang. Aku tidak akan naik satu pun wahana bodoh disini."

Wajahku langsung memberengut kecewa. Mengapa harus seperti itu? "Tapi kukira—"

"Kau tidak perlu khawatir, aku akan menunggumu hingga kau puas bermain. Pergilah."

"Jadi kau hanya akan mengawasiku bermain seperti anak 10 tahun? Harry, ini namanya bukan—"

"Ken, jika kau ingin ini berhasil maka turuti omonganku." Oh, si-brengsek-yang-gila-kontrol telah kembali, dia bahkan terus memotong perkataanku. Dia menatapku keras dan itu membuatku sulit berpikir atau untuk sekedar menolak ucapannya.

"Kukira kita kemari untuk bersenang-senang."

"Tidak, kita kemari untuk melihatmu bersenang-senang. Aku akan menunggumu disini, sekarang pergilah. Kau bebas menaiki wahana apapun, aku akan menonton."

"Hanya menonton?" apakah tidak aneh jadinya?

"Menonton perilakumu yang seperti bocah juga sudah membuatku terhibur, Ken. Kau tidak perlu cemas."

Aku memutar-mutar mulutku, mengabaikan kekecewaan yang menusuk ketika dia menyuruhku bersenang-senang seorang diri, aku bahkan mengabaikan sindirannya yang mengataiku bocah. Ini namanya bukan kencan. Dalam hati aku mendesah berat. Sudah kuduga bahwa arti kata 'normal' kami memang berbeda. "Oke kalau begitu."

Lantas dengan langkah yang agak gontai aku pergi menaiki komedi putar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Harry menunggu. Dia duduk di dekat sebuah truk penjual es krim sementara aku duduk tanpa memasang ekspresi apapun selama berada di atas wahana yang bisa dibilang terlalu 'menggemaskan' untuk gadis seusiaku. Dilanjut lagi dengan rollercoaster dan giant swing, aku tidak lagi merasakan keantusiasan yang sama seperti saat kami baru tiba disini. Maksudku, ini memang menakjubkan tetapi serasa ada yang ganjil dan tidak lengkap karena ini tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Aku memiliki ekspektasi lebih ketika kami baru tiba disini.

Aku mencoba bersenang-senang tapi tetap tidak bisa jika harus melihat Harry diam di tempatnya hanya dengan menyaksikanku. Astaga, apa yang menyenangkan dari ini?  Aku merasa kesepian dan ini tidak ada bedanya dengan pergi bermain seorang diri. Harry hanya menungguku di dekat wahana yang kunaiki sedari tadi. Dia bahkan tidak mau mencicipi makanan yang kubeli hanya agar kami bisa lebih terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang pergi berkencan.

"Aku mau gula-gula kapas." Kataku datar ketika melihat ada sebuah toko yang menjual bermacam-macam warna gula-gula kapas. Harry langsung menemaniku untuk membelinya. Berkali-kali aku membujuknya, dia masih berkata 'tidak' setiap kali aku mengajaknya menaiki salah satu wahana. "Mengapa kau tidak mau naik? Beri aku satu alasan yang jelas agar tidak perlu mengajakmu lagi." Aku menyuapkan gula-gula kapas ke dalam mulutku besar-besar. Rasanya luar biasa lembut.

"Ini hanya untuk anak-anak, Ken."

"Tidak, itu tidak benar. Kau tidak melihat ada banyak orang dewasa yang juga datang kemari dan bersenang-senang?"

"Maksudku orang yang kekanak-kanakkan."

"Jadi menurutmu aku kekanak-kanakkan?"

Harry menatapku berhati-hati. "Ya. Terkadang."

"Fine. Aku tidak akan mengajakmu naik bianglala kalau begitu."

Melebarkan langkahku, aku pergi menuju wahana selanjutnya, membiarkan Harry tertinggal di belakang dan aku mengantri di antrian bianglala. Disini di wajibkan dua orang yang naik, jadi aku tidak bisa sendiri, sedari tadi petugasnya berkoar-koar memperingatkan. Sementara semua orang di depanku mengantri berpasangan, aku justru tidak tahu harus naik dengan siapa. Seandainya Harry tidak cukup keras kepala untuk sekali ini saja.

"Kau hanya sendiri, nona?" seorang pria di belakangku bertanya. Aku mengangguk dan tersenyum simpul padanya. Dia memiliki rambut hitam kecoklatan sepertiku. "Aku juga sendirian. Bagaimana kalau kita naik bersama?"

Astaga, dia menawariku naik bianglala bersamanya. Aku harus menjawab apa? Aku lebih memilih jika petugasnya yang memilihkanku untuk naik dengan siapa ketimbang harus menerima tawaran seperti ini.

"Dia bersamaku." Tiba-tiba Harry muncul dari balik punggung pria yang menawariku. Wajahnya kaku dan mulutnya menekan menjadi garis keras. Oh, aku tahu apa penyebabnya.

"Well, maaf. Dia berkata dia sendirian jadi kupikir—"

"Kubilang dia bersamaku." Harry menaikkan nada suaranya kali ini, dan dalam hati aku merasa was-was. Pria itu langsung mundur satu langkah dari kami. Aku menatap Harry kalut.

"Kukira kau tidak mau naik wahana apapun."

"Sekali ini saja mungkin tidak ada salahnya." Suara lembutnya menakutkan. Dan aku menelan ludah karena puas sekaligus cemas. Ini bisa saja pertanda buruk, bisa juga tidak.

Tak lama, kami naik dan duduk berdempetan sebelum akhirnya bianglalanya berjalan. Aku masih memakan gula-gula kapasku, dan aku mencoba untuk berbagi dengannya tapi dia tetap tidak mau. Untuk beberapa alasan aku berpikir bahwa ini hanya salah satu bentuk kegengsiannya sehingga dia menolak, jadi aku terus dan terus menawarinya.

"Sekali ini saja mencicipi tidak ada salahnya, bukan?" kataku sedikit mengkopi kata-katanya barusan, dan akhirnya dia mau mendengarkan. Harry sempat memutar bola matanya sebelum membuka mulutnya lebar-lebar, membiarkanku memasukkan secubit gula-gula kapas ke dalam mulutnya. Semoga dia tidak menyesal membawaku kemari karena aku bersikap memaksa padanya sedari tadi.

"Kau suka?"

"Tidak."

"Kau bohong."

"Tidak."

"Lihat? Kau bohong lagi. Ayo buka lagi mulutmu."

Ada kedutan di salah satu sudut bibirnya yang sempat kutangkap, lalu dia membuka mulutnya lagi. Kubilang juga apa, dia hanya gengsi. Jika dihitung-hitung berapa banyak masalah yang Harry alami dengan dirinya sendiri, mungkin kesepuluh jari tanganku tidak akan cukup. Pertama dia bajingan, pemarah, brengsek, gila kontrol, senang menyangkal, memiliki masalah dengan kepercaya dirian, gengsi, mesum bahkan sedikit cabul, senang mengintimidasi orang, keras kepala, seenaknya sendiri, dan masih banyak lagi. Namun bagaimana pun juga dia telah berhasil merebut hatiku. Dia satu-satunya orang yang membuatku rela melakukan apapun hanya untuk bisa bersamanya. Dia yang membuatku merasakan getaran-getaran dan sensasi aneh sekaligus menyenangkan yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Aku senang dengan segala bentuk perhatiannya meski terkadang sedikit berlebihan, dan oleh karena itulah aku merasa aman dan nyaman bersamanya. Ya Tuhan, aku benar-benar mencintai pria ini.

"Kau sedang berpikir apa?" dengan cepat Harry memecahkan lamunanku.

"Kau." Dia menatapku bingung, bibirnya sedikit terbuka. "Aku berpikir tentang betapa tergila-gilanya aku padamu. Dengan segala sifatmu yang menyebalkan itu aku masih bisa jatuh cinta padamu. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah... kau juga mencintaiku." Tiba-tiba kurasakan bianglalanya berhenti. Kami berada di posisi paling atas dan Harry masih menatapku penuh arti. Aku tersenyum padanya, berusaha menyampaikan betapa beruntungnya aku dicintai olehnya. Lalu secara spontan, cepat, dan lantang kami berciuman—sangat dalam dan penuh gairah—seakan-akan ada gaya tarik menarik antara dua kutub magnet yang berbeda. Aku mencengkram dan menarik kerah kemejanya ke arahku. Melumat bibir dan lidahnya yang begitu adiktif.

Dia mengerang rendah di tenggorokannya. "Kita harus turun."

Aku terkekeh seraya menempelkan keningku di keningnya, menyentuh bibirnya dengan jari-jariku.

Kami lanjut bermain tembak kaleng setelah turun dari bianglala. Harry bersedia membantuku karena aku sangat payah dalam memainkannya. Dia berhasil menembak dengan sempurna, aku bahkan salut dengan kemampuannya yang lagi-lagi baru kuketahui sekarang. Dalam hati aku berpikir apakah ada kemampuan lain lagi yang dimilikinya selain golf dan menembak?

"Itu hanya keberuntungan." Katanya ketika aku baru saja mau bertanya. Aku mendapatkan boneka beruang coklat berukuran sedang dari permainan ini, dan dengan antusias aku menerimanya.

"Terimakasih." Gumamku pada Harry.

Setelah itu kami kembali berjalan memutari area. Semakin sore tempat ini semakin ramai dikunjungi, mungkin karena hari ini akhir pekan. Lalu tiba-tiba aku menemukan sebuah tempat photo-booth di samping toko mainan, dan sebuah ide pun terlintas, aku berpikiran untuk menyeret Harry kesana. "Aku ingin foto bersamamu."

"Apa?" keningnya mengerut dengan begitu cepat. Lagi-lagi dia tidak menyukai ideku.

"Itu. Disana." Aku menunjuk dengan daguku ke arah photo-booth yang tidak terlalu ramai antriannya. Kebanyakan adalah pasangan-pasangan remaja yang masuk kesana.

"Tidak, tidak. Ken, ini sudah berlebihan."

"Apanya yang berlebihan? Harry, kau bahkan baru menaiki satu wahana bersamaku. Hitung sudah berapa banyak yang kau tolak."

"Satu wahana? Kau yakin? Lalu dari mana kau mendapatkan boneka jelek itu?"

"Harry, bisakah kau tidak bersikap seperti itu? Itu bahkan tidak terhitung sebagai wahana. Kita hanya akan mengambil beberapa foto, apa yang salah dari itu?"

Dia mendesah dan menjalankan tangannya ke rambutnya. Dia terlihat menyerah kemudian menatapku. "Oke. Namun sekali ini saja. Setelah itu jangan paksa aku untuk berfoto lagi."

"Fine." Gadis batinku menyeringai puas, mengipas-ngipaskan dirinya sendiri di atas kursi besarnya bak seorang Ratu. Aku menarik Harry ke antrian yang sudah semakin berkurang. Tidak lebih dari lima belas menit kami pun masuk ke dalam booth. Aku bersikeras untuk membuat Harry tersenyum karena ini adalah sebuah kesempatan langka, dan dia melakukannya dengan sangat buruk di awal. Tapi kami berhasil mendapatkan foto yang bagus. Aku cukup puas dengan hasilnya.

"Lihat, tidak buruk, bukan?"

Harry mengintip dari balik bulu matanya. Dia menggidikkan bahu padaku. "Kau mau naik apa lagi sekarang?"

"Umm, aku ingin es loli dan setelah itu kita pulang."

***

Aku dan Harry duduk di kursi taman sambil menungguku menghabiskan es loli yang kubeli. Ini sangat cocok dimakan karena New York sangat panas hari ini, sampai-sampai esnya meleleh duluan dan mengotori tanganku. Di sebelahku, Harry justru memperhatikanku menjilati dan mengemut es-nya dengan serius. Apa yang sekiranya sedang dia pikirkan?

"Apa penisku rasanya lebih baik ketimbang es tolol itu?"

Brengsek! Aku tersedak mendengar pertanyaannya. Aku memukul-mukul dadaku sendiri. "Harry!" Mataku melototinya. Semoga tidak satu pun dari orang-orang yang berlalu lalang disini mendengar omongannya yang tidak tahu tempat. Lagi, mengapa dia membanding-bandingkan penisnya dengan sebatang es loli?!

"Aku tahu. Tidakkah 'es loliku' lebih memuaskan bagimu?" dia menyeringai lebar menahan gelak tawanya, terlihat begitu puas setelah berhasil menggodaku. Dia membawa sebelah tangannya ke belakang pundakku dan menyenderkan punggungnya dengan santai. Sial. Lelucon mesumnya membuatku kalang kabut. Dia ini sedang bergairah atau apa? Dan sialnya, membayangkan aku menjilati dan mengemut ereksinya seperti sebatang es loli membuatku merapatkan kedua pahaku. Aku tahu apa yang sedang dia coba katakan.

"Harry, ini tempat umum." Bisikku.

"Kalau begitu cepat habiskan es-mu dan kita pulang."

"Aku masih ingin duduk disini lebih lama lagi."

Dia memutar bola matanya dengan kesal, sedikit mendecih karena tidak sabaran. Apa dia sudah mengeras sekarang? Secepat itu? Hanya dengan melihatku memakan es loli? Ya ampun, apa yang kau pikirkan, Kenya! Berhenti berpikiran mesum sepertinya! Dan berhenti berpikir seolah-olah seks adalah kewajiban yang harus kalian lakukan setiap hari! Alam bawah sadarku berteriak mengingatkan. Namun bagaimana aku tidak berpikiran kotor pada ucapan Harry yang terkesan gila?

Sontak aku langsung menampar diriku ke bawah, aku membuang stick es loliku ke tempat sampah dan bangkit berdiri disusul oleh Harry. "Kita pulang?"

Aku mengangguk padanya dan kami melesat menuju lapangan parkir. Aku menurunkan rokku ketika duduk, dan melempar boneka beruang yang kudapatkan ke kursi belakang—hanya sekedar untuk berjaga-jaga. Mungkin dia akan menyerangku sekarang. Disini.

"Kau sudah puas hari ini?" tanyanya dan aku mengangguk sambil menggigit bibir bawahku. Tapi dengan bingung aku memperhatikan Harry yang memasukkan kunci mobilnya ke kontak, dia sama sekali tidak berusaha menyentuhku. Celaka. Apa sedari tadi memang aku saja disini yang ingin cepat-cepat bersenggama dengannya? Apa aku terlalu percaya diri?

Tiba-tiba Harry mendelikkan matanya padaku. Cepat-cepat aku membuang muka karena malu. Sial. Tidak bisa ku elakkan bahwa pikiran mesumku itu masih menempel di otakku hingga sekarang. Akulah yang kali ini cabul!

"Mengapa kau membuang muka dariku seperti itu?"

Sialan, aku harus menjawab apa? Berkata kalau aku ingin 'es lolinya'? Astaga, Kenya! Hentikan! "Tidak ada apa-apa."

"Apa aku berbuat salah hari ini?"

Tidak! Tidak! Bukan itu! "Harry, bisa kita pulang sekarang?" aku menggeliat di kursiku, masih menolak untuk melihat ke arahnya.

Lalu secara mengejutkan aku merasakan tangannya yang memutar wajahku, membuatku menatapnya begitu dekat. Sontak mataku melirik ke bawah, berusaha menghindari kontak mata dengannya—tapi oh, sialan, sekarang bibirnya yang justru membuatku gila! Menyebabkan kedua pahaku merapat begitu cepat, telapak tanganku berkeringat, dan jantungku berdetak kuat.

"Katakan ada apa?" desaknya lembut, dan aku menyerah pada pertahananku sendiri. Aku langsung mencium bibirnya dalam-dalam. Aku juga tidak peduli dengan isi pikirannya, yang jelas aku menginginkannya sekarang juga. Disini. Salahkan kata-kata kotornya yang membuatku hilang kendali!

Aku mengerang di antara ciuman kami. Aku membawa kedua tanganku untuk menangkupkan wajahnya dan kedua kakiku terlipat naik ke kursi. Harry ikut mengerang ketika aku menjalankan tanganku ke bawah, meremas ereksinya yang sudah mengeras. Dengan mudahnya, aku menurunkan resleting celana jeans-nya dan menarik ereksinya keluar dari dalam boxernya. Aku membungkuk membawa kepalaku ke bawah dan memasukkan ereksinya ke dalam mulutku dengan cepat.

Dia mengerang kencang. "Fuck, Ken!" suara erangannya terputus-putus seolah tersiksa, dan aku terus menggerakkan kepalaku ke atas dan ke bawah. "Kenya, hentikan. Aku tidak mau keluar di mulutmu. Ken!" dia berteriak memperingatkan, mencengkram rambutku dan mencoba untuk menarik kepalaku. Kontan aku berhenti dan menatapnya kalap. Dia menarik napas dalam-dalam dengan mata yang tertutup rapat. Apa yang salah?

 "Harry?"

"Sialan." Umpatnya. "Persetan dengan es lolimu. Kita lanjutkan nanti."

Aku berpikir sejenak pada perkataannya. Apa hubungannya dengan es loli yang kumakan tadi? Harry mengerang tidak karuan seakan tersiksa. Apa mulutku terlalu dingin? Ya! Kurasa aku mengerti sekarang. Mulutku terlalu dingin di ereksinya. Dalam hati aku pun mendesah lega. Kekhawatiranku terlepas dalam sesaat, kukira aku telah melakukan kesalahan karena sudah lama tidak memberikan blow job pada seseorang.

Kemudian kuperhatikan Harry menarik boxer dan jeans-nya lagi, mencoba untuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Aku menyaksikannya selama itu berlangsung.

"Fuck." Desisnya dan dia menaruh kepalanya di setir, terlihat frustasi.

"Harry, a-apa ada yang salah?"

Dia menggeleng, masih menempelkan keningnya di setir. "Tidak. Aku hanya tidak bisa menyetir dengan keadaan seperti ini. Kita harus menunggu." Dia mengerang marah, mencengkram kedua lututnya dan menarik napasnya sekali lagi, kali ini lebih dalam dan lebih pelan.

Wow. Aku tidak tahu jika efek yang kutimbulkan bisa sampai seperti ini. Dia kesulitan mengontrol ereksinya agar turun. Sial, gadis batinku melakukan salto karena puas.

TO BE CONTINUED!

Ahahahah ++300 VOTES till the next chapter! Pretty please leave your COMMENT! Btw, I'm writing Niall Horan fanfic: POOR PRINCE, if you don't mind, please check it out in my work list! :)

Continue Reading

You'll Also Like

1M 28.9K 18
🔞Warning, mature content! Ethan Jackson dan Barbara Winsley adalah pasangan kekasih. Mereka sering bertengkar, memaki, dan melempar barang tapi mere...
1.9M 39.4K 21
-My second story on wattpad- ( Cinta Tanpa Kepastian ) Sebuah pertemuan tak sengaja mempertemukan Avi Sena dengan Athaya Abraham yang membawa mere...
79.2K 9K 41
Terkenal akan pesonanya yang mampu meluluhkan hati para gadis dari berbagai kalangan, siapa sangka, seorang Harry Styles malah terjerat pesona gadis...
727K 34.7K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...