CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 44

136K 3.9K 640
By sfdlovato

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Aku mencoba untuk berpikir rasional, menghubungkan semua ucapan mereka yang sempat aku tangkap. Seorang gadis, Liam, dan waktu. Oh, sial. Bagaimana jika ternyata yang mereka bicarakan adalah soal proyek sex-tape yang sedang Liam kerjakan? Brengsek. Tapi bukankah Harry berkata padaku bahwa dia sudah tidak lagi bekerja padanya? Jadi mengapa dia harus membahasnya seolah-olah ini adalah bagian dari pekerjaannya? Sialan. Aku ingin merengut padanya, menasihatinya untuk jangan terlibat pada hal-hal yang akan menjerumuskannya, tapi aku ingin mencoba untuk mencari tahu lebih jauh dulu mengenai ini. Kuharap aku salah. "Bisnis apa?"

Harry menatapku dalam-dalam. "Mencari gadis untuk adu balap Sabtu ini."

Gadis untuk adu balap?

"Maksudmu kau sedang mencari seorang jalang untuk dijadikan persembahan hadiah?"

Dia mengerutkan keningnya, "Bukan aku yang mencari. Tyler menyerahkan tugas itu pada Carl sejak dia ditahan. Liam memiliki banyak stok gadis yang bisa dia jadikan sasaran, tapi dia tidak mau memberikannya. Carl meminta tolong padaku untuk membujuk bajingan itu agar membantunya tapi aku tidak yakin."

Oh.

Gadis batinku langsung mendesah lega. Bersyukur ini bukan seperti yang aku pikirkan. Dan sialan, aku sudah berpikir buruk terlebih dahulu padanya. "Jadi kau akan membantunya?"

"Tidak, tentu tidak. Aku hanya menyampaikan pesan untuknya."

"Lalu dimana adu balapnya akan berlangsung sabtu ini?"

"Kami masih belum tahu. Tyler merahasiakan tempatnya, mungkin Jum'at nanti dia baru akan memberitahu. Ken, apa kau pernah mencoba mengendarai motor?"

Apa? Mengendarai motor? Aku? Sontak aku langsung teringat pada film Transformers yang pernah kutonton. Aku ingat bagaimana pemeran utama wanitanya bisa mengendarai sebuah motor besar. Dia terlihat sangat seksi disitu, tapi aku bukan tipe gadis seperti itu. Seseorang sepertiku akan terlihat konyol dengan motor. Jadi aku menggeleng kepalaku padanya. "Tidak. Aku tidak pernah memiliki ketertarikan terhadap motor."

"Padahal aku berniat akan memberikan salah satu motorku untukmu."

Astaga. Dia pasti tidak serius. "Kau bercanda."

Dia tergelak, "Tentu aku bercanda. Apa kau bisa mengendarai mobil?"

"Aku sudah lulus menyetir saat masih di Wisconsin." Sekarang aku heran, mengapa Harry jadi banyak bertanya padaku.

"Bagus. Jadi aku bisa meninggalkan mobilku untuk kau pakai sewaktu-waktu."

"Apa maksudmu meninggalkan mobilmu untukku?"

"Aku tidak mau kau berpergian dengan kendaraan umum, sangat tidak aman. Akan lebih membuatku tenang jika kau berkendara sendiri."

Aku memutar bola mataku padanya, "Itu tidak perlu. Aku lebih senang naik bus saat ke kampus. Lagi pula bukankah mobil itu pemberian Christian? Mana mungkin aku memakainya."

"Ken, mobil ini sudah menjadi milikku sepenuhnya, ini tidak ada sangkut pautnya dengan pria tua itu."

Oh, gila kontrolnya muncul lagi. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia sampai berbuat sejauh ini. Dan lagi sekarang dia memanggil Christian dengan sebutan pria tua. Dimana rasa hormatnya?

"Harry, kumohon tunjukkan sedikit rasa hormatmu pada Christian. Bagaimana pun juga dia ayahmu."

Dia tergelak remeh, berjalan keluar garasi dan aku mengikuti di belakangnya. Sementara aku mendengar suara bising di belakangku saat Carl mulai kembali bekerja. "Berhenti menyebutnya sebagai ayahku. Yang dia inginkan sejak dulu adalah pelacur itu, dia tidak pernah menganggapku."

Astaga. Gadis batinku berseru marah padanya, lengannya disilangkan, melotot lebar seakan matanya hampir meloncat keluar. "Jika dia tidak menganggapmu, dia tidak akan memberikan ini semua padamu, Harry."

"Dia melakukan itu untuk membuat Sarah bahagia! Kukira kau sudah tahu itu, Ken." Dia mendengus kesal, kemudian memutar tubuh ke arahku, dan aku melihat rahangnya yang mengeras.

Aku melipat kedua tanganku di dada, "Asal kau tahu, setiap kali kau menyebut kata 'pelacur' aku selalu tersinggung."

"Mengapa kau harus? Kau sudah bukan seorang pelacur lagi sekarang."

"Begitu pun dengan ibumu. Dan kuharap kau mengerti apa maksudku, Harry. Ucapanmu bisa saja menyakitinya. Sangat menyakitinya. Kau seharusnya bersyukur masih memiliki orang tua yang peduli padamu, kau harus sadar bahwa di luar sana ada orang-orang yang bersedih karena tidak memiliki orang tua lagi atau bahkan ditinggalkan."

"Seperti kau, maksudmu? Apa kau ingin mengeluh padaku?"

"Ya—tidak, maksudku ya aku bersedih! Tapi aku tidak akan mengeluh padamu. Ayahku memang meninggalkanku dan entah kemana dia pergi, tetapi—"

"Tunggu. Ayahmu masih hidup?" tiba-tiba keningnya mengerut, keheranan.

"Ya, memang. Apa aku pernah mengatakan kalau dia sudah mati?"

Harry langsung menjalankan tangannya ke rambutnya. Tatapannya mengeras. Dia melangkah mundur satu kali kemudian mulutnya terbuka sedikit ke arahku. Oh, sialan. Apa dia berpikir bahwa aku seorang yatim piatu?

"Kau tidak mengatakan ini padaku sebelumnya." Gerutunya, jelas masih kesal dengan ironiku. Dia berdecak pinggang di hadapanku sekarang.

"Kau—kau tidak pernah bertanya."

Dia diam sebentar. Wajahnya tanpa ekspresi, namun dia bernapas cepat, dan aku tahu dia menahan amarahnya. "Apa kau akan menceritakannya?"

"Ya. Kurasa."

Dan disitu Harry menatapku penuh harap, menungguku untuk berbicara.

"Well, ayahku... dia mengalami depresi berat semenjak ibuku meninggal dunia. Dia menjadi pecandu alkohol, sering mencari keributan, berkali-kali keluar masuk tahanan, dan satu tahun kemudian dia pergi meninggalkanku beserta Will di rumah Debbie. Dia melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua tunggal dan hingga sekarang dia belum kembali. Aku dan Debbie pernah berusaha mencarinya, kami melapor pada polisi tapi tidak pernah ada kabar. Jadi kupikir dia memang tidak ingin ditemukan. Jika dia membutuhkan kami, dia akan pulang dengan sendirinya."

Harry menjalankan tangannya ke rambutnya lagi, memancarkan frustasi karena menahan dirinya untuk tidak meledak-ledak. "Dia seorang keparat. Ayahmu seorang keparat, mengapa pula kau harus membuang waktumu untuk mencarinya?"

"Aku bukan membuang waktuku, aku hanya tidak bisa membiarkannya seorang diri diluar sana tanpa memiliki apa-apa termasuk tempat tinggal. Siapa yang akan mengurusnya? Dan bagaimana jika dia membuat keributan lain atau bahkan menyakiti seseorang? Hanya aku yang bisa menghentikannya."

"Dia bahkan tidak peduli padamu, Ken! Jelas mencarinya hanya akan membuang waktu dan menghabiskan tenagamu! Orang seperti dirinya tidak akan berubah, kau harus pecaya padaku."

"Oh, ya?" aku memicingkan mataku padanya. "Harry, sejujurnya rasa sok tahumu yang aneh telah melewati batas. Kau bahkan tidak mengenalnya, kau tidak berhak menghakiminya seperti itu!"

"Aku tidak menghakiminya! Aku mengatakan itu karena aku tahu jelas bagaimana kehidupan para keparat semacam mereka! Selamanya mereka akan seperti itu."

Ya ampun. Aku menahan diri untuk tidak membalas ucapannya dan lebih memilih untuk mengalah. Dia sungguh menjengkelkan! Bahkan ini baru satu hari kami bersama dan kami sudah ribut lagi. Aku mengernyit kesal ke arahnya.

"Harry." Carl memanggilnya. Harry tidak merespon. Dia memanggil lagi, dan Harry masih tidak merespon. Pria gila kontrol di hadapanku ini terlalu keras kepala. Dia bahkan tidak melepas tatapan kerasnya terhadapku.

"Harry, dia memanggilmu."

Dia memejamkan matanya sejenak, kemudian berjalan melewatiku menuju Carl yang masih mengutak-atik motornya. Aku menunggu mereka hingga selesai. Lagi-lagi mereka seperti berdebat namun kali ini Harry kelihatan jengkel dan marah. Astaga, aku jadi merasa tidak enak pada Carl. Harry yang marah terhadapku tapi dia melampiaskan kekesalannya pada Carl.

"Kita pergi." ujarnya ketus sambil berjalan lagi ke arahku. Dia merogoh saku celananya dan menekan alarm mobilnya sebelum bergerak membuka pintu lalu masuk.

Perubahan suasana hatinya benar-benar telah berubah 180 derajat sekarang. Lantas aku ikut naik ke mobilnya. Harry memasang tampang yang sama terus menerus sepanjang perjalanan pulang. Aku bahkan tidak berani mengajaknya berbicara.

"Kau mau mampir?" tanyaku, sesaat setelah kami sampai di depan apartemen.

"Tidak."

"Mengapa? Kita bisa menonton film bersama setelah ini." Gadis batinku berlutut dan berdoa, berharap agar dia tidak menolak. Aku masih ingin bersamanya.

Dia tercenung disitu. Mungkin masih menimbang-nimbang. Kemudian dia melirikku dari kaca spion depan, aku menatapnya dengan permohonan yang persuasif. Tak lama, dia bergerak mematikan mesin mobilnya dan membuka pintu mobil untuk turun.

Ah! Gadis batinku menari girang dengan pom-pomnya begitu itu terjadi. Aku ikut turun bersamanya, berjalan ke dalam apartemen dan dalam hati aku berniat untuk memperbaiki kesenjangan di antara kami tadi.

Dan secara kebetulan, Jules tidak ada di tempat ketika kami tiba. Otomatis Harry tidak akan merasa terganggu jika begini. Dia duduk bersender di sofa, memperhatikanku yang sedang menyetel film di DVD Player di hadapannya. Aku memilih The Notebook. Entah mengapa aku sangat menyukai film ini dan tidak pernah bosan menontonnya. Dan aku berharap Harry tidak akan banyak berkomentar buruk selama kami menonton.

"Film macam apa ini?"

"Drama romantis. Kau pasti tidak pernah menonton film semacam ini sebelumnya." Aku melirik padanya dan dia menaikkan sebelah alisnya. "Aku jamin kau akan menyukainya."

"Bagaimana kalau aku tidak?"

"Kau pasti akan menyukainya."

Dengan enggan, Harry berhenti berkomentar dan mulai mencoba mengikuti alur ceritanya dengan sabar. Pada awalnya dia memang terlihat seperti tidak menikmatinya, banyak adegan-adegan yang menurutnya membosankan, namun begitu drama yang sebenarnya dimulai barulah dia sesekali tersenyum ironi atau bahkan menggunjing kebodohan Allie.

"Pria kaya yang memiliki segalanya akan selalu menang."

"Tidak, tidak selamanya seperti itu. Kau harus menontonnya hingga selesai."

Dia mendengus kesal tidak sabaran. Berulang kali dia melipat kakinya secara bergantian atau sesekali menengadahkan kepalanya menatap langit-langit agar tidak perlu menontonnya. Oh, Harry, kau harus melihat dulu bagaimana Allie datang kembali pada Noah. "Gadis ini murahan, begitu pun dengan ibunya yang seorang jalang. Aku bisa memastikan pada akhirnya dia akan bingung memilih siapa."

"Dan menurutmu siapa?"

"Noah. Karena sudah jelas laki-laki tua itu sedang menceritakan kisah mereka kembali pada istrinya yang sakit. Ayolah, Ken. Cerita cinta seperti ini tidak realistis. Di kehidupan nyata para jalang akan selalu memilih laki-laki yang memiliki segalanya! Tidak ada yang seperti ini!"

"Kau salah."

"Kenyataan yang membuktikan, Ken. Gadis baik akan memilih pria bejat, dan gadis jalang akan selalu memilih pria kaya raya."

"Kalau begitu kau harus menonton The Vow. Itu kisah nyata dan persepsimu pasti akan berubah mengenai seluruh teorimu yang tidak masuk akal dan sok tahu." Aku cemberut padanya dan dia tertawa. Oh, apanya yang lucu?

"Apa kau sudah membaca The Great Gatsby?" tanyanya, seolah menantangku. Dan tentu saja aku sudah pernah membaca novel klasik itu. Kisah mengenai seorang mantan militer bernama Gatsby yang dengan terpaksa meninggalkan kekasihnya dan begitu dia kembali dari tugasnya ternyata gadis itu telah menikah dengan seorang pengusaha kaya. Kuakui itu salah satu cerita yang memiliki akhir yang tragis.

"Ya, aku sudah membacanya."

"Itu drama romansa paling realistis yang pernah aku baca."

"Well, terserah padamu, tapi tidak semua kisah cinta selalu berakhir tragis."

"Dan tidak banyak juga yang selalu berakhir bahagia." timpalnya, dan aku langsung diam disitu—seperti jengkel tapi juga simpati. Kurasa Harry memiliki pengalaman tersendiri mengenai hal ini. Mungkinkah dia pernah merasa ditinggalkan oleh seseorang yang dia cintai?

Oh, kepalaku rasanya seperti ditusuk-tusuk. Ulu hatiku terasa sakit membayangkan hal itu. Aku tidak menyukai gagasan bahwa sebelum aku, dia mungkin saja pernah menyukai gadis lain. Namun membayangkannya merasakan patah hati justru jauh lebih menyiksaku. Mungkin saja rasa sakit yang dialaminya dulu sangatlah buruk. Terlalu buruk sehingga persepsinya tentang cinta dan kasih sayang tidaklah nyata di matanya.

"Aku harus pulang sekarang." tiba-tiba saja Harry bangkit berdiri di sebelahku.

"Kau tidak mau melihat akhir ceritanya? Kita bisa makan malam bersama setelah ini, juga makan siang yang tadi terlewat."

"Aku memiliki beberapa urusan dan aku perlu berganti pakaian, Ken. Aku akan menjemputmu besok pagi."

Aku diam sebentar, menggigit bibir bawahku dan menatapnya ragu. "Kau tidak marah padaku, kan?"

"Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Sejak kita membahas soal ayahku, aku merasa ada yang tidak beres. Kau terlihat marah."

"Aku hanya tidak menyukai kenyataan bahwa kau masih mengharapkan orang seperti dia dalam hidupmu. Jika aku menjadi kau, aku akan membiarkannya pergi dan justru merasa bersyukur. Aku tidak mengerti jalan berpikirmu, ditambah lagi kau baru menceritakan soal ini padaku sekarang. Itu yang membuatku marah."

Aku merasakan ototnya mengumpul dan menegang tatkala sapuan amarah merasukinya. Kemudian dia berjalan cepat melewatiku dan membuka pintu. Sontak aku berdiri dan menyusulnya. "Kau janji kau akan kembali lagi besok pagi?"

"Ya."

"Kumohon jangan marah padaku. Terkadang ini membuatku frustasi karena kupikir aku terlalu sering membuatmu marah."

Harry membawa tangannya ke pipiku, mengusapku lembut dengan buku-buku jarinya dan aku menekan wajahku ke telapak tangannya. "Kau kecewa padaku?"

Aku menggeleng. "Tidak."

"Ken, aku menyesal."

"Tidak, Harry, aku tidak kecewa padamu. Kau hanya perlu berusaha lebih keras menahan emosimu yang meledak-ledak. Kupikir sejauh ini kau sudah melakukannya dengan cukup baik. Kau bahkan tidak menarik tanganku seharian." Aku tertawa singkat, memperlihatkan kebulatan tekadku untuk menaruh jejak humor disana.

"Oke, kalau begitu aku pergi." dia menjalankan tangannya dari wajahku ke belakang leherku, menariknya ke arahnya dan mencium keningku cukup lama.

"Hati-hati di jalan." Kataku, dan dia melangkah mundur sebelum berbalik dan melangkah pergi.

***

Tidak seperti biasanya, hari ini Julia Parker pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Dia terlihat terburu-buru, sarapannya saja tidak dihabiskan, semalam juga dia sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Kupikir dia memiliki teman kencan baru, mengingat semalam perbincangan yang dia miliki terkesan cukup intim dan menyenangkan.

Jules tidak banyak berbicara padaku semenjak kemarin. Ini persis seperti pertama kali ketika aku menyadari bahwa Jules sudah tidak lagi menjadi sahabatku. Keadaan memang sempat membaik ketika aku mengenal beberapa temannya, namun semuanya justru bertambah buruk seiring dengan hubungan yang Jules miliki dengan Harry juga hancur.

Harry datang menjemputku tepat satu jam setelah Jules pergi. Kali ini dia membawa motornya yang mana membuatku bersemangat dan gadis batinku menari mengangkat pom-pomnya. Sudah lama aku tidak memeluk tubuhnya dari belakang, merasakan aroma tubuhnya dari dekat beserta rambutnya di wajahku ketika angin menerpa kami berdua.

Aku tidak banyak menyimak ketika dosen menjelaskan materinya di depan kelas. Saringan dari telingaku menuju ke otak seolah rusak, perhatianku hampir teralihkan sepenuhnya oleh pria yang duduk di sebelahku ini. Memandangi wajahnya yang tampan dan menggoda memang bukanlah ide yang bagus. Matanya, hidungnya, lekuk wajahnya, bibirnya... Astaga, bibirnya! Cepat-cepat aku menampar diriku ke bawah. Ini bukan waktu yang tepat untuk berfantasi.

"Kita bertemu lagi setelah ujian tengah semester. Selamat siang."

Aku tercenung selama beberapa saat ketika Mr.Wright berjalan meninggalkan kelas. Apa kelasnya sudah berakhir? Kupikir ini baru setengah jam?

"Apa yang kau tunggu? Ayo pergi, Ken."

Aku terbangun dari lamunanku ketika Harry memanggil. Bangkit berdiri, aku berjalan bersama Harry menuju motornya. Ya ampun, hari memang selalu terasa begitu cepat jika aku sedang bahagia. Dan aku bahagia jika dia ada di dekatku.

Sesampainya di apartemen aku langsung menaruh tas dan mantelku di kamar, sementara Harry duduk di sofa menungguku dengan tenang. Aku tidak memiliki gagasan apapun untuk menghabiskan waktu di siang hari seperti ini. Menonton film rasanya bukan ide yang bagus karena aku sedang tidak bersemangat berdebat dengannya. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa dia tidak memiliki kegiatan seperti pergi ke bengkel? Tapi aku tidak mau dia pergi dan aku kurang betah berada di tempat kotor seperti itu. Mungkin sesuatu yang bisa dilakukan di rumah? Seperti makan siang. Ya, aku akan membuat makan siang.

Berjalan keluar kamar, aku melesat menuju dapur dan mengeluarkan bahan untuk membuat sesuatu yang mudah dan cepat. Tapi aku bingung. Astaga apa yang harus aku buat? Aku mengetuk-ngetukkan jariku di daguku, berpikir keras mengenai menu makan siang yang bisa kusajikan untuknya. Melihat sisa bahan yang tersisa, akhirnya hanya ada satu jenis masakan yang kira-kira aku bisa membuatnya. Omelet.

Lantas aku mengambil peralatan masak dan memecahkan empat buah telur di dalam mangkok, aku mengocoknya bersamaan dengan beberapa bahan pelengkap lain. Harry datang menghampiriku ketika aku sedang menyibukkan diri.

"Apa yang sedang kau buat?"

"Umm... makan siang?"

"Aku tahu, maksudku masakan apa yang kau buat?"

"Well, aku hanya bisa membuat omelet dari bahan-bahan yang tersisa di dapurku. Harry, bisa kau memotong seledrinya?"

Mulutnya menganga, memperhatikan tanganku yang masih sibuk mengocok telur. "Tentu."

Aku tersenyum padanya, kemudian menunjuk seledri dengan daguku sebelum dia meraih pisau dan memotong-motong seledrinya. Dia terlihat sangat payah, dan sejujurnya aku merasa was-was melihat caranya memegang pisau. Dalam hati aku tertawa meski sudut bibirku sudah berkedut. Ini rasanya sangat normal... dan menyenangkan. Dua orang yang mencoba untuk saling mengenal satu sama lain menghabiskan waktunya dengan memasak makan siang bersama.

"Kau sedang memikirkan apa?" Harry menyela lamunanku saat dia sudah selesai memotong seledrinya. Dia mengelap tangannya ke bajunya sendiri.

"Betapa aku hanya tahu sedikit tentangmu."

Dia menatap ke arahku dan tatapannya melunak. Aku suka ketika aku menyadari hal-hal kecil seperti ini—dia yang tenang dan menyenangkan jika sedang bersama denganku. "Kau mengenalku lebih baik dari siapapun."

"Aku tidak merasa seperti itu."

Dia langsung diam membuang muka dariku. Sementara itu aku menyiapkan penggorengan di atas kompor dan menyalakannya. Aku melirik ke arah Harry sejenak, menebak-nebak apa yang sedang dia pikirkan.

"Apa mereka selalu melakukan ini?"

"Mereka?"

"Orang-orang yang berpacaran. Apa mereka selalu masak bersama?"

Oh. Pengalih pembicaraan. Aku terkekeh padanya. "Tidak selalu, tapi ya. Terkadang mereka masak bersama di dapur. Mengapa kau bertanya seperti itu?"

"Hanya penasaran. Aku ingin tahu apa saja yang setiap pasangan kekasih lakukan. Kau tahu, aku baru dalam hal ini. Aku harus banyak belajar darimu."

"Banyak belajar, hah?" dengan perlahan dan hati-hati aku menuangkan separuh telur yang sudah kukocok di atas penggorengan. "Jadi kau berpikir aku memiliki banyak pengalaman dalam berpacaran?"

"Kau yang membuktikan."

"Well... pengalaman berkencanku hanya dengan Ezra, dan kami tidak melakukan banyak hal."

"Apa kalian masak bersama?" Harry mengangkat sebelah alisnya. Jelas sekali dia terlihat terganggu oleh pertanyaannya sendiri. Dan berbicara soal Ezra, aku jadi sedikit khawatir padanya. Sejak aku meninggalkannya di kedai kopi beberapa hari yang lalu, aku belum mendengar kabarnya lagi. Aku berharap dia baik-baik saja.

"Ya, terkadang. Dulu saat masih di Wisconsin kami lebih sering pergi ke taman."

"Itu payah."

Aku tertawa lagi, "Ya, memang."

"Lalu apa lagi?"

"Umm, pergi menonton film atau pertandingan olahraga di sekolah." Mengambil spatula, aku membalik setengah telurku yang sudah hampir matang.

"Apa tidak ada sesuatu yang lebih... intim?"

"Maksudmu seks?"

Kuperhatikan Harry mengusap belakang lehernya dengan canggung. Lagi-lagi dia terlihat tidak nyaman oleh pertanyaannya sendiri. "Ya."

"Umm, tidak. Kami tidak pernah melakukannya." Aku menunduk malu, karena secara tidak langsung pertanyaan yang Harry lontarkan membuatku teringat pada pengalaman seks pertamaku. Begitu tidak menyenangkan. Aku sangat membencinya. Aku benci ketika aku mengingatnya.

Menampar diriku ke bawah, aku bergegas mengangkat telurku dan menaruhnya di atas piring sebelum lanjut memasak sisa telurnya untuk Harry.

Di sebelahku dia masih memperhatikan. Wajahnya terlihat serius seperti sibuk dengan pikirannya sendiri meski tatapannya tidak terlepas dariku. Dalam hati aku mengira-ngira apa yang sedang mengganggunya. Akhirnya aku mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. "Kau suka pedas atau tidak?"

"Dia gay?"

"Astaga, Harry! Tidak, dia tidak begitu!" mataku melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia masih membahas soal ini! "Ezra pria normal. Dia bahkan pernah beberapa kali berusaha untuk menyentuhku tapi dulu aku seorang penakut dan polos."

Tiba-tiba aku melihat rahangnya menegang, dan kupikir aku salah bicara. Sial. "Dia berusaha menyentuhmu?! Bagaimana?"

"Harry, kumohon hentikan! Aku tidak suka arah perbincangan ini." cepat-cepat aku mematikan kompor dan menaruh telurnya di atas piring, lalu membawa kedua telur yang kumasak ke meja makan secara terburu-buru. Aku menggeleng sepanjang langkahku meninggalkan dapur. Ini keterlaluan. Harry benar-benar keterlaluan.

Kendati aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Ezra, aku tetap tidak terima jika seseorang berusaha untuk menjelek-jelekkannya atau berpikiran buruk terhadapnya. Ezra pria baik-baik. Dia tidak layak dipandang sebelah mata oleh siapapun. Termasuk oleh Harry.

***

"Harry." panggilku. Mengesampingkan kekesalanku padanya saat makan siang tadi, aku mencoba untuk membangun aura positif lagi terhadapnya. Dia menoleh ke arahku tanpa ekspresi. "Boleh aku meminta tolong?"

Alisnya terangkat pertanda 'ya'. "Bisakah kau mengantarku ke rumah Christian?"

"Apa?" wajahnya mengernyit, persis seperti yang sudah aku duga.

"Aku harus mengembalikan bukunya, bisakah kau mengantarku?"

Dia kembali memalingkan wajahnya ke arah tv. Rasanya agak aneh, justru disaat-saat seperti inilah dia seolah tertarik dengan acara tv yang menurutnya sampah. "Tidak, aku tidak mau."

"Harry..." ujarku dengan nada memohon.

"Dia pasti ada di rumah sakit, kau bisa menemuinya disana."

"Dia ada di rumahnya, aku sudah menghubunginya kemarin. Tolonglah?"

"Aku tidak mau."

"Harry... Apa yang salah dari itu?" aku memohon lagi. Dan kali ini dia menolak untuk meresponku. Ada jeda yang panjang dan aku hampir putus asa terhadapnya, padahal aku sudah berharap banyak. Lantas aku memutar tubuhku berniat kembali lagi menuju kamar, tapi sekali lagi aku menoleh ke arahnya. Ayolah, kau harus mau. Kau harus mau.

Mulutnya terkatup rapat, dan lalu memutar bola matanya padaku. Aku memberinya pandangan kecewa. "Oke." Katanya, pasrah. Dan gadis batinku langsung menganga kegirangan.

Dengan sabar aku menunggunya bangkit dari sofa, sementara aku bersiap-siap serta memasukan The Jungle ke dalam tasku. Tidak lupa aku membawa helmku dan kami berangsur turun meninggalkan apartemen. Harry memasang tampang kusutnya, tapi aku tetap menyunggingkan senyumku bermaksud untuk menyemangatinya. Sejak awal aku tahu Harry tidak akan menolak ketika aku meminta, dia sempat berkata tidak hanya karena dia terlalu mengikuti egonya.

***

Aku melangkah dengan gugup ketika menaiki teras rumah keluarga Schmidt. Harry di sebelahku masih terlihat marah tapi aku mencoba untuk mengabaikan. Aku lebih fokus untuk menyiapkan batin dan mentalku untuk menemui ibunya. Mengingat bagaimana sikap Sarah terhadapku yang kerap kali membuatku merasa terintimidasi—jauh lebih mengintimidasi ketimbang apa yang bisa Harry lakukan terhadapku—dan itu masih berbekas hingga sekarang. Namun aku sudah berniat dalam diri untuk tidak membiarkannya melakukan itu lagi. Toh, kini aku bukan lagi seorang pelacur—martabatku aku sudah tidak serendah itu lagi. Secara otomatis dia sudah tidak memiliki alasan untuk menjauhkanku dari putranya.

Aku mengetuk pintu rumahnya beberapa kali, menunggu dengan sabar hingga akhirnya Sarah muncul membukakan pintu. Dia tercengang menatap kami berdua, namun dengan segera sebuah senyuman tersungging di wajahnya yang ditujukan untuk Harry. Dia menyebut nama putranya dengan rasa haru. "Bagaimana kabarmu? Aku senang kau kemari. Apa Christian yang menyuruhmu?"

"Tidak." Harry menjawab ketus, kemudian menggiringku masuk melewati ibunya. "Aku kemari untuk mengantarnya."

Detik itu juga Sarah melirikku, memberiku senyum masam. Lalu dia menatap putranya lagi sambil tertawa. "Oh? Ada apa dia kemari? Kupikir dia tidak memiliki urusan disini."

"Jaga ucapanmu, dan kuminta tunjukan sedikit rasa hormatmu terhadap gadisku." Harry menggeram dalam dan pelan. Mulutnya menekan menjadi garis keras dan Sarah langsung membelalakkan matanya padaku.

"Gadismu?" gumamnya, dan aku mendengar jejak humor dalam suaranya. Dia mengelus dadanya sejenak memandangiku dan tersenyum paksa. "Well, Kenya. Bagaimana kabarmu? Aku turut berduka atas adikmu. Aku mendengarnya dari Christian."

Aku membalas senyumannya—sesaat merasa nyeri, bukan karena reaksinya terhadapku—tetapi karena ucapan dukanya yang mengingatkanku pada Will. "Terimakasih."

"Jadi ada apa kau kemari?"

"Aku ingin mengembalikan buku milik Christian. Semalam aku menghubunginya dan dia berkata kalau hari ini dia ada di rumah."

"Oh, ya tentu." Dia menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba untuk menahan dirinya dari luapan emosi. Melirik ke arah Harry sesaat, dia memandang sekali lagi padaku sebelum memutar tubuh. "Kalian duduklah, akan kupanggilkan Christian di ruangannya."

TO BE CONTINUED!

As usual ++300 VOTES and leave your COMMENT! :) 

Continue Reading

You'll Also Like

1M 28.9K 18
🔞Warning, mature content! Ethan Jackson dan Barbara Winsley adalah pasangan kekasih. Mereka sering bertengkar, memaki, dan melempar barang tapi mere...
UNTITLED By 🍓

Short Story

152K 13.7K 169
Sebut saja cerita tak berjudul. Karena aku bingung judul apa yang tepat untuk menceritakan keseharian kita. Karena semua rasa yang kurasakan terjadi...
249K 39.3K 33
❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang m...