CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 26

80.1K 2.4K 345
By sfdlovato

The songs for this chapter:

John Mayer - Wildfire

Justin Timberlake - Like I Love You

***

Jules datang bersama dengan Niall tepat lima belas menit setelah Harry pergi. Sontak aku mendengus lega karena kami tidak jadi melanjutkan 'perhitungan'-nya tadi. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika sewaktu-waktu Jules memergokiku sedang berhubungan seks dengan Harry! Mungkin ia akan mengadukanku pada Ezra dan bisa saja ia marah terhadapku mengingat ia selalu mengira bahwa aku adalah gadis polos.

"Aku membawa masakan thailand untuk makan malam. Apa Debbie sudah pulang?" Jules membongkar isi kantung belanjaannya di atas meja makan—tepat dimana Harry membuat perhitungan denganku barusan.

Aku menelan ludah sebelum menjawab, "Belum, aku baru akan menghubunginya. Umm, Jules, biar aku saja yang melakukannya." Dengan gelagat yang agak canggung aku buru-buru merebut kantung plastik Jules dan mengeluarkan beberapa kotak masakan thailand di dalamnya. Jules memandangku getir selama beberapa saat, rasanya malu jika mengingat adegan erotis yang baru saja terjadi di atas meja makan ini tadi!

"Oke." Jules memalingkan wajahnya ke arah Niall yang tengah duduk di sofa dan mengganti-ganti saluran tv. "Ni, apa kau ingin makan malam sekarang atau nanti? Aku berencana untuk menunggu bibinya Kenya, tapi aku belum tahu apa ia akan segera pulang atau tidak."

"Kalau begitu tunggu saja, lagi pula aku belum terlalu lapar."

Aku memutar kepalaku, memperhatikan Jules dan Niall berpelukan sambil menonton tv. Keduanya terlihat menikmati momen bersama sementara aku beranjak menuju dapur untuk mengambil beberapa piring, mangkuk, dan gelas. Disaat aku kembali menuju meja makan, aku kembali melirik ke arah mereka, Jules menyenderkan kepalanya di bahu Niall sementara pria itu sendiri memandangiku tanpa berkedip lalu tersenyum. Kontan bibirku berkedut membalas senyumannya dengan ragu-ragu. Rasanya aneh tersenyum pada kekasih orang.

Begitu selesai menata piring dan gelas di atas meja, aku meraih ponselku di atas bupet, menghubungi bibi Debs untuk menanyakan kapan ia pulang. Oh, panjang umur! Pintu apartemenku terbuka dan langsung memunculkan bibiku disaat nada sambung di ponselku berbunyi untuk yang ketiga kalinya. "Sepertinya kita kembali memiliki tamu malam ini."

Jules menarik diri dari Niall dengan senyum yang merekah, "Debbie, kenalkan ini kekasihku, Niall. Niall, ini Debbie, bibinya Kenya sekaligus tetanggaku saat masih di Wisconsin."

"Ah, aku suka warna rambutmu." Celoteh bibi seraya menyambut uluran tangan Niall kemudian melepasnya kembali. "Mirip seperti warna pakaian dalam tetanggaku, Gloria."

"Bi." Tegurku.

Sementara Jules justru terkekeh. Kurasa di antara kami semua yang menanggapi sindiran bibi sebagai hal yang lucu hanyalah Jules, dari dulu ia bahkan tidak pernah tersinggung jika bibiku menyindirnya.

***

Di rabu pagi giliranku yang menjaga Will di rumah sakit, sedangkan bibi Debs pergi berbelanja keperluan sehari-hari karena Jules akan pulang terlambat hari ini.

Namun, setibanya di rumah sakit hatiku mencelos saat memperhatikan wajah Will yang semakin hari semakin pucat, nyaris seperti tidak ada darah yang mengalir di wajah dan bahkan sekujur tubuhnya. Aku bersumpah jika sesuatu yang buruk terjadi padanya aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya dia anggota keluargaku yang tersisa selain bibi.

"Bagaimana kabarmu?" suaraku terdengar parau. Tanganku mengusap wajahnya yang tirus dan bawah matanya yang menghitam.

"Baik."

"Kau yakin? Wajahmu semakin pucat."

"Semua orang juga berkata begitu. Aku ini sakit, oke? Wajar jika wajahku pucat."

"Kau sudah meminum obatmu?"

"Ya, Kim baru saja memberikannya tadi. Dimana bibi?"

Aku menaruh tasku di atas meja sebelum duduk di sampingnya, "Dia di rumah, giliranku untuk menjagamu hari ini."

"Oh."

"Aku akan pergi sebentar menemui Christian, tidak apa jika kau sendirian?"

Will mengerutkan keningnya, bingung. "Christian?"

"Maksudku dokter Schmidt. Aku tidak akan lama, oke?"

Beranjak dari tempat tidurnya, aku pun berjalan keluar ruang inap menuju ruang kantor Christian. Selama aku berjalan aku berpikir berapa lama ini akan berlangsung? Kapan Will bisa pulang dan sembuh? Aku tidak tahan jika harus terus melihatnya seperti sekarang. Bagaimana pun juga ia baru berumur 10 tahun meski omongannya terdengar seperti orang dewasa.

"Christian." Panggilku begitu aku menemukan sosoknya di lorong rumah sakit dan tengah berbicara pada salah seorang pasien yang duduk di kursi rodanya—ia memiliki kepala botak persis seperti Will.

Memalingkan wajah, Christian tersenyum hangat padaku sebelum permisi dari pasiennya. Kontan aku berjalan menghampiri dan berdiri di hadapannya. "Aku merasa ada yang tidak beres dengan Will."

"Maksudmu?"

"Kupikir kondisinya terus menurun?"

"Kenya, kondisi imun tubuh seseorang berbeda-beda, termasuk adikmu. Ia bisa tumbang kapan saja."

"Jadi kau akan menyerah?"

"Tidak, bukan itu maksudku." Christian memijit pangkal hidungnya seraya berdecak pinggang lalu menatapku lagi. "Tidak semua kanker bisa disembuhkan dengan obat, tergantung pada pasiennya itu sendiri. Jika keinginan mereka untuk bertahan sangat kuat, maka kujamin mereka akan selamat dan sembuh."

"Lalu apa gunanya ia menjalani kemo berpuluh-puluh kali jika tidak ada hasilnya?" aku menggeram, tidak tahan mendengar ucapan Christian yang seakan tidak bisa menjanjikan apa-apa terhadapku. Terhadap Will.

"Kemo hanya untuk membunuh sel-sel kanker di dalam tubuhnya, Kenya—itu pun tidak seluruhnya—lagi pula ia juga membunuh sel-sel baik yang membuat imunitasnya turun. Kapan pun adikmu bisa saja terserang demam, itu yang aku takutkan."

"Lalu bagaimana dengan rencana operasinya?"

"Operasi sumsum tulang tidak bisa dilakukan jika kondisi Will sendiri belum stabil, lagi pula seperti yang aku bilang sebelumnya bahwa langkah itu hanya akan diambil jika hendak melakukan kemo dengan dosis tinggi. Untuk saat ini kita harus terus awasi dan lihat perkembangannya. Ingat, Kenya, pasien yang menderita penyakit ganas harus selalu diberi motivasi agar ia mau bertahan, kau juga ikut berpengaruh dalam kondisi psikisnya."

Aku bergeming, merasakan sekujur tubuhku mematung dan sangat berat untuk digerakkan. Bahkan untuk bernapas pun aku sulit. Kepalaku seperti ditusuk-tusuk dan dadaku terasa ngilu. Jangan sampai kondisi Will menjadi semakin turun. Jangan sampai...

"Semalam tubuh Will memang sedikit panas, aku hampir mengira bahwa ia terkena demam. Paling tidak ia masih harus melewati 6 kali lagi kemoterapi, jika sebelum itu ia terkena demam aku tidak bisa menjanjikanmu apa-apa. Semua tergantung pada adikmu... juga Tuhan. Untuk sekarang kau masih bisa bernapas lega, Kenya, karena Will belum menunjukan gejala-gejala demam atau pun flu yang bisa saja menyumbat paru-parunya." Christian meraih tanganku dan meremasnya dengan kedua tangannya. "Kau tidak perlu khawatir."

Aku mengangguk pelan, mencoba untuk mengulang kata-kata Christian agar aku tidak panik duluan. Setidaknya Will tidak selemah itu. Maksudku belum. "Ada satu hal lagi yang perlu kusampaikan." Tuturku parau.

"Ya?"

Aku melirik ke bawah, memandangi tanganku yang masih ia genggam dan tiba-tiba saja aku teringat bagaimana Harry cemburu pada Christian. Sontak aku menarik tanganku lagi. "Apa kau tahu jika Harry merasa bersalah atas kematian ayahnya?"

Kedua alisnya bertautan, "Tidak, aku tidak tahu. Mengapa dia merasa bersalah?"

"Dia bilang bahwa dia mendorong ayahnya dengan sengaja saat itu. Harry berpikir bahwa dirinya lah yang telah membunuh ayahnya."

Christian diam sebentar, terlihat seperti sedang berpikir keras kemudian ia berbicara lagi. "Aku bahkan tidak tahu jika ia merasa seperti itu. Yang kudengar dari Sarah adalah Des tewas tertabrak mobil secara tidak sengaja karena Harry tidak tahu bahwa ada mobil yang melaju cepat ke arahnya. Ya, aku tahu Harry mendorongnya, tapi aku tidak yakin jika saat itu Harry memang sengaja ingin mencelakai ayahnya."

"Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tapi Harry mengakui bahwa dirinya sengaja melakukan hal tersebut agar ibunya bisa terbebas. Christian, aku sudah berjanji padamu untuk melakukan yang terbaik. Aku masih berusaha untuk mendekatinya, tapi jika—"

"Lupakan urusan motor untuk sementara. Jika kau bisa membuat Harry meminta maaf pada ibunya, aku sudah akan sangat berterimakasih."

"Oh." Aku tidak tahu harus berbicara apa. Tapi sepertinya membujuk Harry meminta maaf pada Sarah tidak akan sesulit seperti menyuruhnya untuk berhenti melakukan balap liar, meski aku sendiri tidak 100% yakin. "Baiklah, aku akan mencoba untuk membujuknya. Terimakasih, Christian."

Ia tersenyum miring padaku, "Kembali kasih, Kenya."

***

Di sore harinya aku kembali ke apartemen. Rasanya agak berat meninggalkan Will yang sempat mimisan siang tadi, mana lagi ia meminta untuk pulang. Ia rindu masakan rumah, ia rindu bertemu Jules, ia rindu udara bebas dimana tidak ada aroma obat-obatan. Demi Tuhan, kepalaku terasa penat sekarang.

Membuka pintu ruang apartemenku, tiba-tiba saja aku tercengang ketika berjalan masuk dan melihat Harry sedang membantu bibiku di dapur. Astaga, apa yang terjadi sampai-sampai ia mau membantu bibi Debs?

"Ah, Kenya, akhirnya kau pulang. Harry sudah menunggumu dari satu jam yang lalu, untungnya ia datang dan tadi ia sempat menolongku mengganti lampu neon di kamar mandi. Ia juga membantuku memasang gas di kompor." Bibi Debs menyunggingkan cengiran lebarnya dengan antusias. Oh, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Wow." Hanya itu yang terlontar dari mulutku, tapi yang jelas aku cukup terkesima olehnya. Sejurus kemudian Harry datang menghampiriku. Wajahnya terlihat agak kusut dan aku tahu bahwa ia sudah menahan kesabarannya lebih dari satu jam menghadapi bibiku yang cerewet dan senang berkomentar. "Ada apa kau kemari?"

"Mencarimu."

"Ya, aku tahu. Tapi untuk apa?"

"Aku sendiri tidak tahu."

Oh! "Jadi kau sengaja mampir kesini tanpa tujuan?"

Ia mengangguk dua kali. Gerak-geriknya juga terlihat agak canggung. Lantas disaat yang sama gadis batinku kegirangan dan menari dengan topi koboynya diiringi musik country. Itu rindu namanya. Batinku menyengir lebar.

"Jika kau ingin aku pergi, aku akan pulang sekarang."

"Tidak, jangan." Ujarku cepat seraya mencengkram lengannya kuat-kuat. Kontan melihat reaksiku yang begitu spontan membuat Harry melebarkan pandangannya terhadapku. "Tetaplah disini, aku senang kau membantunya."

"Ia mengomel tanpa henti."

Aku tergelak. "Aku tahu. Terimakasih sudah mau bersabar."

Harry mengangkat sebelah alisnya seperti biasa. Oh, ya Tuhan, aku benar-benar senang setiap kali bisa melihatnya seperti ini. Aku juga merindukanmu, hey bajingan. Tapi aku hanya mengucapkannya dalam hati, tidak berani jika harus melontarkannya secara langsung.

"Kukira kau datang kemari untuk melanjutkan yang kemarin?"

"Kau masih menginginkannya?"

Tentu saja, bodoh. Cepat-cepat aku menggelengkan kepalaku dengan kaku. "Kau habis dari mana? Mengapa aku tidak melihat motormu di luar?" aku mengganti topik pembicaraan seraya berjalan menuju sofa ruang tv. Rasanya aneh dan risih jika harus membicarakan hal seperti ini disaat ada orang lain bersama kami.

"Menyelesaikan beberapa urusan. Aku memarkirkannya di toko roti di sebrang bangunan." Harry mengikuti di belakangku kemudian duduk di sebelahku.

"Mengapa begitu?"

"Agar aku bisa menyuruh seseorang untuk mengawasinya."

"Debbie, aku membawakan pesananmu!"

Aku terkesiap ketika melihat pintu apartemenku terbuka dan memunculkan Jules yang membawa beberapa kantong plastik di tangannya. Kukira Jules akan pulang larut? Dan entah untuk beberapa alasan aku kurang menyukai ide jika Jules ada disaat Harry sedang bersamaku. Bukan perasaan semacam cemburu, melainkan risih.

"Oh, Harry? Kau disini rupanya?" Jules bergerak untuk menutup pintu di belakangnya dengan perlahan.

Melirik ke arah Harry, aku mendapati ia seperti menegang di tempatnya. Ekspresi wajahnya mengeras layaknya ingin marah, namun sedetik kemudian aku mendengar bibi Debs memanggilku dari dapur.

"Tolong sekalian berikan ini padanya." Jules menyodorkanku sekantung plastik yang ia bawa. Aku menerimanya dengan cepat. Otomatis aku langsung meninggalkan Jules dan Harry berdua di ruang tv. Aku hanya berharap agar Harry tidak pergi.

"Bisa kau bantu aku mengupas kentangnya, Kenya?"

Aku melakukan apa yang bibi suruh. Akan tetapi kepalaku tidak bisa diam dan terus memalingkan wajah ke arah ruang tv, aku memperhatikan Jules dan Harry tengah membicarakan sesuatu dengan nada suara yang sangat rendah. Oh. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

"Jika sudah, tolong potong dadu daging sapinya."

Batinku menjerit. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk membantu bibiku di dapur! Aku ingin mendengar perbincangan yang Jules dan Harry lakukan, mana lagi aku masih penasaran dengan pembicaraan yang Jules miliki dengan Tawni di telepon beberapa waktu yang lalu.

"Biar aku saja." beruntung aku mendapati bibi Debs yang membawa tumpukan piring di tangannya. Cepat-cepat aku merebut piring-piring itu dan segera berjalan ke arah meja makan. Bahkan kupikir Jules dan Harry tidak menyadari keberadaanku yang tidak terlalu jauh dari mereka.

"...mengapa kau masih saja membahas soal itu?!" Harry menggeram. Sementara aku dengan sengaja menata piring-piring di atas meja dengan sangat lambat dan dilama-lamakan.

"Aku tidak bisa memaafkanmu."

"For fuck sakes! Itu sudah sangat lama. Semuanya sudah beres, Liam bahkan tidak memiliki kopiannya."

"Aku tidak percaya padamu."

"Terserah! Tanyakan pada kekasihmu jika kau tidak percaya."

Aku menoleh, memandangi keduanya yang saling menekan jeritan secara bergantian—terlihat dari bagaimana Jules mengernyit kesal dan Harry memutar-mutar mulutnya dengan gemas seakan ingin menyemburkan api dari dalam mulutnya pada Jules. Aku tidak tahu dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Sebutlah aku gila mencampuri urusan orang, tapi sungguh aku merasa bahwa aku perlu tahu meski pun ini tidak ada hubungannya denganku.

"Apa maksudmu?"

Aku tidak bisa mendengar apa yang Harry katakan, namun tiba-tiba saja Jules melirikkan matanya ke arahku setelah bibirnya mengucapkan dua kata pada Harry: 'Persetan denganmu' kupikir? Sejurus kemudian Jules berjalan dan menyenggol pundak Harry dengan kasar.

"Jaga ucapanmu, Julia!" Harry menyentak seraya berbalik, membuat Jules menghentikan langkahnya tepat di belakangku sementara jantungku meloncat ke kerongkongan. Ia marah!

"Atau apa? Kau tidak akan bisa menyakitiku, brengsek! Aku tidak takut padamu."

"Tutup mulutmu!"

Mataku membelalak, kaget mendengar sentakkannya.

"Ada apa ini ribut-ribut? Kenya, kembali ke dapur." Aku memutar kepalaku dan melihat bibi Debs yang menyuruhku untuk kembali membantunya. Oh, ya ampun! Bahkan disaat seperti ini aku masih harus membantu bibiku memasak, rasanya aku ingin menarik rambutku hingga botak!

"Aku pergi." tiba-tiba saja Harry bergumam, dan aku langsung menontonnya yang bergegas mengambil helmnya di atas bupet. Cepat-cepat ia membuka pintu apartemen lalu pergi tanpa sekali pun memandang ke arahku. Astaga, mengapa justru jadi begini?

Seusai makan malam aku langsung menemui Jules di kamarnya. Aku tidak peduli apakah ia akan kembali menolak untuk bercerita atau tidak, yang jelas aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara dia, Harry, Liam, Tawni, bahkan mungkin Zayn dan Niall juga ada di dalamnya.

"Hey, boleh aku masuk?" aku mengetuk pintu kamarnya yang terbuka. Jules yang sedang terduduk di tempat tidurnya langsung menaruh laptopnya di samping dan melepas headset yang ia kenakan.

"Ya, masuklah."

"Apa aku mengganggumu?"

"Tidak. Aku hanya sedang menonton film. Ada apa?"

Dengan langkah yang agak ragu aku berjalan menghampiri Jules dan duduk di tepian tempat tidurnya. Aku menggigit bibir bawahku sejenak, kemudian melirik ke arah layar laptopnya yang sedang memutar film The Proposal sebelum menatap ke arahnya lagi. "Apa yang terjadi padamu dan Harry? Mengapa ia sangat marah?"

"Ia hanya tidak suka jika aku berkata-kata kasar terhadapnya. Kau tahu ia memiliki tempramen yang tinggi."

"Ya, aku paham, tapi pasti ada pemicunya mengapa kau berkata-kata kasar padanya."

"Itu masalah pribadi, Kenya. Aku tidak bisa menceritakannya pada siapa pun."

"Termasuk aku?"

Jules diam sebentar. Ia terlihat berpikir lalu sedetik kemudian ia mendengus pasrah dan memejamkan matanya selama beberapa saat. Ia terlihat bingung. "Aku benar-benar tidak bisa mengatakannya. Tapi aku harap agar kau bisa menjaga diri saat sedang bersamanya, Kenya. Harry bukan orang baik-baik."

Giliranku yang diam. Jujur aku kurang setuju ketika ia berkata bahwa Harry bukan orang baik-baik. Kurasa Harry hanya kesulitan menahan ledakan emosinya dan memiliki masalah dengan kepercaya dirian. Ia bukan orang jahat. "Aku mendengar pembicaraanmu dengan Tawni di telepon beberapa hari yang lalu. Kau membicarakan soal Liam dan Harry serta video-video yang sepertinya tidak ingin kau bahas. Apa kau mau menceritakan yang satu itu?" akhirnya aku memilih untuk membelokkan topik.

Tapi seketika itu pula Jules menegang di tempatnya, ia bahkan nyaris seperti tidak bernapas! "Jules?"

"Kau mendengarnya? Sebanyak apa yang kau dengar?" Kening Jules mengerut dalam, nada suaranya terdengar panik dan khawatir.

"Hanya itu." dustaku. Aku melewatkan bagian dimana Jules berkata bahwa ia adalah salah satu korban, yang mana aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya.

"Kau ingat ketika aku pergi terburu-buru dan Harry datang mencariku?" aku mengangguk cepat. Otomatis memoriku langsung berputar ke hari dimana Harry terlihat seperti orang kesetanan, aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Jules pun lanjut berbicara, "Saat itu Harry mengancam kalau ia akan membunuhku."

Jantungku meloncat. Oh, sialan. Dia bercanda, kan?!

Sontak mataku membelalak lebar dan mulutku sedikit terbuka.

"Dan entah mengapa aku seolah percaya pada omongannya. Aku ketakutan, Kenya—sangat ketakutan. Aku tidak tahu harus berbuat apa karena Harry berkata bahwa ia akan datang untuk menghabisiku saat itu juga. Oleh karena itu satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah pergi. Tapi kemudian aku sadar bahwa Harry tidak akan mungkin melakukannya."

Kurasakan mulutku kering, nyaris seperti tidak ada air liur yang tersisa. "Mengapa?"

"Karena kurasa Harry juga tidak akan berani melakukannya. Semacam trauma, tapi aku juga tidak terlalu paham, yang jelas Harry tidak akan mungkin berani membunuh seseorang lagi."

Lagi? Apa maksudnya dengan lagi?! Perutku serasa ditendang. Jika yang Jules maksud adalah Harry membunuh ayahnya, aku tidak akan kaget. Tapi bagaimana jika yang Jules maksud adalah orang lain? Aku tidak tahu apa aku akan tetap merasa nyaman berada di dekatnya atau tidak.

"Mengapa ia mengancam ingin membunuhmu?"

"Karena aku melarangnya untuk mendekatimu."

Oh. Entah apakah aku harus senang atau tidak mendengar hal ini. Separuh hatiku merasa puas mengetahui Harry ingin berada di dekatku, tapi separuh hatiku yang lain ngeri membayangkan bagaimana Harry mengancam Jules bahwa ia akan menghabisi nyawanya. Siapa sebenarnya orang yang sedang kuhadapi? Seorang psikopat? Setahuku ia memang gila kontrol, pemarah, dan bajingan, tapi jika ternyata ia hobi membunuh seseorang, aku sudah tidak tahu lagi.

"Tidak perlu kau pikirkan, Kenya. Harry orang yang mudah berubah-ubah suasana hatinya, mungkin saat itu ia memang sedang kacau dan aku malah salah bicara." Jules membuyarkan lamunanku. Tapi ucapannya memang terdengar masuk akal.

"Dia pernah membunuh orang?"

"Aku tidak tahu, Kenya." ujarnya putus asa. "Itu hanya rumor yang berhembus di kelompok kami dan Liam. Terkadang aku ingin percaya, terkadang juga tidak. Dan untuk masalah video-video itu bukan lah apa-apa. Aku pernah terlibat pada sesuatu dan aku tidak mau jika video itu sampai tersebar."

Oh. Aku diam begitu pun dengan Jules. Sesungguhnya aku menunggu Jules untuk kembali berbicara, akan tetapi sepertinya ia sudah tidak mau menjelaskan sisanya. Mungkin itu memang masalah pribadinya dan ia tidak ingin jika orang lain tahu. Namun, aku mulai berpikir sekarang. Video macam apa yang dia tidak ingin sampai tersebar? Apa Jules pernah terlibat pada hal-hal yang berbau kriminal? Gadis batinku menggeleng cepat. Kurasa yang seperti itu tidak mungkin. Atau justru video yang akan mengancam reputasinya, atau bahkan nyawanya? Aku juga tidak tahu.

"Oke. Baiklah. Selamat malam, Jules." Aku beranjak dari tempat tidurnya.

"Selamat malam, Kenya. Ingat ucapanku barusan, kau harus bisa menjaga diri saat bersamanya."

Aku mengangguk mengiyakan. Namun, haruskah aku benar-benar mengkhawatirkan ucapannya? Karena aku sendiri masih tidak yakin jika Harry akan berbuat macam-macam terhadapku, apalagi menyakitiku. Aku juga masih tidak paham dengan ancaman apa yang berada di dekatku saat aku sedang bersamanya. Mungkin kah Jules hanya mengada-ngada? Tapi itu kedengarannya tidak masuk akal. Jules tidak mungkin mengarang-ngarang cerita.

TO BE CONTINUED!

 *Pic of Hailey Baldwin as Tawni on multimedia

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

152K 13.7K 169
Sebut saja cerita tak berjudul. Karena aku bingung judul apa yang tepat untuk menceritakan keseharian kita. Karena semua rasa yang kurasakan terjadi...
15.9M 121K 14
_Ketika dua orang dengan hati beku dipertemukan takdir_ Mengandung tema AGE GAP. HUGE AGE GAP. Don't like it? Don't read it! Highest rank achieve...
297K 2.6K 59
Saya hanya merekomendasikan cerita yang saya suka
13.1M 169K 13
Ardiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi keamanan posisi Ardiaz sebagai CEO MegaTari...