CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 19

198K 5.2K 501
By sfdlovato

A/N: Big thanks to xyeahlarryx for the TRAILER on multimedia!! :) I also dedicated this chap to her!

***

Aku terbangun ketika mendengar alarm di jam wekerku berbunyi. Meraba meja di samping tempat tidurku, aku pun menemukan benda yang sangat mengganggu itu dan langsung mematikannya. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar mandi kemudian membuka bajuku, menaruhnya di dalam keranjang pakaian kotor sebelum masuk ke dalam bathtub dan menyalakan shower. Sedikit demi sedikit pikiranku kembali melayang pada kejadian semalam saat Harry mencium Tawni, kemudian ia memarahiku karena hendak membuka bajuku di hadapan teman-temannya, setelah itu kami bertengkar di kamarnya dan aku hampir saja mengatakan bahwa mungkin aku menyukainya. Kupikir aku gila karena telah berpikir demikian, tapi memang seperti itu lah kenyataannya. Rasa sakit itu ada, dan aku merasakannya ketika aku turun ke lantai bawah dan menemukan Harry yang sedang berbincang-bincang dengan Liam sambil memangku seorang gadis di pangkuannya.

Sialan! Aku langsung turun dari dalam bathtub setelah selesai membersihkan tubuhku, mematikan shower kemudian berjalan untuk mengambil handuk yang menggantung di balik pintu. Setelah melilitkannya di tubuhku, aku kembali ke kamarku dan meraih celana jeans dan kaus lengan panjang berbahan sweater berwarna soft. Dengan segera aku mengeringkan rambutku sambil bercermin, memandangi wajahku yang masih sembab akibat menangis semalaman. Ya Tuhan, apa yang telah ia perbuat hingga aku seperti ini? Aku mematikan hairdryer dan menaruhnya tergeletak di atas meja rias. Aku memakai sedikit eyeliner dan pelembab bibir, dan membiarkan rambutku tergerai seperti biasa. Toh, penampilanku dirombak seperti apa pun juga aku akan tetap terlihat jelek, tidak seperti gadis-gadis pirang yang selalu berada di sekelilingnya. Kecuali jika aku sedang bekerja di MCC. Ya, kuakui penampilanku bisa jadi sedikit menarik jika sedang menjual diri.

Aku langsung bergegas mengambil tasku dan berlalu keluar kamar, melihat Jules yang sedang terburu-buru mengenakan sepatu boots-nya di dekat pintu sambil menoleh ke arahku. "Hai, terburu-buru di pagi hari, hah?" ia menyengir dan aku membalasnya dengan senyuman singkat. "Kau tidak sarapan dulu?"

Aku menggeleng, "Aku bisa membeli sarapanku di luar. Kau pulang jam berapa semalam?"

"Umm, sekitar jam dua malam." Jules bangkit berdiri dan menyingsingkan tasnya di pundak, "Semalam kau kembali kemari dengan siapa?"

Oh, sial. Apa Jules akan marah jika aku menjawabnya dengan jujur? Tapi hey, aku tidak melakukan apa-apa dengannya, dan Jules juga tidak menaruh perasaan apapun terhadapnya, bukan? "Niall. Kami bertemu di jalan dan dia menawarkan diri untuk mengantarku."

Jules terdiam sejenak, membuatku membeku di tempat ketika ia memandangku dengan pandangan menilai sebelum bergumam pelan dan kembali fokus pada boots-nya, "Oh."

"Kau oke?"

"Ya, tentu. Itu lebih baik ketimbang kau pulang sendiri. Well, lain kali kau bisa bilang padaku jika ingin pulang lebih dulu, Kenya. Tyler bisa mengantarmu."

"Maafkan aku... aku—aku terburu-buru kemarin."

"Ya, aku tahu. Aku melihatmu turun dari tangga dan tiba-tiba saja kau pergi setelah melihat Harry memangku seorang gadis. Umm, aku sudah terlambat ke kampus, sampai jumpa lagi nanti." Jules tersenyum padaku sambil membuka pintu apartemen lebar-lebar. Tapi entah mengapa perasaanku sekarang jadi tidak enak terhadapnya, khawatir jika ia marah karena Niall mengantarku pulang.

"Ya, aku juga sudah terlambat. Sampai jumpa, Jules." Ia berbalik ke arahku dan tersenyum.

Setibanya di kampus aku langsung masuk ke dalam kelas yang sepertinya sudah dimulai sejak beberapa menit yang lalu. Alangkah terkejutnya ketika aku melihat Harry yang datang lebih awal dan sudah duduk di bangku paling depan. Kuulangi, bangku paling depan. Dan satu-satunya bangku kosong yang berada di bagian depan adalah bangku yang berada di sebelahnya. Sialan.

"Sudah bisa memutuskan bangku mana yang akan kau duduki, Miss?" aku terkesiap ketika Tn.Wright bertanya padaku dengan tatapan yang menginstruksikan agar segera duduk.

Merasa malu, aku pun terpaksa menempati tempat duduk di samping Harry. Aku tidak bisa berkonsentrasi jika harus duduk di kursi paling belakang, selain karena mataku sedikit minus, aku memang sudah terbiasa duduk di depan sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Dan menurutku itulah salah satu resep mengapa aku bisa menjadi murid berprestasi sejak dulu.

"Mengapa kau tidak mendengar ucapanku semalam." Harry bergumam di sebelahku, sontak membuatku melirik ke arahnya, kudapati tidak ada buku atau pena sama sekali di atas mejanya.

"Kau datang kemari untuk kuliah atau berbicara denganku?" aku kembali memfokuskan diri pada Tn.Wright yang sedang menjelaskan tentang gaya bahasa penulisan di papan tulis. Kudengar Harry mendengus pelan hingga aku bisa membayangkan raut wajahnya yang memberengut kesal.

"Hampir setiap hari aku datang ke kampus dengan hanya membawa diri, kertas atau pena sama sekali tidak dibutuhkan."

Aku memutar bola mataku mendengar nada angkuhnya.

"Sekarang aku ingin kalian mengomentari gaya penulisan salah seorang sastrawan favorit kalian atau siapa pun itu. Dan kuminta kalian juga membuat satu halaman penuh karya tulis dengan bahasa penulisan kalian sendiri, selesai tidak selesai dikumpulkan hari ini juga."

"What the fuck?!" Harry menekan seruannya dan seketika itu pula gadis batinku tertawa puas hingga berguling-guling di atas lantai. Aku menoleh dan kulihat raut wajah Harry yang mengernyit kesal, aku ingin sekali tertawa tapi aku lebih memilih untuk menikmatinya dengan meraih sebuah pena di dalam kantong dan segera menulis di lembaran kertas folio yang dibagikan oleh Tn.Wright.

Kuperhatikan Harry memalingkan wajahnya ke bangku di sebelahnya yang lain dan tanpa berpikir dua kali ia langsung merebut pena milik orang itu tanpa berkata sepatah kata pun. Oh, si brengsek ini. Aku memutar bola mataku lagi.

"Ia mengajar seperti guru taman kanak-kanak." Harry menggumam di sebelahku setelah Tn.Wright kembali duduk di mejanya dan asik mengutak-atik Mac-nya. Tapi batinku setuju akan ucapannya. Tn.Wright adalah salah satu dosen yang senang memberikan tugas untuk diselesaikan di dalam kelas.

Pun aku memilih untuk diam. Diam dan jangan sedikit pun berkomentar apalagi menggubris apa yang ia lakukan. Aku masih marah padanya.

Begitu mata kuliah pagi ini berakhir, aku sudah meniatkan diri untuk segera pergi meninggalkan kelas, berharap-harap cemas agar Harry tidak mengejarku seperti apa yang biasa ia lakukan. Tapi sialnya, belum sempat aku bangkit dari kursiku, Harry langsung menahanku untuk duduk.

"Semalam kau pulang bersama siapa?"

"Itu bukan urusanmu." Aku menyingsingkan tasku di bahu dan mencoba untuk berdiri.

Rahangnya mengeras seperti biasa, "Jangan meniru kata-kataku, cepat katakan kau pulang dengan siapa semalam?"

"Niall, puas? Sekarang aku ingin pergi." Dengan cepat aku berdiri dari kursi dan berjalan meninggalkannya di belakang. Sedetik kemudian aku mendengar suara kursi yang bergeser dan langkah kakinya yang semakin mendekat ke arahku, ia berdiri di sebelahku.

"Mengapa kau tidak menjawab pesanku?"

"Aku tidak tahu kalau itu kau." Dustaku tanpa melirik ke arahnya sama sekali. Aku mempercepat langkahku dan ia mengikutinya dengan mudah. Oh, aku lupa bahwa kami memiliki ukuran kaki yang hampir sama.

"Jangan berpura-pura bodoh, aku tahu kau cukup pintar untuk mengetahui bahwa itu aku. Sekarang jawab mengapa kau tidak mendengarkan kata-kataku untuk menunggu?" Harry menarik lenganku agar berbalik ke arahnya, kontan langkahku langsung terhenti di detik itu juga.

"Kau sudah pergi terlalu lama, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Harry." suaraku berubah bergetar dan sumbang.

Harry menatapku selama beberapa saat sebelum ia kembali bertanya, "Lalu mengapa kau pergi begitu saja?"

Oh, sialan. Mengapa harus pertanyaan ini yang ia lontarkan? Lagi-lagi aku seperti berdiri di atas lempeng tektonik yang tipis dan rapuh, takut untuk melakukan gerakan sedikit pun.

"Apa yang hendak kau katakan kemarin? Apa yang kau takuti, Ken?" tiba-tiba suaranya berubah pelan dan lembut, seolah-olah untaian katanya membelai wajahku yang ketakutan, panik, dan berkeringat.

Kurasakan lempengan tektonik di bawah kakiku bergeser dan mulai retak, aku terkesiap. "Lupakan." Dan dengan itu aku langsung pergi dari hadapannya.

"Kau cemburu?"

Jantungku meloncat hingga ke kerongkongan. Bagaimana ia tahu? Langkahku terhenti selama beberapa saat, memutuskan apa yang hendak aku katakan sebelum berbalik lagi dan berjalan cepat ke arahnya. Pupil matanya membesar menatapku. "Apa itu masuk akal?"

"Apa?"

"Aku cemburu pada gadis-gadis itu... apa itu masuk akal?"

Harry terdiam sejenak, terlihat seperti sedang berpikir. "Tidak. Itu tidak masuk akal."

Aku menelan ludah, kecewa sekaligus lega terhadap ucapannya. Sungguh perasaan yang membingungkan. "Begitu pun menurutku. Aku memiliki Ezra, ingat?"

Harry menatapku kosong seakan dirinya telah tenggelam di belahan bumi yang lain, "Ya." Bisiknya, dan disaat aku melangkah mundur Harry justru melangkah satu kali ke arahku, menarik wajahku dan ia menghantam bibirku dengan bibirnya.

Sejurus kemudian aku merasakan serangan listrik statis yang menggetarkan sekujur tubuhku—menghiburku—memberikan efek yang membuatku seperti melambung di udara dan disaat aku mendorong tubuhnya menjauh, sensasi itu hilang terbawa oleh emosi. Gadis batinku menggerutu meminta lebih, memohon di kedua lututnya dengan pakaian layaknya seorang budak di abad ke-18. Sialan.

Kami bertatapan cukup lama, saling memberikan pandangan bingung dan terkejut, meski tubuhku ingin sekali bereaksi akan ciumannya tapi aku merasa bahwa itu salah. Salah karena pertama, aku masih memiliki Ezra. Dan kedua, aku berpikir bahwa Harry tidak merasakan hal yang sama terhadapku.

Memutar tumitku, aku pun mulai kembali berjalan meninggalkannya di tempat sambil menunduk, kali ini tidak ada suaranya yang memanggilku untuk kembali. Dan tidak ada tangannya yang menahan lenganku. Aku seolah terbebas, tapi juga terkekang oleh perasaan yang tidak terbalaskan.

Aku masuk ke dalam bus yang akan membawaku ke SUNY. Sesaat setelah aku duduk, aku mulai memutar kejadian barusan di kepalaku, merasakan kembali ciumannya di bibirku, dan mengendus aroma tubuhnya yang familiar diingatanku. Oh, Tuhan, aku tahu ini salah, tapi entah mengapa aku seolah terjebak dalam perasaanku sendiri.

Mengapa sejak kehadirannya perasaanku menjadi sangat membingungkan? Mengapa sejak kehadirannya kehidupanku menjadi semakin runyam? Mengapa sejak kehadirannya perasaanku jadi mudah berubah-ubah dan bergejolak? Dan mengapa pula ia harus masuk dalam kehidupanku? Ini bukan lagi seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tetapi mencari jerami di tumpukan jarum—semakin dicari jawabannya, semakin aku sakit dan terluka.

Aku sudah tidak tahu lagi apakah aku harus melancarkan rencana Christian atau tidak, mengingat semakin aku berada di dekat putra tirinya, aku semakin jatuh dan tenggelam dalam lautan yang tidak kuketahui dimana dasarnya. Aku bingung harus berbuat apa.

Aku sudah pernah berjanji pada Ezra untuk setia, begitu pun dengan dirinya terhadapku. Aku sudah pernah berkata padanya bahwa suatu hari nanti aku akan membiarkannya membawaku pergi kemana pun ia mau. Tapi bagaimana jika kenyataannya aku sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi terhadapnya? Bagaimana jika kenyataannya aku sudah tidak mau lagi bersamanya?

Aku terkesiap ketika mendengar ringtone ponselku, dan saat aku melihat namanya dilayar aku pun langsung mematikannya, takut jika Ezra akan semakin mempersulit keadaanku yang begitu labil sekarang. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, Harry lah yang menjadi penyebabnya.

Pun aku mulai berusaha mengingat bagaimana aku bisa menjadi kekasih Ezra disaat aku masih junior di sekolah menengah atas sementara Ezra adalah seniorku dan juga seorang ketua tim basket putra saat itu. Aku ingat betul bahwa teman-temanku sering memberitahuku bahwa Ezra menyukaiku, ia pernah meminta nomorku pada Jules, ia juga sering mengorek-ngorek informasiku dari teman-temanku di klub voli, ia juga pernah menawarkan diri untuk mengantarku pulang padahal jarak dari sekolah menuju rumahku hanya tiga blok, tapi Ezra benar-benar melakukannya. Ia mengantarku dengan mobilnya dengan kecepatan yang sangat rendah hanya agar bisa berlama-lama denganku di dalam mobil.

Dan satu minggu setelahnya, Ezra menyatakan perasaannya terhadapku di depan banyak murid setelah ia memenangkan pertandingan basket dengan tim dari sekolah lain. Saat itu aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi sorak sorai teman-temanku seakan mendorongku untuk menerimanya. Dan disaat itu lah aku memutuskan untuk menjadi kekasihnya hingga sekarang.

Aku tersadar dari lamunanku setelah melihat gedung rumah sakit yang tidak jauh dari tempatku turun. Berjalan dengan hati-hati, aku pun menyebrang jalan dan langsung masuk ke dalam gedung. Kulihat Will sedang menyantap makan siangnya sambil diawasi oleh Kim, sementara aku menunggunya selesai makan sembari duduk di sofa, lagi-lagi kembali memikirkan tentang hubunganku dengan Ezra. Apakah aku harus menyudahinya? Tapi aku takut jika aku akan menyesalinya di kemudian hari, mengingat Ezra memiliki segalanya sebagai pria idaman yang sempurna, sementara Harry... well, dia lah Harry. Dia jauh dari kata sempurna tapi aku menyukainya. Sangat. Dan sayangnya, ia tidak merasakan hal yang sama terhadapku.

"Will, aku akan pergi menemui dokter Schmidt, kau cepat habiskan makananmu dan minum obatmu, oke?" aku bangkit berdiri dan Will menganggukkan kepalanya disaat aku berjalan keluar ruangan.

Tepat ketika aku berbelok menuju ruangan Christian, aku melihat Harry yang sedang berbincang-bincang dengannya di depan pintu. Astaga, mengapa dia juga ada disini? Aku hendak memutar tumitku tapi Christian keburu mengetahui kehadiranku dan memanggil namaku.

"Selamat siang, Nona Sharp."

"Selamat siang, dokter." Aku tersenyum sembari berjalan ke arahnya, dan kuperhatikan Harry yang langsung membuang muka dariku.

"Aku harus pergi." Ujar Harry tiba-tiba ketika aku sudah berdiri di samping ayahnya.

"Tunggu." Christian menyanggah. "Aku juga ingin mengundang Nona Sharp untuk makan malam, bagaimana?" Christian menoleh ke arahku, kontan aku tersenyum padanya.

"Tentu." Aku menjawab ketika Harry berkata 'tidak' di waktu yang bersamaan, membuatku sedikit kecewa terhadapnya.

"Besok pukul tujuh malam di rumahku, Nona Sharp. Sarah akan senang melihatmu lagi." Oh, kuharap juga begitu meski aku sudah tahu bahwa jawabannya adalah tidak. Tapi aku melakukan semua ini karena kebaikan Christian padaku juga Will, tidak mungkin aku menolak tawaran makan malamnya.

Harry menoleh ke arahku, wajahnya mengernyit bingung, "Mengapa kau selalu datang disaat-saat seperti ini." ia bergumam dan dengan itu ia langsung pergi meninggalkan kami.

Merasa tidak enak, aku pun menundukkan kepala. "Ketahuilah bahwa sebenarnya ia senang kau akan datang." Christian menepuk lenganku dengan lembut.

Mendongak, aku pun melihat ia menyunggingkan senyum kebapaan di wajahnya. "Kupikir juga begitu." Aku menjawab dengan sedikit sarkastik dan mendesah. "Aku khawatir aku akan gagal untuk membujuknya."

Christian mengerutkan kening, "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Entahlah, disaat aku sudah mendekatinya aku justru..." Oh, brengsek. Jangan bilang aku hendak mengatakannya pada Christian. "Aku justru bingung harus berkata apa."

"Gugup?"

Aku mengangguk ragu, "Ya, gugup."

"Aku mengerti, semua orang akan selalu merasa terintimidasi jika sedang berbicara dengan Harry. Awalnya juga aku selalu membiarkan Harry untuk melakukan hal itu terhadapku, tapi lama-kelamaan aku sudah terbiasa dan bisa membalas ucapannya yang menusuk."

Mulutku menganga mendengar omongan Christian.

"Aku yakin kau juga akan dapat mengatasinya. Cepat atau lambat kau pasti akan terbiasa."

Oh, sebenarnya aku memang sudah sangat terbiasa akan sikapnya yang selalu mengintimidasi, hanya saja aku belum terbiasa pada perasaanku sendiri. Aku ingin membuang jauh-jauh perasaanku disaat aku sendiri dituntut untuk mendekatinya, dan kau tahu apa, Christian? Kau tidak memberiku pilihan. Aku terancam akan jatuh semakin dalam terhadapnya—terhadap putra tirimu yang angkuh, keras kepala, gila kontrol, sok tahu, dan bajingan.

Aku berdehem, "Menurutmu begitu?"

"Ya, lagi pula Harry memiliki kecenderungan untuk tidak mengakui beberapa hal yang dianggapnya benar."

Keningku mengerut cepat. Kecenderungan untuk tidak mengakui beberapa hal yang dianggapnya benar? Apa maksudnya?

"Masalah kepercaya dirian dan penyangkalan." Christian seakan menanggapi isi pikiranku. "Harry memiliki masalah dalam soal itu, dan biasanya ia akan melampiaskannya dengan amarah."

"Apakah itu normal?" lidahku seakan tidak bisa dikontrol saat ini.

Christian terlihat terkejut akan pertanyaanku yang menohok, "Aku tidak tahu, Harry menolak untuk memeriksakan dirinya pada seorang psikolog. Tapi kurasa Harry hanya butuh pengontrolan diri disaat dirinya sendiri senang mengontrol orang lain." Ya, aku setuju. "Bukan begitu, Nona Sharp?"

"Aku yakin kau bisa merubahnya menjadi lebih baik, itu terlihat dari caranya yang akhir-akhir ini selalu memperhatikanmu."

"Memperhatikanku?" aku mengernyit, bingung.

"Dia berkata bahwa mungkin kau tidak akan nyaman jika berada di dekat Sarah, oleh sebab itu dia khawatir jika aku mengajakmu untuk makan malam." Oh, sial. Bagaimana dia tahu? "Ketahuilah ini baru pertama kalinya aku mendengar Harry memikirkan orang lain, dan orang itu adalah kau, Nona Sharp. Dia peduli padamu." Ia tersenyum lembut, menggambarkan kejujuran pada setiap kata-katanya barusan.

Namun, aku hanya bisa diam, enggan memberikan komentar terhadap kata-katanya yang membuatku terperangah kaget. Lagi-lagi, aku kebingungan oleh semua ini—bingung bagaimana caranya untuk mundur. Aku seakan tidak bisa mencari jalan pulang sehingga aku harus terus mencari cara untuk sampai di tujuan awal, yang mana aku sendiri tidak tahu berada dimana. Aku tidak tahu apa tujuanku sekarang, apakah ini semata-mata untuk menolong Christian, atau memang aku ingin berada di dekat Harry. Aku tidak tahu. Meski batinku berkata bahwa aku memang ingin berada di dekatnya dan aku ingin mengenalnya lebih jauh—sangat jauh hingga hanya aku lah yang mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Aku kembali untuk menemui Will, kali ini ia sedang berada di bangsal anak-anak bersama para pasien lain seumurannya yang sama-sama mengidap penyakit leukimia. Jadi, aku harus memakai gaun berwarna hijau dan sebuah masker untuk bisa masuk.

"Apa yang kau bicarakan dengan dokter Schmidt?"

"Tidak banyak, hanya soal kemo yang akan kau jalani hari ini."

"Bagaimana soal Harry?"

"Apa?"

Will menggidikkan bahunya sambil memainkan balok-balok kayu berwarna-warni di pangkuannya, "Apa kau menyukainya?"

"Will, itu sama sekali bukan urusanmu."

"Tentu itu urusanku, apa kau tidak kasihan pada Ezra? Ia sudah sangat baik padamu, juga padaku, tanpa dirinya mungkin aku akan terus memainkan permainan anak lima tahun ini setiap hari." dibuangnya balok-balok kayu itu ke atas karpet.

Mulutku menganga, bingung bagaimana aku harus memarahinya. "Aku harus pergi mencari makan siang. Sampai jumpa nanti."

***

Ada ketukan di pintu. Saat ini aku sudah kembali ke apartemen dan sedang menyantap makan siangku yang sudah dingin di meja makan. Aku pun berjalan untuk membukakan pintu dan disaat itu pula lah kulihat Niall yang berdiri dan menengokkan kepalanya kesana-kemari mencari Jules.

"Dia belum pulang."

"Oh. Well, kalau begitu apa aku boleh menunggu di dalam?"

Aku berpikir sejenak, mengira-ngira apakah Jules akan baik-baik saja jika aku membiarkan Niall menunggunya? Mengingat mereka mungkin masih bersitegang hingga sekarang. "Ya, tentu. Masuklah."

Niall tersenyum ke arahku, dan kuperhatikan tindikkan di daun telinga kirinya bertambah banyak. "Kau sendirian?"

"Ya, aku sendirian. Duduklah. Apa kau mau kubuatkan sesuatu?"

"Tidak, terimakasih. Tapi mungkin kau bisa menemaniku berbincang-bincang." Ia menyeringai sementara aku membuka mulutku cukup lebar. "Sambil menunggu Jules." Oh, ya, benar. Kurasa tidak ada salahnya.

Pun aku duduk di sampingnya dengan memberi jarak yang cukup jauh.

"Apa yang sedang kau lakukan tadi?"

"Umm, hanya makan siang."

"Apa aku mengganggumu?"

Aku meraih remote tv dan mengganti-ganti salurannya, "Tidak." Aku tergelak.

"Kau dan Jules sudah berteman sejak lama?"

"Ya, kami sama-sama berasal dari Wisconsin, kami satu sekolah." Aku menaruh kembali remote di atas meja setelah menemukan acara tv yang menarik.

"Kau suka menonton acara ini?"

Aku menoleh padanya, "Wipeout? Ya, aku suka. Mereka memiliki pembawa acara yang konyol, itu salah satu alasan mengapa aku senang menontonnya."

Niall menyengir lagi, "Ya, kupikir juga begitu, aku dan Jules sering menontonnya jika sedang berada di apartemenku. Kami selalu menertawai setiap peserta yang jatuh mengenaskan."

Aku terkekeh mendengar pilihan katanya.

"Hey, kau pernah bilang padaku bahwa ayah Harry adalah seorang dokter, apa yang kau lakukan saat itu? Apa kau sakit?"

"Tidak, bukan aku yang sakit, tapi adikku. Ia berumur 10 tahun dan sudah mengidap leukimia akut."

Niall mengerutkan keningnya padaku, memperlihatkan raut wajah sedih sekaligus empati. Sedetik kemudian ia menggeser bokongnya mendekat ke arahku dan memegang tanganku yang kutaruh di atas paha dan meremasnya pelan, aku terkesiap. Oh, tidak. "Aku turut prihatin, dulu bibiku juga meninggal karena penyakit yang sama. Kami sekeluarga sangat terpukul sejak itu."

"Yy-ya, aku tahu bagaimana perasaanmu, ibuku juga meninggal karena penyakit itu." bibirku bergetar panik, tubuhku menggeliat tidak nyaman karena genggaman tangannya. Aku berusaha untuk bisa lepas tapi Niall justru mengencangkan genggamannya. Sial, ia benar-benar offensive.

"What the hell?!"

Kami berdua meloncat kaget ketika melihat Jules datang dengan matanya yang membelalak terfokus pada tangan Niall yang menggenggam tanganku. Oh, hebat, ini akan menjadi salah paham besar. Sialan. Menyadari kemarahannya, aku pun bangkit dari sofa sementara Niall masih membeku di tempat, Jules melempar tasnya secara sembarangan ke lantai, melirik tajam ke arahku dan aku langsung menggeleng cepat padanya. "Ini tidak seperti yang kau lihat, Jules."

Tapi ia tidak menghiraukan ucapanku. Ia malah menoleh lagi pada Niall yang kini sudah berdiri di kedua kakinya, Jules benar-benar terlihat sangat marah. Sial. "Aku bisa menjelaskan."

"Menjelaskan, kau bilang? Kau datang kemari hanya untuk memberiku tontonan seperti ini?!" sentaknya.

"Demi Tuhan, aku dan Kenya hanya sedang berbincang-bincang, ia menceritakan soal adik dan ibunya, aku hanya sedang berusaha untuk menenangkannya yang sedang sedih."

Excuse me? Menenangkanku yang sedang sedih, dia bilang? Astaga! Meraung-raung pun aku tidak! Apa lagi menangis! Aku tidak butuh untuk ditenangkan, ini benar-benar konyol! Jelas-jelas Niall yang sedang berusaha menyerangku barusan!

Merasa tidak tahan, aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan berbaring di tempat tidur, membiarkan mereka bertengkar hebat di luar. Persetan dengan Niall dan Jules! Mereka sama-sama tidak dewasa dan sekarang aku malah dilibatkan dalam pertengkaran mereka.

"....Kau sendiri berciuman dengan Tyler di belakang van saat itu, kau pikir aku tidak tahu?!"

Aku meraih bantalku dan menutup wajahku dengan bantal, sama sekali tidak tertarik mendengar pertengkaran mereka.

"Kau tidak rasional!"

"Aku tidak rasional? Kau lah yang tidak rasional, Jules! Dan sekarang kau marah hanya kerena aku memegang tangan sahabatmu! Kau bahkan telah berbuat sesuatu yang jauh lebih buruk dengan si keparat itu! Kau bersetubuh dengannya sementara aku menunggumu di sebuah kedai seperti seorang idiot yang mengharapkan penjelasan darimu tapi kau tidak pernah datang!! Kau membiarkanku menaruh harapan lebih tapi sekarang kau marah hanya karena aku memegang tangannya! Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?! APA?!!!"


Aku menekan bantalku kuat-kuat. Tidak lagi, tidak lagi. Kumohon, jangan. Jangan berteriak seperti itu pada seorang wanita. Aku mendengar isak tangis Jules diluar dan aku semakin merasa bersalah padanya. Sial, ini gara-gara aku. Jules mencintai Niall. Seharusnya aku sudah tahu itu! Brengsek.

TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

13.1M 169K 13
Ardiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi keamanan posisi Ardiaz sebagai CEO MegaTari...
249K 39.3K 33
❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang m...
770K 77.8K 54
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...